banner-detik
ETC

The Regrets on My Pregnancies

author

kirana2120 Jun 2013

The Regrets on My Pregnancies

Dari 4 kali kehamilan dan persalinan, ada ceritanya sendiri-sendiri, dan ada penyesalan masing-masing. Ada penyesalan yang bisa diperbaiki di kehamilan berikutnya, tapi ada juga yang...kumat lagi walaupun kemudian menyesal lagi *sigh*.

'Kenakalan' yang paling sering saya lakukan adalah.. menyerah pada ketidaknyamanan.

Semua kehamilan saya, tidak pernah diberkahi hamil 'kebo'. Jadi, saya mual 24 jam selama 9 bulan kecuali saat berada di mal (ada yang sama? :p) dan pusing keliyengan. Walaupun muntah tidak tiap hari, tapi perasaan ini sukses membuat saya susah makan terutama susah makan nasi. FYI anti bau nasi adalah tanda bahwa saya sedang hamil, bahkan sebelum testpack dijajal. Lalu saat saya berhasil memasukkan seporsi makanan, saya akan tidur supaya tidak muntah. Kiat yang berhasil saat kehamilan pertama, tapi tentunya tidak bisa sering dipakai lagi untuk kehamilan kedua dan berikut-berikutnya.

Harusnya saya lebih bandel, ya. Harusnya waktu itu saya bisa mencari kegiatan yang bisa membuat saya teralihkan. Syukur-syukur kalau kegiatannya bisa bermanfaat atau menghasilkan. Sayangnya kegiatan yang sebelum hamil menjadi hobi saya, ngegame :D, saat hamil malah nggak hobi lagi karena saya nggak kuat duduk lama-lama menghadap komputer.

Dari semua kehamilan, hanya kehamilan ke tiga yang saya bisa dibilang paling aktif. Kebetulan saat itu adalah awal-awal saya menjadi member FD dan aktif sharing di thread ibu-ibu (waktu itu belum ada forum khusus Mommiesdaily, lho!). Aktif sharing, dan tidak ketinggalan aktif senggol-bacok di Market Plaza *hadeuuhh*. Saat itu bahkan saya masih sempat belajar impor kecil-kecilan dan buka lapak saat Devan masih 6 bulan. Hamil lainnya mah boro-boro dah!

Jangan-jangan suksesnya menikmati kehamilan tanpa banyak terganggu ketidaknyamanannya ini yang membuat D3 jadi satu-satunya anak saya yang makannya paling gampang dan juga paling gampang gemuk, ya? Hmmm....

Penyesalan kedua yang tetap saya lakukan itu... kalah oleh emosi. Ini terutama saat kehamilan ke-2, 3, dan 4, di mana saya hamil sembari mengurus si kakak(-kakak). Tahu, lah, seperti apa tingkah polah batita. Nggak mungkin anteng selalu, pasti ada saja momen-momen yang bikin 'spaneng' tingkat dewa. Sayangnya saya tidak diberkahi kesabaran setingkat dewa pula *ppfftt*. Yang harusnya saya lemah lembut biar adik bayi di perut nggak kaget-kaget, malah saya teriak-teriak melulu.

*Tarik nafas panjang* harusnya saya tahu, ya, bahwa janin mungkin akan tumbuh lebih tenang dan optimal kalau tidak harus tiap-tiap mendengar saya 'spaneng' sama kakak(-kakak)nya. Siapa tahu kalau saya bisa setenang saat hamil pertama, D234 jadinya anak yang anteng seperti kakaknya juga.

Penyesalan ketiga, saya merasa kurang sering berkomunikasi dan menstimulasi janin.

Waktu hamil D1, sih, saya merasa cukup sering mengajak ngobrol, memutar CD musik klasik, atau mengaji bersamanya. Tapi momen seperti ini, kan, memerlukan waktu menyendiri, tenang tanpa gangguan untuk beberapa saat. Which is "hil yang mustahal" saat sudah ada kakaknya. Paling bisa, ya, sekalian ajak si kakak untuk ngobrol sama adiknya. Musik klasik juga cuma berlaku saat kehamilan D12 karena masih di rumah ibu saya, dengan komputer di dalam kamar untuk memutar CD-nya. Begitu pindah ke kontrakan sempit, komputer harus mengalah di luar kamar, demikian pula momen tiduran sambil mendengarkan musik klasik.

