Gunung Es Itu Bernama Kekerasan Terhadap Anak

Parenting & Kids

nenglita・06 May 2014

detail-thumb

“Ikhlas ya, Mih, Renggo sayang Mamih..”

Itu kalimat terakhir yang diucapkan Renggo, seorang murid kelas 5 SD yang meninggal diduga akibat dari dipukuli oleh kakak kelasnya, pada ibunya. Air mata saya meleleh membaca artikel demi artikel yang memuat berita ini. Kekerasan terhadap anak yang dilakukan teman sebaya, bukan berita baru. Saya sudah pernah menulisnya saat ada anak kelas 1 SD di Makassar yang juga meninggal diduga akibat kekerasan dari teman sekolahnya.

Rupanya kemuraman kita sebagai orangtua belum bisa usai. Sejak bulan April lalu, ketika kasus pelecehan seksual anak  usia 5 tahun di sekolah swasta internasional mencuat, berita-berita kekerasan anak bak jamur di musim hujan. Muncul satu per satu, berkesinambungan, tanpa henti. Hanya puncak dari gunung es, katanya.

Pertanyaan pentingnya; Kapan gunung es ini akan runtuh semuanya? Bisakah gunung es ini runtuh?

Peran serta orangtua

Ini menjadi fondasi yang kuat dalam kehidupan anak. Ya, kita bertemu dengan anak setiap hari. Tapi apakah pertemuan kita dengan anak semata-mata hanya presence saja? Kalau hanya tubuh kita yang ada di hadapan anak, kasihan dong para orangtua yang dengan alasan tertentu harus tinggal berjauhan dengan anaknya? Atau, kasihan dong anak-anak yang orangtuanya berpisah dengan alasan tertentu.

Menurut saya, presence memang penting, tapi yang tak kalah penting adalah kualitas komunikasi yang kita jalin dengan anak.

2014-05-04 10.48.25

Kemarin, saya ngobrol banyak dengan Intan Erlita, M.Psi. Psikolog keluarga yang juga presenter ini menekankan peran penting keluarga dalam keseharian anak. Pendidikan seks, misalnya. Aturan atau kebiasaan kecil seperti kalau ke luar kamar mandi menggunakan handuk, akan menumbuhkan anak rasa malu jika menunjukan tubuh telanjangnya di hadapan umum.

Lalu mengenai rasa percaya diri anak. Wah, kalau ini sudah pasti Mommies paham, ya. Rasa percaya diri tumbuh dari dalam rumah. Bagaimana anak dihargai di rumah, bagaimana orangtua menunjukan bahwa anak adalah hal yang berharga bagi mereka. Bukan berarti memanjakan ya! Bedakan antara menghargai anak dan memanjakan. Baca artikel mendidik dengan cinta dan logika sebagai referensi.

Anak yang berangkat dari rumah dalam kondisi percaya diri, biasanya tidak mudah menjadi ‘korban’ di lingkungan. Entah itu korban bullying atau pelecehan seksual *knock-knock on the wood*. Mommies di sini pernah ada yang menjadi korban bully atau malah pelaku bully? Kalau sebagai pelaku, coba deh, ingat kembali saat kita memilih ‘korban’. Biasanya yang di-bully adalah mereka yang pendiam, jauh lebih pintar, lebih cantik, intinya memiliki perbedaan dengan anak lain tapi si anak tidak percaya diri dengan kelebihannya itu. (kok kesannya saya canggih banget ya, dalam menjadi pelaku bullying :D ).

Selanjutnya: Bagaimana pelaku pedofilia mencari mangsa? >>

WP_20140424_010

Sebuah riset yang diadakan oleh psikolog keluarga di Amerika Serikat. Intan bercerita, si psikolog ini punya klien pedofilia yang ingin sembuh. Ia kemudian mengajak kliennya ke playground, dan bertanya “Anak seperti apa yang bisa menjadi korban kamu?”. Ia pun menunjuk beberapa anak yang semuanya memiliki kesamaan; terlihat tidak ceria dan tidak percaya diri.

So Parents, peran serta kalian tidak semata sampai pemberian ASI, MPASI, menyediakan uang sekolah, mainan bagus, dan lain-lain. LEBIH JAUH DARI ITU!

Untuk menghindari anak dari kekerasan seksual, pelajari Underwear Rule, ya! Baca juga artikel Bagaimana Bicara Seks Pada Anak.

Peran serta sekolah

Membaca 2 kasus saja, JIS dan almarhum Renggo yang terjadi di sekolah, pasti kita sudah menjerit “Sekolahnya gimana sih?!”. Anak yang kita sayang-sayang, mencari nafkah sungguh-sungguh agar anak mendapat pendidikan maksimal, kok malah 'dihancurkan' di sekolah? :(

Saya juga bingung sih, mau menyalahkan siapa. Sekolah, pasti ada salahnya. Yaitu minim pengawasan. Kasus Renggo, ia konon dipukuli di ruang kelas yang notabene ada di sebelah ruang Kepala Sekolah, lho. *duh, nelongso saya mengingatnya*. Sementara kasus JIS, sama mirisnya. Sekolah yang terkenal bergengsi dan pengawasannya ketat ini, juga terjadi di lingkungan sekolah. Nggak usah yang masih tingkat Sekolah dasar, anak setingkat mahasiswa saja banyak yang menjadi korban tindak bullying, kan? :(

Untuk hal ini, Intan memberikan masukan, bahwa kita sebagai orangtua sebaiknya mengenal sekolah. Bukan hanya saat mau mendaftarkan sekolah saja, kita begitu cermat mengamati sekolah, tapi juga saat anak mulai aktif bersekolah.

