Stop Menyebarluaskan Foto Vulgar Anak-anak di Social Media

Parenting & Kids

adiesty・04 Mar 2016

detail-thumb

Ketika melihat foto vulgar anak kecil wira-wiri di social media, apa yang harus dilakukan? Pantaskah kalau kita menyebarluaskannya kembali atas nama 'mengingatkan' orangtua lain?

Rasanya baru kemarin jagad social media ramai dengan pemberitaan mengenai perempuan muda yang mengeluh dan merasa kesal lantaran ada ibu hamil yang minta kursi di kereta. Perempuan muda ini dianggap tidak punya empati  dan lupa kalau perempuan hamil memang punya hak untuk mendapatkan kursi prioritas. Kemudian, beberapa waktu lalu orangtua semacam saya dibikin resah lantaran fenomena LGBT yang mencuat di social media. Dan yang paling anyar, kemarin netizen Indonesia dihebohkan dengan adanya postingan anak ABG yang mengunggah foto mesra bersama pasangannya. Sudah lihat belum?

foto vulgar anak di sosial media

Saya sendiri pertama kali mengetahui berita soal ini dari Amanda, Event Manager FDN. Kemarin pagi, Manda sempat 'melempar' pertanyaan ke group WhatsApp MD Editorial dan Event. Ia bilang, "Ada yang sudah tahu berita soal anak ABG yang foto mesra dengan pacarnya? Di time line sosial media gue, sih, nggak ada yang nge-share. Tapi sepupu gue pasang status dan nulis, seharusnya foto dan berita kaya gitu nggak perlu di-share lagi, dong. Kan, saudara atau bahkan anak remaja juga bisa lihat juga."

Iya, kami memang punya pemikiran yang serupa. Saya, Fia, Thatha dan Manda menganggap berita seperti itu memang nggak layak disebarluaskan di social media. Sebelum membicarakan moral anak tersebut, rasanya akan lebih baik kita mengaca pada diri sendiri lebih dulu. Apakah tindakan menyebarluaskan berita tersebut layak dilakukan?

Meskipun social media adalah hak kita sepenuhnya, bukan berarti dengan gampangnya jari ini mengklik dan share segala sesuatu. Karena memang tidak semua hal pantas dibagikan di social media, termasuk menyebarluaskan foto anak ABG dengan pacarnya itu tanpa di-blur. Kenyataannya, foto tersebut malah wara wiri di social media milik saya.

Setidaknya saya mencoba memosisikan diri menjadi pihak keluarga si anak ABG. Bagaimana rasanya kalau foto yang tersebar itu adalah foto anak atau keponakan kita? Duuh... membayangkannya saja saya sudah ‘ngilu’. Sebagai orangtua, jelas saya merasa miris dan khawatir dengan kondisi ini. Ngeri membayangkan seperti apa dunia dan masa yang akan dihadapi anak saya kelak? Biar bagaimanapun, kita memang nggak pernah tahu apa yang terjadi beberapa tahun ke depan. Nggak pernah menduga seperti apa jadinya anak kita 20 tahun lagi....

Kalau kita selalu berusaha melatih anak untuk bisa berempati terhadap orang lain, idealnya tentu kita bisa memberikan contoh lebih dulu. Jadi contoh konkrit yang bisa dilihat dan ditiru. Apakah tindakan menyebarluaskan foto tersebut bagian dari rasa empati? Rasanya tidak.

Sampai akhirnya saya kemarin melihat timeline Nukman Luthfie, sosok yang dikenal sebagai  Bapak Sosial Media Indonesia  ini menuliskan,  “Mengapa Tega Menyebarluaskan Foto Seronok Anak-Anak?” Dalam tulisan tersebut ia menyebutkan kalau menyebarluaskan pornografi anak itu termasuk kejahatan. Dan saya pun sependapat dengannya.

Mengingat kasus kemarin memang seperti dilakukan oleh anak ABG, memang seyogyanya, tindakan yang perlu dilakukan menegurnya dengan cara yang baik dan mendidik sehingga si anak menyadari kesalahannya. “Bukannya malah diumbar oleh orang dewasa di ruang publik sambil menyumpahi seolah yang paling suci,” tulisnya.

Di balik manfaat social media sebagai jembatan untuk mengetahui dunia, termasuk dapat dimanfaatkan sebagai sarana berkomunikasi, dari kasus ini paling tidak saya bisa belajar bahwa sebagai orangtua kita memang perlu hati-hati dalam memberikan smartphone pada anak, termasuk memahami hal yang harus dilakukan dalam parenting di media sosial serta menyiapkan anak untuk masuk ke social media. Kasus ini pun seakan mengingatkan saya untuk lebih berhati-hati posting foto anak di social media. 

Seperti yang dituliskan Nukman Luthfie, “Facebook hanya boleh untuk anak yang sudah berusia 13 tahun. Itu aturan di sana. Artinya, jika ada anak belum berumur 13 tahun dan bermain Facebook, itu tanggung jawab orang tuanya. Orang tua lain, jika tahu ada anak yang melakukan kesembronoan di Facebook, lebih baik menegur orangtuanya. Bukan memarahi bahkan membully anak itu dan menyebarkan foto mereka apa adanya.”

Lagi pula bagaimana jika akun Facebook anak tersebut fiktif? Ada orang menyebarkan foto tersebut tanpa seizin yang punya. Dengan ikut menyebarluaskan, tentu kita menjadi bagian dari orang yang tidak bertangung jawab bukan?