Waspada! Kenali 5 Usia Pernikahan Rawan Konflik dan Perceraian Ini!

Sex & Relationship

Fannya Gita Alamanda・06 Mar 2024

detail-thumb

Tidak ada pernikahan yang mudah, tetapi kalian bisa menjadi pasangan yang pantang menyerah. Kenali usia pernikahan rawan konflik dan tips melewatinya.

Meskipun setiap pernikahan berbeda, tetapi masing-masing pasti mengalami pasang surutnya. Bagi para pengantin baru, bahagia itu harus tapi jangan sampai terjebak dalam pemikiran bahwa segala sesuatunya akan tetap sama sepanjang usia.

Ketika masa ‘hip hip hura-hura’ usai, satu per satu kenyataan mulai terlihat, saat itulah tantangan mulai muncul. Biasanya ini terjadi setelah satu atau dua tahun usia pernikahan.

“Usia pernikahan berapapun sebetulnya ‘rawan bencana’, karena yang berpengaruh bukan usia pernikahannya, melainkan momen-momen kritis dalam kehidupan yang bisa mengguncang stabilitas pernikahan. Misalnya kelahiran anak, suami di-PHK, kematian keluarga dekat, perselingkuhan, sakit berat, dan lain lain. Dan semua hal itu, tidak memandang usia pernikahan,” jelas Febrizky Yahya S.Psi., M.Si., Konselor, Sex Educator, dan Parenting.

“Namun kalau dirata-rata, memang lama penyesuaian pernikahan bisa dibilang di 5 tahun pertama. Di usia ini kita akan menemukan banyak sekali ‘kejutan’ dari pasangan yang sebelumnya tidak kita ketahui sebelum menikah, walaupun sudah berpacaran atau mengenal cukup lama,” imbuh Febrizky.

Banyak konselor pernikahan menyarankan bahwa mengetahui tahun-tahun sulit dan tantangannya dapat membantu suami istri melewatinya dengan lebih baik. Jadi, tahun-tahun manakah yang paling sulit dalam pernikahan?

BACA JUGA: 16 Hal yang Dapat Menghancurkan Pernikahan, Hindari!

Usia Pernikahan Rawan Konflik Menurut Para Pakar

Pengacara perceraian, psikolog, dan peneliti telah membagi tahun-tahun pernikahan ke dalam beberapa periode dan menilainya berdasarkan risiko perceraian:

usia pernikahan

Foto: Freepik

Usia pernikahan 1–2 tahun: sangat berisiko

Para peneliti telah menemukan bahwa risiko perceraian paling tinggi pada fase ini. Alasannya antara lain:

  • Di tahun 1–2, orang-orang menemukan apa artinya hidup 24/7 bersama orang yang mereka cintai. Mereka mulai bertanya-tanya apakah pasangannya akan tetap sama seperti saat pacaran atau berubah seiring berjalannya waktu. Mereka mungkin tidak menyukai apa yang mereka lihat atau alami, dan hal itu mungkin menyebabkan mereka ingin mengakhiri pernikahan sebelum mereka menginvestasikan terlalu banyak waktu.
  • Dalam beberapa perjanjian pranikah, salah satu pasangan berhak mendapatkan banyak uang setelah satu tahun berlalu. Oleh karena itu, beberapa pasangan kaya yang berubah pikiran mengenai pasangannya kemungkinan besar akan mengakhiri pernikahan sebelum ketentuan perjanjian pranikah mulai berlaku. Hal ini terutama kerap terjadi dalam pernikahan orang-orang terkenal atau selebriti.
  • Pasangan suami-istri belum mempelajari keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi pasangannya dengan tepat. Ini mungkin termasuk cara menghadapi dan mengatasi konflik atau jenis bahasa cinta yang disukai pasangannya. Tanpa keterampilan ini, orang akan cenderung ingin menyerah, dan hal ini lebih mudah dilakukan dalam tahun-tahun pertama pernikahan.

Usia pernikahan 3–4 tahun: risiko ringan

Di tahun 3–4, suami da istri kurang lebih sudah mampu menerima satu sama lain apa adanya. Namun seiring berjalannya waktu, ada masalah-masalah lain yang bisa mengganggu pernikahan mereka.

  • Suami dan atau istri memikirkan apakah hubungan mereka akan berubah secara dramatis ketika mereka memiliki anak. Tapi di sisi sebaliknya, hadirnya anak justru dapat memperkuat pernikahan mereka.
  • Bertanya-tanya apakah mereka akan tetap bersama seumur hidup jika berencana melakukan investasi besar seperti memiliki rumah.
  • Masalah kehamilan atau seks.
  • Masalah dengan mertua.