Hmm...tidak pernah terpikir bahwa mungkin biarkan saja musiknya terputar walau nggak sambil tiduran, ya? Disambi ngider kesana-sini housekeeping, masih efektif nggak, ya? *malah balik tanya*.

Keempat, mungkin karena sebagian besar waktu saya hamil jarang didampingi oleh suami (hamil D12 kami LDR, ketemu hanya akhir pekan 2-3 minggu sekali, sementara waktu D3 sudah nggak LDR tapi masih sering dinas keluar kota yang bisa 2-3 minggu baru pulang juga), saya tidak pernah olahraga. Yaaa...paling housekeeping aja kalau masih bisa dianggap olahraga, sih. Tapi yang benar-benar meluangkan waktu untuk jalan pagi, berenang, yoga, dll, nggak pernah. Untungnya kehamilan dan persalinan saya nampaknya tidak terpengaruh. Atau mungkin saya sebenarnya sudah cukup beraktivitas fisik? Entahlah, semoga saja.

Berikutnya, di kehamilan pertama, saya banyak mengerjakan PR membaca tentang kehamilan dan persalinan. Syarat-syarat persalinan normal dan caesar saya lahap semua jadi ketika saya dipaksa dokter untuk menjalani caesar sementara sebenarnya tidak ada alasan untuk itu, saya punya keyakinan untuk memutuskan tetap berusaha normal. Sayangnya saya lupa mempelajari tentang ASI terutama di masa awal kelahiran. Saya tidak tahu posisi-posisi menyusui, tidak tahu tentang latch-on, tidak tahu bahwa bayi masih punya cadangan energi untuk 3x24 jam, sampai yang berhubungan dengan jaundice (kuning). Akibatnya D1 sempat dapat susu formula saat di rumah sakit. Lalu setelah di rumah saya stres karena menyusui susah sekali rasanya. Untung ibu saya sangat pro-ASI, jadi saya nggak pernah terpikir bahwa ASI tidak cukup karena memang tidak pernah menerima perkataan demikian.

Keenam, walau saya khatam syarat-syarat persalinan caesar, tapi ternyata saya tidak tahu prosedur caesar bahwa ada beberapa dokter yang menjalankan prosedur ekstra memberikan bius penidur setelah operasi dilakukan. Bius kedua ini sebenarnya tidak penting dan tidak perlu dilakukan apalagi bila hendak IMD atau menyusui sedini mungkin walau tidak segera setelah persalinan. Karena dengan pemberian bius ini, hilang waktu sekitar 1-2 jam yang harusnya bisa langsung menyusui bayi, karena ibu masih belum sadar. Bius ini bisa didiskusikan dengan dokter kandungan untuk tidak diberikan. Saya sendiri karena baru tahu saat di ruang operasi mengobrol dengan dokter anestesi, saat itu juga saya minta untuk tidak diberikan.

Terakhir, terutama pada kehamilan ke-4, saya menyepelekan anemia. Karena merasa di kehamilan sebelumnya, walaupun diresepkan dan minum penambah darah (tapi minumnya malas-malasan) juga nggak kenapa-kenapa, jadi di kehamilan terakhir saya makin malas. Ternyata saya harus membayar cukup 'mahal' atas kemalasan itu. Saya harus membayar ekstra dua kantong darah (ternyata sekantong darah mahal juga yaa, hiks) untuk berjaga-jaga menaikkan kadar Hb yang sebenarnya terlalu rendah untuk menjalani operasi. Meleset sedikit saya bisa taruhan nyawa.

Tapi imbasnya tidak cuma itu saja. D4 juga jadi terkena ADB (anemia defisiensi besi) yang berakibat pertambahan berat badan dan perkembangan milestone-nya lebih telat daripada kakak-kakaknya.

Mommies, jangan sampai ada penyesalan seperti saya, ya, saat menjalani kehamilan. Do what you have to do. Better save than sorry.

*gambar dari sini

Share Article

author

kirana21

FD/MD resident


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan