Perempuan selingkuh itu cuma mitos, karakter di film dan drama sinetron. Yakin? To be fair, ada pria-pria yang menjadi korban perselingkuhan sang istri.
Selama ini ada semacam stereotype, pelaku perselingkuhan dalam pernikahan umumnya pria. Lebih sering, para istri yang jadi korban. Makanya ada istilah pelakor, perebut laki orang. Lagipula, kalau perempuan mencari petualangan di luar, apa sih yang dicari? Ada anggapan, perempuan tidak butuh seks, lebih mementingkan kemesraan, komitmen, dan stabilitas dalam hubungan. To be fair, ada juga lho, pria-pria nelangsa yang menjadi korban perselingkuhan sang istri.
Perselingkuhan ini sudah ada sejak zaman dulu kala, sejak manusia mengenal institusi bernama perkawinan. It takes two to tango, katanya. Sebuah perselingkuhan bisa terjadi dalam pernikahan, penyebabnya pasti dua-duanya. Kenyataannya tidak selalu begitu. Terus kenapa, dong? Sebetulnya ada banyak pembahasan tentang cinta dan pengkhianatan, tetapi saya coba pilih dan kompilasi beberapa pendapat yang menarik dan umum seputar ini.
Baca juga:
Pasangan Selingkuh, Apa yang Harus Dilakukan?
Pendapat psikoterapis Gary Numan, dari riset yang dilakukan pada 500 responden perempuan. Responden yang tidak berselingkuh mengatakan, mereka melakukan hubungan seks setidaknya 10 kali dalam sebulan. Sedangkan, responden yang berselingkuh, mengatakan, paling banyak hanya 5 kali dalam sebulan. Selain frekuensi hubungan seks, Gary juga menyoroti kurangnya komunikasi.
Di otak kita, sistem yang berhubungan dengan cinta, ada tiga. “Ada dorongan seks, yang seperti ‘gatal saraf yang tak tertahankan.’ Ada cinta romantis, jatuh cinta termehek-mehek pada satu orang. Lalu, ada hasrat untuk keterikatan, ketenangan, dan keamanan dengan pasangan untuk jangka waktu panjang sehingga bisa membesarkan anak bersama,” ungkap Helen Fisher, seorang Biologi Antropolog. Ketiga hal itu tidak selalu saling terkait. Jadi bisa saja kita punya ketiga rasa itu pada orang-orang yang berbeda dan seseorang bisa mencintai lebih dari satu pasangan.
Baca juga:
Hilang Cinta dalam Pernikahan, Bertahan atau Selesai?
Ingin pernikahan bahagia? Delete akun IG dan Facebook Anda. Demikian saran dari Dr. Dion Metzger, penulis Modern Trophy Wife. Seringkali, perselingkuhan terjadi lewat kanal media sosial, bukan karena flirting dengan orang yang sama sekali baru dikenal, tetapi pertautan kembali dengan teman lama, teman sekolah, atau malahan dengan mantan. Ehem…ehem…!
Budaya chauvinistic telah lama memberi ruang dan seolah melazimkan pria untuk punya ‘dua rumah’. Kalau orang Meksiko menyebutnya, "la casa grande y la casa chica — satu untuk keluarga, dan satu untuk nyonya.” Dengan kata lain, perselingkuhan bisa terjadi sebagai bentuk balas dendam terhadap suami yang lebih dahulu melakukan pengkhianatan.
Ini pendapat yang paling umum. Perselingkuhan dilihat sebagai gejala, dari adanya ‘penyakit’ utama. Entah itu tidak adanya trust, relasi yang tidak seimbang, pasangan tidak perhatian, pasangan terlalu perhatian (overprotektif), tidak ada cinta dan gairah, terlalu cinta atau posesif, salah satu pihak melakukan kekerasan, dan sebagainya.
Baca juga: Pasangan Selingkuh, Alasan dan Tanda-tandanya Menurut Psikolog
Perselingkuhan menjadi cara untuk memagari diri agar tidak menjadi pihak yang tersakiti. Bisa saja, akibat perceraian orangtua, pernah disakiti kekasih, merindukan figur ayah, dan sebagainya. Ada perasaan insecure dalam relasinya dengan pasangan, demikian pendapat dari coach relationship, Mark Williams. "Mereka butuh merasa aman dan terjamin. Kalau sedikit saja mereka merasa terancam, mereka akan mencari kompensasi dan validasi dari luar.”
“Saya bahagia dalam perkawinan. Suami saya baik-baik saja. Tapi…saya selingkuh!” Ada juga model yang begini. Kalau kata Esther Perel, penulis The State of Affairs: Rethinking Infidelity, perselingkuhan juga bisa terjadi karena seorang perempuan mengalami krisis identitas, sebagai bentuk penemuan diri. Bisa saja, dia selama ini adalah perempuan baik-baik, tidak pernah neko-neko. Atau, kalau dalam bahasa kita, sering dibilang, ‘telat nakal’. Di mata sosial, ia sosok yang menyenangkan dan memenuhi harapan orang lain.
Lalu, ia mulai mempertanyakan, “Kalau aku tidak sempurna, kira-kira orang lain masih bisa menerima aku nggak ya?” Perselingkuhan karena alasan ini, bukan masalah dengan siapanya, tetapi, menurut Esther, lebih pada masalah transformasi diri. Dia sedang berhadapan dengan dirinya yang baru.
Baca juga: