Menikah itu susah karena ada banyak hal baru yang akan Anda dan pasangan temu ketika memasuki dunia baru ini. Ini dia alasan lengkapnya!
Belum lama, seorang teman yang sudah sekian lama tak pernah kontak, menghubungi saya demi menanyakan kontak rekomendasi pengacara untuk mengurus perceraian. “Apa? Cerai?” ucap saya, terkejut dengan kabar tersebut. Pasalnya, setahu saya ia hidup sendiri setelah ditinggal meninggal suami.
Update punya cerita, rupanya ia baru sebulan menikah. Akan tetapi, setelah menikah, ia mendapati ada ketidakjujuran dari suami. Selain itu, banyak hal-hal lain yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. “Saya nggak suka temperamennya. Dia pemarah. Dia bohong tentang pernikahan sebelumnya. Dia manipulatif. Dia bikin saya tertekan secara mental,” begitu cerita teman.
Sebagai perempuan berusia matang dan pernah menikah, saya kira ia sudah paham betul seluk beluk rumah tangga. Tidak tahunya, ia tidak jauh beda dengan ABG yang impulsif. Setelah nggak mau lagi dengan pasangan, ia keukeuh, pokoknya mau cerai secepatnya. Kalau perlu sekarang juga. Bak ABG ngambek minta putus. “Lah, terus kemarin siapa yang maksa kamu nikah? Memangnya waktu pacaran ngapain aja?” Saya tembak ke dia.
Kawinnya gampang, cerainya ribet, dan jelas memakan waktu panjang dan episode yang menguras emosi, kecuali pihak suami juga buru-buru pisah. Kalau dia nggak mau? Tidak ada KDRT fisik di sini. Selebihnya, saya tidak tahu detailnya.
Begitu “masa honeymoon” lewat, hormon memudar, maka kita akan terkaget-kaget dengan “isi” yang berbeda dengan kemasan yang kita bayangkan dari pasangan, yang ternyata tidak sesuai mau dan ekspektasi kita. Terus kalau sudah terlanjur menikah, gimana, dong!
BACA JUGA: Bukan Matre, 5 Persiapan Keuangan Ini Harus Dipahami Sebelum Menikah
Ya, menikah itu susah. Jadi sebelum menikah ada baiknya Anda mempertimbangkan dulu deretan hal berikut ini!
Foto: Freepik
Menikah memang mudah, sebagai seremoni, resepsi, apalagi kalau kita tidak perlu urus semuanya sendiri alias sudah ada yang mengatur. Tinggal jadi “Ratu” aja dan terima beres. Namun yang harus dipikirkan adalah hidup setelah seremoni selesai dan masa bulan madu lewat.
Menikah butuh komitmen besar untuk sebuah perjalanan yang panjang, bahkan, ya, siap mental untuk bersama sepanjang hayat (selama syarat dan ketentuan berlaku).
Keliru jika dibilang pernikahan adalah penyatuan dua individu yang melebur jadi satu. Tidak mungkin dua individu dengan latar belakang, kebiasaan, ekspektasi, nilai, yang berbeda bisa berubah dalam sekejap menjadi pribadi yang sama sekali berbeda, dalam sebuah satu kesatuan.
Kalaupun di awal sejalan, dalam perjalanan, kita ataupun pasangan bisa punya dinamika sendiri, lalu memilih untuk berbeda jalan, karakter yang berubah, hingga tujuan hidup, dan itu semua hal yang wajar terjadi. Tidak ada orang yang sama terus untuk selamanya. Butuh sikap penerimaan serta kedewasaan menerima perubahan, dinamika, dan pilihan-pilihan ini perlu terus dikembangkan.
Cinta saja tak cukup dalam pernikahan. Masalah finansial seringkali menjadi sumber konflik utama. Ketidakmampuan untuk mengelola uang dengan baik atau memiliki pandangan berbeda tentang pengeluaran bisa menyebabkan ketegangan dan konflik.
Masalah finansial tidak melulu terjadi pada pasangan yang “pas-pasan”, bisa juga dialami oleh pasangan berduit. Ini soal cara pandang terhadap uang dan materi.
Peran dan tanggung jawab dalam pernikahan sering kali tidak seimbang, yang bisa menyebabkan perasaan tidak dihargai atau terlalu banyak beban oleh salah satu pihak. Hal ini juga bisa menjadi pemicu konflik. Ada baiknya diungkapkan segamblang mungkin sebelum menikah.
Foto: Freepik
Selain keuangan, hal yang bisa membuat menikah itu jadi susah adalah adanya perbedaan dalam kebutuhan dan keinginan seksual. Terlihat sederhana tapi itu bisa menjadi sumber ketidakpuasan dalam pernikahan.
Kalian juga perlu catata bahwa masalah di luar hubungan, seperti pekerjaan, keluarga, atau kesehatan, juga dapat memengaruhi dinamika pernikahan.
Perilaku tidak jujur dan menggantungkan kebahagiaan pada pasangan, bisa menjadi sumber derita. Gampang baper, reaktif, tidak mau berefleksi, dan cenderung senang menyalahkan pihak lain adalah beberapa contoh perilaku minimnya kesadaran diri.
Sulit untuk menyampaikan perasaan, kebutuhan, dan harapan dengan jelas kepada pasangan juga bisa memicu rumah tangga jadi terguncang dan menjadikan pernikahan hal yang sulit.
Foto: Freepik
Itu dia deretan alasan kenapa menikah itu susah dan benar-benar butuh pertimbangan matang. Silahkan disimpan atau dibagikan untuk rekan-rekan yang mungkin membutuhkan!
BACA JUGA: Perjanjian Pisah Harta Setelah Menikah: Manfaat, Syarat dan Prosedur
Cover: Freepik