banner-detik
SINGLE & STEP PARENTING

A Little Sister Called Mommy

author

sanetya12 Dec 2011

A Little Sister Called Mommy
A mother is she who can take the place of all others but

whose place no one else can take.

-- Cardinal Mermillod

 

Hubungan saya dan mama tidak sedekat cerita-cerita di buku. Bahkan bisa dibilang kami ini seperti kakak-adik ... saya kakaknya dan mama adiknya. Lho, kok, terbalik? Ya karena sifat kami memang bertolak belakang. Saya termasuk orang yang cukup terorganisir dan mama tidak. Saya selalu siap ngemong dan mama cenderung memanfaatkan sifat saya yang satu ini. Haha. Kami jarang sekali melakukan kontak fisik ... pelukan? Jarang. Cium? Jah, tambah jarang lagi. Bukan gaya kami lah itu.

Mama melahirkan saya ketika beliau sibuk menyelesaikan kuliah kedokterannya. Jadi saya sering, tuh, ditinggal mama praktik ko-as di sana-sini. Dari cara mama membesarkan saya, saya tahu betul beliau ingin saya tumbuh jadi wanita mandiri dan tangguh, apalagi saya anak sulung. Gaya asuh mama unik. Beliau menganggap saya partner-nya. Mungkin karena beliau merasa partner yang sesungguhnya tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Mama selalu mengajak saya diskusi soal beragam hal ... bukan politik, lho, tapi hal-hal yang berhubungan dengan keseharian kami di rumah. Dari kecil saya sudah terbiasa mendengarkan curhatan mama soal rumah tangganya dan Manda kecil usia 5 tahun pernah kasih saran untuk bercerai saja. “Daripada nanti aku keburu ada adik, Ma. Repot,” ujar saya sok tua. Tapi mama memilih untuk bertahan. Perceraian mereka resmi ketuk palu baru sejak beberapa tahun lalu. Walau begitu, mama sudah menjalankan peran sebagai orangtua tunggal sejak lama.

Menjadi ibu rumah tangga tidak pernah dalam pikiran mama. Dan dengan kondisi keluarga kami, mau tidak mau beliau memang harus bekerja. Bahkan sampai sekarang mama masih praktik di salah satu RS pemerintah di daerah Jakarta Pusat. Saya tahu bagaimana beliau struggle membagi waktu untuk keluarga, pekerjaan, dan bahkan kuliah S2. Pulang kerja, setelah urusan anak beres, beliau langsung buka bukunya sendiri dan belajar hingga larut malam. Cukup sering saya menemani beliau menghafalkan beragam prosedur kedokteran, bahkan saya dikerahkannya untuk mengetik tesis. Ini mungkin salah satu momen ibu-anak kami yang intim. Tanpa pelukan, tanpa cium, apalagi kata-kata mutiara.

Memiliki pengalaman tidak enak dengan rumah tangganya tidak membuat mama lantas memberikan saya wejangan panjang lebar mengenai laki-laki dan kriteria calon suami. Ketika dulu saya mengenalkan calon suami beserta pengalaman masa lalunya, mama hanya berpesan agar kami menjalani hubungan itu dengan serius, ingat Tuhan, dan menggunakan akal sehat. Kata mama, ketiga hal tersebut sudah pasti akan membuat kami merencanakan masa depan dengan baik. Mama saya, tuh, jarang banget bicara hal serius ... jadi sekalinya ngomong pasti langsung kena.

Lucunya, saya yakin sekali mama merasakan hal yang sama, sejak saya menikah ... saya jadi merasa lebih dekat dengan mama. Tetap tanpa peluk-peluk dan cium, ya, maksudnya dekat secara emosional. Saya seperti jadi tambah memahami beliau. Saya sekarang mengerti alasan mengapa beliau mengambil bermacam keputusan yang dulu sepertinya tidak masuk ke dalam logika saya.

Hubungan kami pun bertambah dekat lagi saat saya hamil dan akhirnya melahirkan Inigo Anargya atau Igo (kini 2 tahun 8 bulan). Saya ingat sekali cobaan waktu mau melahirkan dulu. Bayangkan saja, di saat kontraksi sudah 10 menit sekali, si mama yang mau mengantar ke RS malah mau makan mi dulu di rumah! Rasanya mau nangis. Mau marah tapi takut kualat karena banyak cerita yang bilang kalau mau melahirkan sebaiknya minta maaf pada orang-orang yang dituakan. Haha. Tapi ... waktu saya mulai meracau di ruang VK, mama dengan gayanya yang koboi itu menenangkan saya, “Daripada kamu heboh bilang sakit ... semua orang juga tau, buang-buang tenaga, lebih baik kamu baca Al-Fatihah dan berdoa minta dilancarkan Allah. Kalau melahirkan itu enak, makin penuh dunia.” Setelah berjuang fokus baca Al-Fatihah 4 kali dan berdoa, dalam waktu satu jam bukaan saya lengkap! Ya, yang awalnya mandek di bukaan dua, langsung bat bet sat set lengkap! *peluk mama* Hihi ... mama ikut masuk ke ruang bersalin, lho. Dan teteup, lho, ya, di sela saya mengejan, beliau bertukar alamat FB dengan Pak Dokter karena mereka seumuran dan punya mutual friends. *tutup muka*

Foto di atas ini diambil saat Mama, Igo, dan sepupu saya merayakan ulang tahun bersama-sama. Mereka bertiga lahir di bulan Maret. Mama tanggal 12, Igo tanggal 19. Tante saya bilang itu bagian dari kualatnya saya ke mama, anak saya lahir dekat-dekat neneknya, deh. Plus wajah Igo juga plek ketiplek si mama waktu kecil dulu. Lengkap, deh. Hahaha. O, ya, di saat banyak orangtua baru mengeluhkan kakek-nenek yang cenderung memanjakan cucunya, saya justru bersyukur punya ibu seperti mama. Karena beliau pernah mengalami hal tersebut, di mana saya dimanja ampun-ampunan oleh almarhum kakek, sekarang beliau cukup bisa mengerem diri. Beliau selalu bertanya pendapat saya dan suami soal apa pun yang menyangkut Igo termasuk meminta persetujuan kami tiap kali Igo merengek ke nenna (begitu Igo memanggil mama) minta dibelikan sesuatu.

Mama mungkin bukan sahabat terdekat saya atau seorang wanita yang bisa merengkuh anak-anaknya dalam kehangatan keibuan. Dengan gayanya sendiri, mama adalah ibu terbaik untuk saya. I love you, Mom.

 

 

 

Share Article

author

sanetya

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan