Ditinggalkan demi wanita lain sejak tahun 2013 dan baru digugat cerai tahun 2020, kehadiran keluarga besar, anak, tetangga serta pekerjaan yang membuatnya kuat menjadi single mom.
Octiani Eka Hapsari, seorang associate psikolog (asesor) baru digugat cerai bulan Juli 2020. Ibu dari Namira Husna (14 tahun) dan Djenar Maylafaisha (12 tahun) ini menanti niat baik selama 7 tahun, paling tidak sedikit saja komunikasi dan perhatian untuk anak-anak. Saat ini proses perceraian sedang berada pada tahap menghadirkan saksi-saksi dari kedua belah pihak, namun bagi Sari, single parenting praktis sudah ia jalankan sejak tujuh tahun yang lalu.
Harus diakui, anak-anak cukup akrab dengan ayahnya. Bahkan anak saya yang pertama masih sering tidur bersama dengannya sebelum kami berpisah. Hingga akhirnya membuat saya memprioritaskan untuk mengamankan psikologis anak-anak. Sejak meninggalkan rumah, perhatian dari ayah mereka menjadi jauh berkurang. Yang di awal-awal perpisahan masih menyempatkan pulang seminggu sekali, rutin menelepon anak-anak, seiring waktu dengan alasan kesibukan, perhatian itu lambat laun menyurut, jika tak ingin dikatakan hilang sama sekali.
Baca juga:
Membesarkan Anak Tanpa Figur Ayah
Sejak awal perpisahan saya berupaya untuk tetap bisa menjalin komunikasi baik dengan mantan, maupun dengan keluarganya. Tahun-tahun pertama setelah perpisahan, terutama saat libur Lebaran, saya antar anak-anak ke rumah mantan mertua, paling tidak agar bisa bertemu ayahnya di sana.
Jujur, semakin sulit saya berkompromi ketika lama kelamaan komunikasi saat ini seperti terputus. Anak-anak tidak pernah ditengok, tidak dinafkahi, baik lahir maupun batin. Yang awalnya berniat kompromi, tapi apa yang dikompromikan jika komunikasi saja tidak ada?
Yang pertama tentu bapak saya. Dia yang paling utama, ya. Buat saya, bapak memiliki peran besar untuk memberikan image yang tepat tentang bagaimana seharusnya seorang pria bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Selanjutnya adalah keluarga besar saya. Ibu, adik-adik dan keluarganya yang saat kooperatif, terutama ipar-ipar saya yang bersedia berperan sebagai figur laki-laki untuk anak-anak. Ketika saya harus membagi waktu antara pekerjaan dan kebutuhan anak terutama kebutuhan mereka bersekolah, ya, keluarga saya sangat kooperatif back up saya.
Yang ketiga adalah asisten rumah tangga dan beberapa tetangga dekat. Mereka juga yang membantu saya menjaga anak-anak dan rumah ketika saya sedang beraktivitas di luar.
Mendidik anak perempuan itu challenging. Kalau saya sampai salah mendidik mereka, yang ditakutkan mereka pun akan salah dalam mendidik anak keturunannya. Terutama mereka saat ini ada di usia jelang remaja yang emosinya labil. Kalau ditanya berat nggak jadi single mom? Tentu berat, tapi juga bisa jadi ringan. Saat kami bisa tertawa bersama, kami bisa happy bersama. Double the job, but also double the love..
Alhamdulilah saya dikaruniai 2 anak perempuan yang cukup mandiri dan sangat dekat dengan saya. Being a single mom is definitely not easy. Proses ini tidaklah mudah tapi juga tidak terlalu sulit. Ada ups and downs nya juga. Ada momen happy, tapi juga ada kecewa, bahkan ada teriakan dan tangisan. Tapi justru dengan itu semua saya dan anak-anak semakin lekat dan dekat. Bahkan saat sidang cerai, ketika mereka ditanya hakim (karena usia mereka sudah diperbolehkan memilih) mau pilih ikut siapa, they straightly said: definitely, Mom!
Menangis tentunya, hahaha…Setelah itu tarif napas dalam-dalam, istighfar, baca sholawat, mengucap doa-doa yang baik. Yang paling saya ingat sebuah hadits Rasul yang menyebutkan bahwa barang siapa orang tua bisa mendidik 2 atau 3 orang anak perempuan dengan baik, janji Rasulullah, ia akan bergandengan tangan dengan beliau di hari akhir. Itu saja yang jadi penguat saya.
Terkadang, kalau sedang PMS atau sedang capek, emosi saya sering terpancing. Padahal mungkin sebenarnya hanya salah paham saja, atau mereka melakukan kesalahan kecil. Tapi setelah itu saya komunikasikan ke mereka, ada kondisi-kondisi bunda bisa cepat marah dan kecewa, terutama jika sedang capek. Mereka pun belajar untuk lihat-lihat situasi. Kalau mau ribut atau berantem, ya, jangan pas bunda baru pulang kerja misalnya, hahaha...
Saya punya Allah. Saya punya anak-anak. Saya punya keluarga. Mereka mencintai saya dengan tulus. Saya juga punya profesi dan pekerjaan yang Insha Allah bisa menjadi media saya untuk berkreasi dan belajar bahkan untuk menafkahi kedua anak saya.
Dengan saya menjadi ibu sekaligus ‘ayah’ buat mereka, saya ingin sampaikan pada mereka tidak semua lelaki (dalam hal ini ayah) mau bertanggung jawab. Walaupun begitu tetap ada contoh laki-laki yang siap bertanggung jawab seperti eyang dan om-om mereka dari pihak saya. Ini membuat mereka tidak takut untuk bergaul, terutama si kakak yang memang lebih banyak teman lelaki daripada perempuan, ya.
Baca juga: