banner-detik
#MOMMIESWORKINGIT

Ibu Bekerja, Stop Merasa Bersalah!

author

nenglita26 Jun 2014

Ibu Bekerja, Stop Merasa Bersalah!

IMG_6622Adakah ibu bekerja yang masih merasa bersalah saat mau berangkat ke kantor? Dari sebuah survei yang melibatkan 900 ibu bekerja, ternyata hanya 13% ibu yang merasa bersalah saat harus meninggalkan anaknya di rumah atau daycare. Apakah sisanya tak sayang sama anak? Ah, saya rasa tidak, ya.

Seperti yang Gina ceritakan di artikel Cinta Juga Berarti Kerja, menurut saya pribadi, setiap orang pasti memiliki alasan masing-masing kenapa ia harus bekerja. Entah itu alasan ekonomi atau pengembangan diri sendiri.

Saya pribadi bekerja karena memang sudah menjadi bagian dari diri saya. Alasan ekonomi, tentunya juga menjadi pertimbangan. Apakah saya pernah merasa bersalah? Saya selalu menganggap rasa bersalah adalah alarm untuk diri sendiri. Jika saya 3 hari berturut-turut pulang telat entah karena alasan pekerjaan atau me time, lalu saya merasa bersalah, maka berarti hal itu tidak patut saya lakukan. Batasan rasa bersalah antara satu orang dengan yang lainnya berbeda, pasti. Maka, mengatur waktu adalah hal yang harus dikuasai oleh ibu bekerja. Oh, salah, saya rasa semua ibu patut menguasai pengaturan waktu.  Baca artikel ini sebagai referensi bagaimana mengatur waktu.

Beruntung saya bekerja di kantor yang dipandang mommy friendly. Tapi lagi-lagi, apakah berarti saya bisa seenaknya? Ya nggak dong. Di akhir pekan, saya sering bekerja, kok. Atau di malam hari tiba-tiba harus mengerjakan tulisan juga membalas email plus menjawab pertanyaan di sosial media. Merasa bersalah kah saya? Yah, anggaplah ini risiko atas keputusan yang saya ambil.

Bagaimana mengatasi rasa bersalah yang kerap muncul di benak ibu bekerja? Simak di halaman berikutnya!

IMG_7786

Jangan membandingkan!

Duh, kerja di Mommies Daily pasti enak, ya. Waktu kerja fleksibel, dan seterusnya, dan seterusnya. Ya, memang, tapi sudah saya jawab di atas kan, bahwa ada risiko yang harus saya lakukan. Seminar di akhir pekan, perjalanan luar kota, dan seterusnya.

Duh, jadi ibu rumah tangga pasti enak, bisa sama anak terus, nggak harus macet-macetan ke kantor, dan seterusnya dan seterusnya. Ya, di satu sisi berada di samping anak sepanjang hari memang menyenangkan. Tapi, coba baca deh artikel Sazkia mengenai pengaturan waktunya di rumah atau pengakuan Riska di awal kesehariannya menjadi ibu rumah tangga.

Membandingkan diri kita sendiri dengan kehidupan orang lain itu nggak ada habisnya. Alih-alih kita menikmati peran sebagai ibu, yang ada malah stres sendiri karena melihat kehidupan orang lain lebih enak, lebih nyaman, lebih segala-galanya! Setuju?

Lihat sisi positifnya

Salah satu yang sering dikatakan sisi positif menjadi ibu bekerja adalah memiliki penghasilan sendiri. Ini tentu ada benarnya. Dengan memiliki dua penghasilan, keluarga biasanya lebih fleksibel mengatur keuangan. Tentu, ada juga yang sebenarnya sudah cukup dari satu penghasilan, ya. Nah, kalau kondisinya begini, siapa yang untung? Kita juga kan? Apalagi dalam agama saya dikatakan bahwa penghasilan suami adalah untuk keluarga dan penghasilan istri merupakan hak pribadinya. Tapi kalau saya pribadi, sih, kebetulan lebih bekerja sama saja dengan suami masalah keuangan :)

Selain itu, sisi positif lainnya yang bisa kita petik adalah, anak memiliki contoh dalam kesehariannya. Bagaimana orangtuanya harus bekerja, apakah untuk mencari nafkah atau sebagai pilihan hidupnya. Tentunya kita mau anak-anak kita menggantungkan cita-cita setinggi lagit, kan? Bukan berarti menjadi ibu rumah tangga, anak-anak tak bisa menggantungkan cita-cita setinggi-tingginya, lho, malah menurut saya jadi ibu rumah tangga merupakan profesi yang sangat mulia. Serius deh!

