banner-detik
HEALTH & NUTRITION

Jejak Pembawa Sifat Thalasemia

author

adiesty05 Feb 2014

Jejak Pembawa Sifat Thalasemia

Pernah mendengar penyakit thalasemia? Saya memiliki jejak pembawa sifat thalasemia.

Seperti yang saya kutip dari Thalasemia.org, thalasemia merupakan penyakit bawaan yang diturunkan dari salah satu orangtua ke anaknya sejak masih dalam kandungan. Jika pasangan suami istri adalah pembawa gen thalasemia, maka kemungkinan anaknya akan menderita thalasemia sebesar 25%, pembawa gen thalasemia 50% dan lahir dalam kondisi normal 25%.

Sedangkan dalam blogdokter.net tertulis kalau thalassemia merupakan kelainan pada darah berupa kegagalan tubuh membentuk hemoglobin yang normal. Hemoglobin adalah protein yang terdapat pada sel darah merah dengan fungsi utama menghantarkan oksigen ke seluruh organ tubuh. Penyakit ini diturunkan dari orang tua ke anaknya ini dan dapat menyebabkan kerusakan pada sel darah merah sehingga terjadi anemia.

Saya sendiri baru mengetahui soal penyakit kelainan darah ini kira-kira 7,5 tahun yang lalu. Di mana waktu itu dalam sejarah keluarga kami baru diketahui kalau ada jejak pembawa sifat Thalassemia. Semua bermula ketika suatu hari tiba-tiba saja keponakan saya, Nissa, yang masih berumur 3 bulan mengalami penurunan Hb yang begitu drastis.

Karena kadar Hb yang begitu rendah, Nissa pun akhirnya dirujuk ke dokter spesialis darah, Prof. Moeslichan Mz, MD, PhD dari RSCM, Jakarta dan melakukan rangkaian tes darah. Setelah melewati berbagai proses pemeriksaan beberapa bulan, termasuk operasi pengambilan sumsum di kaki kirinya, akhirnya baru diketahui kalau keponakan saya sebenarnya sakit thalasemia mayor. Akibatnya sejak Nissa berusia 3 bulan, sampai sekarang di mana usianya sudah 8 tahun, ia harus melakukan transfusi darah secara berkala.

Nggak usah ditanya, deh, bagaimana perasaan kami sekeluarga waktu itu. Jangankan kakak saya dan suaminya, orangtua Nissa, saya saja sebagai tantenya sedihnya bukan main. Termasuk dengan mama dan ayah saya, juga keluarga teteh (kakak tertua) saya. Pokoknya waktu itu bisa dibilang keluarga besar kami benar-benar shock. Biar bagaimanapun ini adalah kali pertama kami mengetahui kalau di keluarga besar kami ada garis keturunan pembawa sifat thalasemia.

Di tengah perasan yang begitu campur aduk, kami sekeluarga mulai mencari tau soal apa itu thalasemia. Segala informasi kami kumpulan. Biar bagaimana pun, terpenting kami nggak boleh berlarut-larut dalam meratapi kesedihan. Kerena ada Nissa yang masih membutuhkan perhatian yang begitu besar.

*My lovely niece, Nissa

Sampai sekarang, thalasemia belum ada obatnya. Cara pengobatannya hanya bisa dilakukan lewat transfusi darah secara rutin dan pemberian suplemen asam folat. Saya masih ingat kakak saya pernah cerita, kalau sebenarnya yang membahayakan dari penyakit thalasemia itu jutsru dikarenakan penumpukan zat besi dalam tubuh karena transfusi darah yang berulang-ulang. Padahal penumpukan zat besi dalam tubuh sangat berbahaya karena bisa merusak organ tubuh yang lain, seperti limpa, ginjal ataupun jantung.

Seingat saya, dulu satu-satunya cara yang bisa membantu untuk mengeluarkan timbunan zat besi dalam hanya lewat penyuntikkan obat desferal di bawah kulit melalui pompa khusus. Desferal yang disuntikkan di bawah kulit ini akan mengikat zat besi dan dikeluarkan melalui urine. Prosesnya harus dilakukan berhari-hari. Bahkan bisa sampai seminggu.

