Sorry, we couldn't find any article matching ''

Fenomena “Grey Divorce”: Ketika Rumah Tangga Runtuh di Usia Senja
Mengapa banyak pasangan yang bercerai di masa lansia? Kenali fenomena grey divorce, alasan, dampak, dan tips dari psikolog untuk pulih.
Pernikahan panjang puluhan tahun sering kali dianggap sebagai simbol keberhasilan sebuah hubungan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena baru yang membalik pandangan itu: grey divorce — perceraian di usia 50 tahun ke atas.
Kasus seperti Bill dan Melinda Gates, Hugh Jackman dan Deborra-Lee Jackman, atau Rhea Perlman dan Danny DeVito membuktikan bahwa bahkan rumah tangga yang tampak solid selama puluhan tahun bisa berakhir juga.
Fenomena ini kini menjadi sorotan, bukan hanya karena meningkatnya jumlah kasus, tapi juga karena dampaknya yang begitu besar terhadap kesejahteraan emosional dan sosial para lansia.
BACA JUGA: 5 Tips Pernikahan Tetap Harmonis di Usia 50 Tahun ke Atas, Tetap Bahagia dan Langgeng!
Apa Itu Grey Divorce?
Menurut psikolog Dr. Chivonna Childs, “Grey divorce adalah perceraian atau perpisahan yang terjadi di usia lanjut, biasanya di atas 50 tahun. Pasangan yang bercerai di usia ini umumnya telah menjalin hubungan jangka panjang selama belasan atau bahkan puluhan tahun.”
Berbeda dari perceraian pada pasangan muda yang sering dipicu oleh perselingkuhan, kekerasan, atau ketidakmatangan emosional, grey divorce biasanya terjadi karena akumulasi masalah kecil yang menumpuk selama bertahun-tahun — hingga akhirnya hubungan dalam rumah tangga tak lagi bermakna.
Foto: Freepik
Seberapa Umum Terjadi?
Angka grey divorce terus meningkat. Berdasarkan studi tahun 2022, pada 1990 hanya sekitar 8,7% pasangan berusia di atas 50 tahun yang bercerai. Namun pada 2019, angkanya melonjak hingga 36%. Bahkan, kelompok usia di atas 65 tahun menjadi satu-satunya kelompok yang tingkat perceraiannya terus naik.
Salah satu alasan utama adalah faktor generasi. Baby Boomers — mereka yang lahir antara 1946 hingga 1964 — dikenal lebih terbuka terhadap perceraian dibanding generasi sebelumnya. Di masa muda, mereka juga lebih sering mengalami perceraian, dan tren itu terus berlanjut hingga usia senja.
Mengapa Pasangan Lansia Memilih Bercerai?
Pertanyaan besar pun muncul: mengapa seseorang rela mengakhiri pernikahan setelah puluhan tahun bersama? Jawabannya ternyata tidak sesederhana “sudah tidak cocok lagi.” Ada banyak faktor yang berkontribusi:
1. Empty nest syndrome
Setelah anak-anak dewasa dan meninggalkan rumah, banyak pasangan mendadak merasa “kosong”. Selama bertahun-tahun, mereka lebih fokus pada peran sebagai orang tua ketimbang pasangan.
Ketika rumah kembali sepi, mereka baru menyadari bahwa tak banyak hal yang tersisa untuk dibicarakan.
Ahli resolusi konflik Kimberley Best, RN, MA, menjelaskan, “Bagi banyak pasangan, anak-anak adalah sumber koneksi utama. Saat mereka pergi, pasangan menyadari bahwa mereka sudah lama kehilangan kedekatan dan minat yang sama.”
2. Kemandirian finansial
Perempuan kini lebih mandiri secara ekonomi dibanding generasi sebelumnya. Mereka punya karier, penghasilan sendiri, dan tak lagi merasa “terjebak” dalam pernikahan yang tak membahagiakan.
Kemandirian finansial memberi keberanian untuk memilih kebahagiaan pribadi — meskipun itu berarti berpisah.
BACA JUGA: Sleep Divorce: Fenomena Pisah Ranjang yang Bikin Hubungan Bahagia
3. Perubahan prioritas dan umur panjang
Harapan hidup yang semakin panjang juga menjadi faktor penting. Banyak orang di usia 50–60 tahun masih merasa sehat, aktif, dan ingin menikmati sisa hidup dengan cara yang lebih bermakna.
Ketika hubungan tak lagi memberi rasa puas, beberapa memilih memulai hidup baru daripada bertahan dalam ketidakbahagiaan.
4. Stigma yang berubah
Dulu, perceraian di usia tua dianggap aib. Kini, persepsi itu mulai berubah. Banyak orang menyadari bahwa perceraian bisa menjadi pilihan sehat bila hubungan sudah tak lagi memberi dukungan emosional.
5. Masalah kesehatan dan peran caregiver
Penyakit kronis atau ketimpangan peran dalam merawat pasangan sakit juga bisa jadi pemicu. Tekanan fisik dan emosional dari peran caregiver kerap menggerogoti hubungan secara perlahan.
