Di sekitar saya, saya masih sering melihat orangtua yang lebih peduli pada mengajari anak membaca atau menulis dibanding mengajari anak mengenal tubuhnya sendiri. Penis, vagina, dianggap tabu diucapkan. Pengetahuan tentang seksual, diberitahukan selambat mungkin. Malah kalau perlu nggak usah! Nanti juga tahu sendiri. Mungkin itu yang ada di batin kita.
Kemarin dunia kaum ibu tersentak oleh sebuah berita mengenai bocah lelaki berusia 5 tahun yang jadi korban pelecehan seksual di sekolahnya. Ya, di SEKOLAHNYA. Beredar kabar, sekolah yang menjadi lokasi kejadian ini cukup memiliki gengsi di Jakarta. Mungkin ada kerabatnya teman, atau sepupu atau anak temannya suami yang bersekolah di sana.
Nah, baru deh panik!
"Ternyata beneran, ya, bukan cuma di berita saja"
"Bukan hanya di daerah atau pelosok saja pemerkosaan terhadap anak terjadi"
Kalau di pelajaran Jurnalistik ada yang namanya faktor kedekatan, ketika sebuah kejadian atau berita terjadi di wilayah yang dekat dengan kita, biasanya kita baru tersentak. Baru tersentuh. Baru deg-degan.
Sejak beberapa tahun yang lalu, Mommies Daily sudah concern dengan hal ini. Makanya kami cukup 'kenceng' sama urusan mulai dari kontes model-modelan anak, sampai bikini buat anak. O, ya, satu lagi: anti upload foto telanjang anak (bahkan yang masih bayi sekalipun!) ke sosial media. It's a BIG NO-NO! Saya pribadi yang kerap kali 'melanglang buana' dari satu seminar ke seminar lain, bertemu satu pakar ke pakar yang lain, sadar banget: ini bisa terjadi di mana saja, kapan saja dan dilakukan oleh siapa saja. Naudzubillahi min dzalik...
Sepagian ini, hampir seluruh timeline Twitter saya (yang kebetulan banyak orangtuanya itu), mengutuk pelaku kekerasan seksual pada anak. Menuntut hukuman yang seberat-beratnya pada pelaku. Mendoakan agar si anak segera pulih jiwanya. Berdoa supaya anak-anak mereka dilindungi dan dijauhkan dari tindak kejahatan seperti ini.
Saya pribadi, salah satu orangtua yang amat sangat paranoid dengan hal ini. Dari sejak pertama saya mengikuti seminar mengenai pendidikan seksual untuk anak di Cikal Bincang-Bincang 3 tahun yang lalu, saya makin tersadar bahwa hal ini nggak kalah penting dari ASI, RUM, peralatan makan anak, dan atau bahkan seperti saya sebut di atas, calistung!
Peran orangtua dalam memberikan pendidikan seksual untuk anak sangat mutlak hukumnya. Apa yang keluar dari kita, harusnya sudah dipertimbangkan masak-masak, disesuaikan dengan porsi dan usia anak, serta lingkungan sekitarnya. Bayangkan kalau anak tau istilah 'bercinta' atau 'make love' dari luar sana? Apalagi zaman sekarang, anak TK pun sudah piawai berselancar di dunia maya. Kalaupun anak kita batasi penggunaan gadget di rumah, bagaimana dengan teman sekolahnya?
Anak saya yang nggak pernah dengar lagu dangdut di rumah, tau-tau nyanyi "Bang Thoyib.." *sigh*. Kaget, dong, wong nggak pernah ada yang dangdutan di rumah. Setelah saya tanya, ternyata ia tau dari teman sekelasnya. Itu baru urusan lagu dangdut, bagaimana dengan lainnya yang lebih parah? Urusan pacaran, cinta-cintaan, ciuman, dan seterusnya. Atau saya pernah baca di bukunya Ayu Utami yang berdasarkan kisah nyata, di mana si tokoh anak lelaki kalau mau masuk ke geng di lingkungan rumahnya, ia harus bisa ereksi *sigh*. Gimana coba tuh, buibu? Makin bergidik ga? Oh, itu kejadiannya di era 70-an lho!
Lalu, bagaimana melakukan pendidikan seks yang efektif bagi anak? Tenang, saya juga bukan pro, masih pemula banget! Yuk dibaca after the jump!