Alhamdulillah, seiringnya waktu, saat ini sudah ada cara lain yang lebih melegakan. Berkat kemajuan teknologi, tenaga medis telah berhasil membuat tablet yang dapat menggantikan proses pembuangan zat besi berlebih dalam tubuh. Nama obatnya, Ferripox. Sayangnya, sampai sekarang obat ini harganya masih lumayan tinggi. Satu tube-nya dijual di pasaran seharga 3 jutaan, itu belum termasuk obat lainnya dan pemeriksaan rutin yang harus dilakukan. Untung saja saat ini keponakan saya sudah ikut di Yayasan Thalasemia, meskipun proses transfusi darah lebih lama, tapi bisa menekan biaya. Selain itu, yang nggak kalah penting ada support group dan bisa mendapatkan informasi terbaru yang berkaitan dengan thalasemia.

Kalau nggak, bisa dibayangkan, ya, betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk penyakit ini? Mulai untuk transfusi darah sampai untuk pengobatan untuk mencegah efek dari transfusi darah tersebut. Tapi, yang namanya buat kesehatan anak usaha apapun pasti dilakukan. Jangankan uang segitu, sebagai orangtua pasti rela mempertaruhkan nyawanya untuk anak tersayang. Ibaratnya, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Hal ini jugalah yang dilakukan kedua kakak saya sampai detik ini. Mereka berdua sama-sama terus berusaha memberikan yang terbaik untuk keponakan saya.

Mungkin, hingga saat ini thalasemia belum ditemukan obatnya. Untuk itu, ada baiknya kita sendirilah yang perlu mawas diri dan melakukan pencegahan untuk penyebarannya. Caranya, tentu tentu dengan melakukan rangkaian tes sebelum menikah dan saat program hamil. Sebab, harus diakui zaman sekarang penyakit sudah bermacam-macam dan bisa dibilang mengerikan. Mimpi buruk ibu hamil nggak cuma Torch, tapi lebih banyak lagi.  Di Indonesia sendiri  jumlah penderita thalasemia kian bertambah. Bahkan, diperkirakan terdapat ada 3.000 penderita baru setiap tahunnya.

Jangan seperti saya, waktu menikah dulu sama sekali tidak melakukan tes terlebih dahulu. Baru melakukan tes darah bersama suami saat sudah tahu kalau saya sedang hamil. Mekat banget, deh! Makanya, saat memutuskan untuk hamil (lagi) banyak sekali yang harus saya lakukan. Saya nggak mau kalau ada sesuatu hal yang saya sesali ketika hamil nanti.

Mudah-mudahan pengalaman saya ini bisa jadi pelajaran buat semuanyanya, ya, sehingga ke depannya kita semua lebih aware dengan kondisi ini. Pemahaman masyarakat akan pentingnya memeriksakan diri apakah memiliki gen pembawa thalasemia atau tidak bisa lebih banyak lagi.

Harapannya, suatu saat nanti teknologi kedokteran semakin berkembang sehingga bisa menemukan obat yang mampu menyembuhkan penyakit thalasemia. Sementara ini, yang terpenting adalah menjaga kondisi  Nissa supaya tetap sehat sehat.  Toh, pada dasarnya penderita thalasemia memang bisa hidup secara normal. Bahkan secara kasat mata, Nisa sama sekali tidak terlihat seperti sedang sakit. Aktifitasnya sehari-hari juga seperti anak-anak kebanyakan, sekolah, les, dan tentunya main-main. Nggak cuma Nissa saja, mudah-mudahan kedua kakak saya sebagai orangtuanya  juga selalu diberikan kesehatan dan kemudahan dalam mencari rezeki untuk memberikan pengobatan terbaik untuk keponakan saya.

Minta doanya, ya, Mommies.... :)

 

Share Article

author

adiesty

Biasa disapa Adis. Ibu dari anak lelaki bernama Bumi ini sudah bekerja di dunia media sejak tahun 2004. "Jadi orangtua nggak ada sekolahnya, jadi harus banyak belajar dan melewati trial and error. Saya tentu bukan ibu dan istri yang ideal, tapi setiap hari selalu berusaha memberikan cinta pada anak dan suami, karena merekalah 'rumah' saya. So, i promise to keep it," komentarnya mengenai dunia parenting,


COMMENTS