Dampak Emosional dan Psikologis dari Grey Divorce
Perceraian di usia muda tentu berat, tetapi perpisahan di usia senja membawa dimensi emosional yang berbeda. Banyak yang merasa kehilangan identitas, teman hidup, bahkan arah hidupnya.
1. Rasa duka dan kehilangan
Terpisah dari seseorang yang telah menjadi bagian besar hidup kita menimbulkan perasaan kehilangan mendalam.
Terapis pasangan Kate Engler, LMFT, CST, menyebutnya sebagai ambiguous loss — kehilangan yang samar karena orangnya masih ada, tetapi tidak lagi menjadi bagian dari hidup kita.
2. Stres, cemas, dan depresi
Bagi sebagian orang, perceraian di usia lanjut bisa terasa seperti kesempatan kedua. Tapi bagi yang tidak menginginkannya, perpisahan bisa memicu stres berat atau depresi.
Dr. Michelle Feng, Chief Clinical Officer di Executive Mental Health, menjelaskan, “Ketika kemitraan seumur hidup berakhir, seseorang harus menata ulang makna, tujuan, dan relasi dalam hidupnya. Perceraian dapat menghapus struktur sosial yang telah ada selama bertahun-tahun, membuat seseorang merasa kehilangan arah dan kesepian.”
3. Krisis identitas dan menurunnya harga diri
Setelah lama diidentifikasi sebagai “pasangan dari seseorang,” banyak individu merasa kehilangan jati diri setelah bercerai. Proses membangun kembali kepercayaan diri dan mencari arah hidup baru menjadi langkah penting dalam pemulihan.
4. Kesepian dan isolasi sosial
Jaringan pertemanan sering kali menyusut setelah perceraian. Banyak orang merasa canggung menghadiri acara sosial sendirian atau kehilangan lingkaran sosial yang sebelumnya terbentuk dari relasinya dengan mantan pasangan.
5. Dampak kesehatan fisik
Berbagai studi menunjukkan bahwa orang yang menikah cenderung lebih sehat dan hidup lebih lama. Sebaliknya, perceraian dapat meningkatkan risiko stres kronis, gangguan tidur, bahkan masalah jantung.
Foto: bearfotos/Freepik
Bisakah Hubungan di Usia Senja Diselamatkan?
Menurut Dr. Chivonna Childs, solusi utama untuk mencegah grey divorce adalah konseling pasangan. “Konseling pasangan membantu membangun fondasi baru dan menciptakan ‘normal baru’. Konselor pernikahan akan membantu mencari akar masalah dan menemukan cara memperbaiki hubungan agar kualitas hidup bersama meningkat,” jelas Dr. Childs.
Selain terapi, Dr. Childs menyarankan beberapa langkah praktis:
- Temukan kembali kebahagiaan kecil dalam pernikahan. Buat jadwal kencan rutin, beri ruang bagi hobi masing-masing, dan tetap saling mendukung.
- Perbaiki komunikasi. “Pasangan suami istri perlu bisa mengungkapkan keinginan masing-masing, saling bicara jujur tentang apa pun,” ujarnya.
Jika Perceraian Tetap Terjadi Ini Cara Bertahan dan Pulih
Menghadapi grey divorce tidak mudah, tapi ada cara untuk bangkit kembali dan menemukan kedamaian baru.
- Terapi dan konseling pribadi: ahli kesehatan mental bisa membantu memahami emosi, memproses duka, dan menemukan strategi untuk bangkit.
- Cari dukungan sosial: jangan menyendiri. Berinteraksilah dengan teman, keluarga, atau kelompok dukungan agar tidak merasa sendirian.
- Rawat diri: lakukan aktivitas yang menyenangkan, olahraga ringan, atau praktik mindfulness untuk menjaga keseimbangan emosi.
- Jaga hubungan baik dengan mantan (jika memungkinkan): terutama bila masih ada anak dewasa atau cucu. Hubungan yang sehat pascacerai membantu menjaga stabilitas keluarga besar.
- Dan yang terpenting, berilah ruang untuk berduka: “Izinkan diri kita merasakan emosi. Meskipun kita yang menginginkan perceraian, tetap saja ini adalah kehilangan. Kita berhak berduka atas hidup yang kini berubah. Ini bukan berarti kita ingin kembali, hanya sedang meratapi apa yang telah hilang.”
Menatap Babak Baru
Fenomena grey divorce menunjukkan bahwa usia dan lamanya sebuah pernikahan bukan jaminan stabilnya hubungan. Namun, perpisahan di usia senja bukan akhir segalanya. Justru, bagi sebagian orang, ini adalah kesempatan untuk menemukan kembali jati diri, mengejar mimpi lama, atau sekadar belajar mencintai diri sendiri lagi.
BACA JUGA: 5 Hal Ini Dilakukan oleh Pasangan dengan Pernikahan yang Sehat
Cover: Freepik
Share Article


POPULAR ARTICLE


COMMENTS