Itu semua tergantung pada seberapa besar cinta, kepercayaan, dan komitmen yang tersisa setelah fase pertama selesai.

Usia pernikahan 5–10 tahun: sangat berisiko

Berikut adalah alasan mengapa fase ini merupakan tahun-tahun tersulit dalam pernikahan:

  • Anak-anak yang masih kecil membutuhkan banyak perawatan dan perhatian. Bertambahnya tugas antara urusan rumah tangga, hubungan berdua, dan pekerjaan menjadi hal yang sangat sulit, sehingga menimbulkan perbedaan dan kemarahan.
  • Rasa kesal ‘kecil-kecilan’ yang selama ini hanya dipendam bertahun-tahun bisa menjad pemicu ribut besar. Pelan-pelan menyeret pernikahan ke ambang kehancuran.
  • Perdebatan mengenai keuangan dan utang juga dapat menimbulkan dampak buruk.
  • Anda berdua sudah terbiasa dengan kehadiran satu sama lain secara fisik namun anehnya, mulai merasa seolah-olah kalian ‘tidak saling kenal’.
  • Beberapa orang merasa kehilangan ruang pribadi.
  • Kurangnya hasrat seksual.

Usia pernikahan 11–15 tahun: risiko rendah

Fase ini sebagian besar dianggap aman, meskipun beberapa pasangan suami istri yang lain menghadapi masalah seperti berikut:

  • Beberapa mulai hilang rasa terhadap pasangannya atau menganggap pasangannya tidak menarik lagi.
  • Komunikasi memburuk karena berbagai alasan, termasuk menomorsatukan ego masing-masing.
  • Seiring bertambahnya usia anak, beberapa yang punya bibit nggak setia mulai berpikir untuk melakukan petualangan cinta atau bahkan meninggalkan pasangannya.

Usia pernikahan 15 dan di atas 15 tahun: risiko rendah hingga ringan

Mereka yang merasa mengorbankan kebahagiaannya demi menjaga keutuhan pernikahan, demi anak, atau apa pun, umumnya mengajukan gugatan cerai pada fase ini. Beberapa mungkin meninggalkan pernikahan mereka hanya karena bosan. Mereka mungkin merasa kesepian karena rumah terasa kosong setelah anak-anak hidup mandiri dan menikah, dan pasangannya sibuk dengan pekerjan dan hobi. Risiko terjadinya perselingkuhan sangat tinggi hingga dapat berujung pada perceraian.

Beberapa penyebab berikut dapat terjadi pada fase mana pun dalam pernikahan dan meningkatkan profil risikonya:

  • Perselingkuhan
  • Kesulitan keuangan
  • Kecanduan (apa pun)
  • Semakin menjauh karena alasan apa pun

usia pernikahan

Foto: Freepik

Tips Menjaga Pernikahan Tetap Aman

Ada beberapa cara untuk menjaga pernikahan yang dapat Mommies terapkan. Simak saran dari Febrizky Yahya di bawah ini!

1. Membangun komunikasi terbuka dengan cara yang bisa diterima pasangan

Apa yang diinginkan, apa yang tidak diinginkan, apa yg bisa dan tidak bisa ditoleransi. Apa pun jika didiskusikan dengan kepala dingin, dengan penyampaian dan bahasa yang tidak membuat pasangan merasa diserang akan menghasilkan berbagai kompromi dan resolusi konflik yang efektif dalam pernikahan.

2. Mencoba bergantian menurunkan ego dan memahami pasangan

Menurut John Gottman, profesor dan psikolog pernikahan, lebih dari 69% konflik dalam pernikahan sebenarnya tidak bisa terselesaikan. Misal istri tidak bisa menuntut suami yang tidak rapi menjadi serapi istri karena memang karakter bawaannya. Namun suami dan istri bisa menyepakati poin-poin mana yg masih bisa diubah.

Di sini, diperlukan kesabaran dan pengertian dari kedua belah pihak agar dapat menurunkan ekspektasi. Istri harus memahami suami tidak mungkin berubah dalam waktu singkat, suami juga harus memahami kenapa istri sangat terganggu dengan hal-hal kecil yang menurutnya tidak penting.

3. Usaha, usaha, dan usaha

Diperlukan usaha ekstra untuk mempertahankan tiga komponen cinta: Lust atau passion (gairah dan ketertarikan pada pasangan), komitmen (menjaga komitmen untuk berperan sebagai suami istri, mencukup nafkah lahir batin pasangan, dan setia), intimacy atau kedekatan (berupaya untuk menjadi tempat yang nyaman untuk satu sama lain, membangun persahabatan dengan pasangan).

BACA JUGA: 10 Bahaya Teknologi Terhadap Pernikahan, Nomor 4 Paling Sering Terjadi!

Cover: Pexels