Selanjutnya: Penis? Vagina? Hanya anggota tubuh, kok! >>
Pertama yang harus kita lakukan adalah, menghilangkan perasaan tabu saat membahas tentang seks. Bagaimana menghilangkan rasa tabu untuk urusan seks? Perkenalkan bagian tubuh anak sesuai dengan nama sesungguhnya. Ya, penis untuk laki-laki dan vagina untuk perempuan. Saya tau, pasti awalnya akan agak canggung. Percayalah, orangtua dan keluarga besar saya juga rada terkejut awalnya, Manda juga pernah mengalaminya. Tapi kalau kita konsisten dan mengucapkannya dengan intonasi biasa saja, mereka pasti akan mengerti. Mama saya saja, sekarang sudah biasa mengucapkan hal tersebut :)
Memang 'ngaruh' banget, ya, ngucapin kemaluan dengan nama sesungguhnya? Nah, kalau menyebut vagina atau penis saja terasa tabu, gimana mau ngobrol tentang seks sama anak?
Yang saya kasih tahu lebih lanjut ke anak saya, penis dan vagina adalah kemaluan, area yang privat atau dia sekarang menyebutnya dengan aurat :). Karena itu, nggak boleh sembarang orang melihat apalagi menyentuh. Oleh karena itu, kalau menyebut penis atau vagina harus pelan terutama kalau lagi di keramaian. Saya sudah dengar banyak cerita di mana saking biasanya si anak menyebut penis atau vagina, saat di tempat umum pun anak menyebutkannya dengan lantang. Nggak apa-apa juga, sih, tapi hal di atas saya terapkan untuk meminimalisir rasa tabu untuk orang lain saat mendengarnya.
Selanjutnya, saya memberikan pendidikan seks sesuai dengan porsinya. Langit saat ini usianya mau 6 tahun. Dibilang sudah banyak tahu, nggak juga. Tahu hanya sedikit, ya nggak juga. Faktor lingkungan ternyata berpengaruh. Saya memang belum menyediakan waktu khusus untuk membicarakan seks dengan anak, sambil jalan saja. Misalnya, saat saya sedang tidak salat, maka saya sekaligus menjelaskan kondisi perempuan yang akan mengalami menstruasi. Belum terlalu detail tentunya, hanya sebatas, kalau menstruasi akan keluar darah dari vagina. Hal ini makanya nggak boleh salat.
Kenapa saya menjelaskan ini? Karena saya pernah kena ISK yang lumayan parah, dan saya merasa perlu menjelaskan bahwa ISK berbeda dengan menstruasi.
Lalu, mengakrabkan diri dengan anak. Ya, pasti semua orangtua bilang akrab sama anaknya, kan. Masa nggak? :D
Kalau yang saya tulis di artikel waktu saya datang ke seminar Ibu Elly Risman, banyak orangtua sekarang yang ngobrol dengan anak seputar sekolah atau pelajarannya. "Belajar apa tadi?", "Ada PR nggak?, dan seterusnya. Pernah nggak kita menanyakan perasaan dia terhadap sesuatu hal? Buat diri kita menjadi tempat yang nyaman bagi anak bercerita. Ini penting banget, lho!
Saya pribadi salut dengan ketegaran ibu dari korban pelecehan seksual yang baru saja terjadi. Ia pada akhirnya mampu menggali cerita dari si anak. Dengan cerita detail si anak, menunjukkan bahwa si ibu bisa memosisikan dirinya dekat hingga si anak percaya mau cerita padanya. Jangan sampai seperti kerabat saya yang anaknya jadi korban pelecehan seksual, tapi justru malah tahu dari orangtua teman si anak :(
Pelecehan seksual terhadap anak-anak, kebanyakan justru dilakukan oleh orang dekat si anak. Nggak hanya di sekolah, di rumah saja bisa terjadi! Di artikel ini malah penulis menceritakan tentang anak yang dilecehkan secara seksual oleh pengasuhnya sendiri! Gila? Banget...
Nah buibu, mau sampai berapa kejadian lagi (amit-amit jabang bayi) baru kita sadar bahwa pendidikan seksual ini penting? Lebih penting dari sepatu yang matching, kursus baca buat balita, atau sekolah yang mahal demi gengsi. Buat saya, setiap kejadian pelecehan seksual terhadap anak yang saya dengar, menjadi tamparan keras yang menyadarkan saya bahwa sepandai-pandainya kita melindungi anak di rumah, ada dunia yang harus ia hadapi di luar sana.
Semoga anak-anak kita dijauhkan dari marabahaya, ya..