Kalau sama kepala sekolah atau guru, mungkin sudah pasti kenal, ya. Tapi kenalan juga dengan ‘perangkat’ sekolah. Helper atau orang-orang yang suka membantu anak ke toilet, membersihkan kamar mandi, dsb, misalnya. Juga ke security sekolah, tukang parkir, dan seterusnya. Kenalan, ajak ngobrol, dengan begini, mereka lebih ‘kenal’ sama kita dan cenderung enggan ‘mengganggu’ anak kita. Nggak rugi, kok.

Selain itu, kenalan juga dengan orangtua murid yang suka nongkrong di sekolah. Ini penting banget, dari mana lagi kita bisa mendengar cerita dari ‘sisi lain’ sekolah kalau bukan dari mereka? Sebagai ibu bekerja, saya cukup sering titip-titip lihat anak saya di sekolah ke orangtua murid yang rajin mengantar jemput ke sekolah. Mereka bahkan sering juga mengirimkan foto saat anak-anak berkegiatan. Banyak keuntungannya, kok. Persis seperti yang pernah saya ceritakan di artikel ini.

Beberapa sekolah sudah melakukan tindakan atas tindak pelecehan seksual pada anak, seperti yang saya tulis di artikel ini. Bagaimana dengan tindak bullying? Saya pernah wawancara dengan Lestari Sandjojo, Psi. – General Manager Academic Division Sekolah Cikal tentang bullying di sekolah.

Untuk Mommies yang anaknya mau masuk ke Sekolah Dasar, siap-siap akan terjadi perubahan dalam diri anak. Untuk menghadapinya, baca artikel peran orangtua untuk anak usia Sekolah Dasar, ya!

Selanjutnya: Lingkungan berpengaruh besar! >>

child abuse*Gambar dari sini

Peran serta lingkungan

It takes a village to raise a child. Demikian kata pepatah kuno. Dan saya mengamininya. Saat kita merasa sudah berperan secara utuh ke anak, saat tempat di mana anak bersekolah sudah bisa kita percaya, bagaimana dengan lingkungan?

Pemerintah, misalnya. Dari situs ini, Mendikbud mengutarakan akan memberikan sanksi pada sekolah tapi tak akan menutupnya. Mendikbud M. Nuh juga mengatakan bahwa budi pekerti dan pendidikan sikap ini harus dikedepankan. Penanaman nilai budi pekerti ini, kata Nuh, merupakan salah satu yang dikedepankan dalam penerapan Kurikulum 2013 yang mulai diterapkan tahun ini di dalam sistem pendidikan.

Peran serta pemerintah dalam hal ini, menurut saya sangat penting. Dalam pandangan saya, pendidikan di Indonesia sangat berorientasi pada nilai akademis. Bahkan pelajaran agama, yang dalam pandangan saya seharusnya dijadikan pegangan berperilaku, tak luput dari penilaian angka. Mau masuk SD saja, tesnya Calistung, apa kabar saat sudah bersekolah? Baca wawancara dengan Dinasti Widarsari, M.Psi, Psi tentang tes masuk Sekolah Dasar sebagai referensi, ya.

Budi pekerti, saya akui, harus ditanamkan sejak dini, saat anak masih ‘sekolah’ di rumah dengan orangtuanya. Tapi alangkah eloknya kalau pendidikan budi pekerti sejalan dengan yang diberikan di sekolah.

Selain pemerintah, peran serta media juga sangat besar. Seperti pernah saya tulis di artikel ini, Berita pembunuhan meningkat 721% dari 1993 ke 1996. Padahal itu lebih dari 15 tahun yang lalu. Bisa dibayangkan, berapa banyak potensi anak-anak menyaksikan berita pembunuhan atau kekerasan? Sedikit banyak, hal-hal ini menginspirasi penonton untuk melakukan tindakan serupa. Anak-anak yang tadinya polos-polos saja, jadi berpikir, “Oh, bisa ya, nonjok teman kalau kesal”.

Nggak usah gitu, anak saya yang lagi kecanduan Petualangan Sherina saja jadi berpikir kalau meledek dan menjulurkan lidah ke sama teman itu benar. Karena dalam cerita film tersebut, Sherina sempat meledek dan menjulurkan lidahnya ke Sadam, lawan mainnya. Untung saya menemaninya saat menonton film tersebut. Untung yang ditonton sebatas itu. Bayangkan kalau anak terus menerus nonton aneka film Superhero yang banyak adegan kekerasannya? Atau nonton sinetron yang penuh adegan bully? Dan lebih parah, bayangkan kalau mereka melihat itu semua TANPA didampingi orang dewasa yang bisa menjelaskan kejadian tersebut?

Panjang ya, ocehan saya kali ini?

Buat Mamih-nya almarhum Renggo, semoga diikhlaskan. You raised him well, dengan Renggo meminta maaf saat ia menyenggol gelas minuman ke si kakak kelas, itu sudah menunjukkan Renggo anak yang baik. Semoga ia mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.

Buat orangtua siswa korban pelecehan seksual JIS, semoga dengan keberanian Anda, gunung es kasus kekerasan anak perlahan-lahan bisa mencair dan runtuh.

Buat semua orangtua yang membaca artikel ini, sebarkan kepedulian kita terhadap kasus ini, yuk. Lalu, koreksi diri sendiri. Akui jika ada kekurangan, dan mari kita sama-sama belajar untuk menjadi orangtua yang jauh lebih baik lagi.

There’s no way to be a perfect mother, but a million ways to be a good one