Bagi saya, setiap orang punya peran masing-masing di dunia ini. Jika jadi ibu rumah tangga, maka jadilah ibu rumah tangga yang bahagia. Kalau jadi ibu bekerja, maka bekerjalah secara maksimal, jangan sampai sudah pergi dari rumah tapi kerjanya nggak maksimal juga.

Masih merasa bersalah? Baca halaman berikutnya ya!

 

IMG_1222-edit

Hadir di saat yang tepat

Mengorbankan jatah cuti yang harusnya bisa dipakai untuk liburan karena harus ambil rapor anak? Memotong durasi business trip karena ada pertemuan orangtua di sekolah anak? Menyerahkan jadwal business trip ke kolega karena si kecil masih ASI eksklusif? Saya pernah melakukan hal tersebut.

Menyesal? Ya nggak lah. Saya memiliki prioritas yang sudah saya tentukan sendiri. Rapor perkembangan anak di sekolah, saya harus hadir. Tidak bisa ditawar-tawar. Pentas seni, saya nggak mau melewatinya. Secara latihannya saja sebulan lebih, dengan kehadiran saya setidaknya saya menunjukkan bahwa saya menghargai latihan-latihannya sebulan kemarin. Mengenai ASI? Ah, ini sudah tidak bisa ditawar, kebetulan dulu bos saya sangat pengertian. Mommies tetap harus business trip padahal masih menyusui? Baca artikel ini.

Pulang kerja, waktunya dengan anak. Tinggalkan handphone di dalam tas atau biarkan mati. Manfaatkan waktu yang mungkin hanya 1-2 jam sebelum si kecil tidur secara maksimal. Email dari klien, Whatsapp Group, dan sebagainya rasanya bisa menunggu, ya. Jadi, yuk letakkan gadget saat di rumah!

Berdamai dengan diri sendiri

Banyaknya tudingan terhadap ibu bekerja, kadang makin membuat kita merasa berasa bersalah, ya? Ketahuilah, anak tidak pernah meminta kita untuk menjadi ibu yang sempurna. Menurut saya, yang anak butuhkan adalah kasih sayang tanpa syarat.

“Saya memisahkan keluarga dan pekerjaan”,  mungkin ada yang berkata seperti itu, kalau saya beda. Baca deh, di halaman berikutnya!

family1Keluarga dan pekerjaan, tidak bisa dipilih

Yang satu ini, saya sadari setelah saya ngobrol dengan Ibu Lea Indra dari Ford. Kebetulan pekerjaan saya selalu saya sukai, selalu sesuai dengan passion saya. Dan saya sangat bangga dengan pekerjaan saya. Ada saat di mana saya harus memilih antara keluarga dan pekerjaan. Tapi seringnya, saya tidak memilih. Dua-duanya penting bagi hidup saya. Saya libatkan anak dalam pekerjaan saya. Saya ceritakan pada Langit bagaimana kerjaan saya, prosesnya, apa saja yang saya lakukan, apa yang saya hasilkan.

“Ibuku itu kerjaannya nulis”, kata Langit pada semua orang. Dan saya bangga bisa membuatnya bangga terhadap pekerjaan saya.

Temukan support

Bagi saya, support paling penting adalah dari suami. Apalagi, dalam agama saya juga mengajarkan bahwa istri bekerja harus seizin suami, kan. Bukan berarti saya menyerahkan nasib saya ke suami, ya. Tapi saya percaya, jika suami ikhlas atas apa yang kita lakukan, insyaallah hasilnya juga maksimal. Begitupun sebaliknya, suami saya selalu minta pendapat dan persetujuan saya atas setiap langkah yang ia lakukan.

Lagipula, pernikahan akan berjalan lebih lancar jika suami dan istri saling memberikan support kan? Apakah si istri ingin bekerja atau mau jadi ibu rumah tangga, menurut saya support dari suami sangat penting.

Nikmati dan syukuri

Poin ini rasanya akan selalu ada dalam setiap tulisan saya, haha. Di artikel Menjadi Ibu Yang Tenang juga ada kan ya?

Jadi gini, daripada kita berangan-angan menjalani kehidupan orang lain, misalnya; jadi ibu rumah tangga, bisa liburan kapan pun ke mana pun, anak sehat, bahagia, dan seterusnya, sebaiknya kita menikmati kehidupan kita sendiri yang nyata. Pasti ada rasa bosan atau jenuh, ya. Tapi mau gimana? Mau tukar kehidupan seperti film The Holiday, di mana Kate Winslet menikmati kehidupan Cameron Diaz dan sebaliknya? :D

Nah, adakah yang mau share kiat menyetop rasa bersalah bagi ibu bekerja? Silakan lho!

PAGES:

Share Article

author

nenglita

Rock n Roll Mommy


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan