Ribut-ribut dalam sebuah hubungan itu wajar selama bisa diatasi dengan cara yang sehat. Tapi bakal jadi masalah ketika perbedaan pendapat ‘diselesaikan’ dengan jurus mematikan seperti stonewalling.
Setiap hubungan pasti menghadapi tantangan, besar ataupun kecil. Beberapa hambatan besar dalam sebuah hubungan adalah komunikasi yang buruk dan mengatasi perbedaan pendapat dengan cara yang salah. Salah satu cara negatif itu adalah stonewalling.
Mungkin Mommies dan Daddies pernah menjadi pelaku atau korban dari perilaku ini—atau bahkan keduanya. Masalahnya, jika tindakan stonewalling ini berlangsung sering dan terus-menerus, maka akan menciptakan tembok emosional di antara suami dan istri. Dalam kasus tertentu, hal ini bahkan dapat menjadi bentuk pelecehan emosional, kondisi yang mirip dengan silent treatment.
Dr. John Gottman, seorang peneliti hubungan, menggambarkan stonewalling sebagai salah satu dari The Four Horsemen, yaitu empat gaya konflik yang dapat merusak hubungan dan berisiko tinggi mengakibatkan perceraian. Empat gaya konflik ini adalah kritik, penghinaan, defensif, dan stonewalling.
Stonewalling adalah perilaku menghindar di mana seseorang menarik diri atau menutup diri saat menghadapi konflik. Contoh dari tindakan ini termasuk:
BACA JUGA: 8 Hal yang Sering Dilupakan dalam Hubungan Pernikahan, Jangan Sampai Terlewat!
Stonewalling sering kali merupakan respons terhadap stres emosional yang intens atau emotional flooding. Dalam situasi konflik, emosi yang tinggi dapat memicu respons tubuh untuk melawan atau menghindar (fight or flight). Pada titik ini, kemampuan seseorang untuk merespons secara rasional menjadi terbatas, sehingga akhirnya ia menutup diri sebagai mekanisme perlindungan.
Beberapa alasan seseorang melakukan stonewalling meliputi:
Namun, dalam beberapa kasus, stonewalling dapat menjadi bentuk manipulasi atau penyalahgunaan. Jika seseorang selalu menentukan kapan komunikasi dimulai dan berakhir, tindakan ini berakhir hanya ketika salah satu meminta maaf, atau menggunakan sikap diam untuk menghukum pasangan, maka hal ini bisa menjadi tanda hubungan yang tidak sehat.
Seperti tindakan negatif lainnya, stonewalling tentu berdampak buruk terhadap hubungan suami dan istri karena menghalangi terjadinya komunikasi yang sehat. Ketika konflik tidak terselesaikan, masalah kecil bisa membesar dan menciptakan jurang emosional.
Dampak pada pasangan yang mengalami stonewalling (stonewallee) meliputi:
Sementara itu, pelaku stonewalling juga menderita karena alih-alih dapat mengungkapkan perasaan, mereka malah memendamnya. Ketika salah satu atau keduanya tidak bisa menceritakan apa yang ia rasakan kepada pasangannya, maka hubungan itu kehilangan kedekatan emosional. Jika perilaku ini terus terjadi, kepercayaan suami dan istri dapat terkikis, menghancurkan fondasi pernikahan yang sehat.
Meskipun sering kali tampak serupa, stonewalling dan silent treatment memiliki perbedaan mendasar dalam hal tujuannya.
Stonewalling merupakan reaksi bawah sadar untuk menciptakan jarak dan menghindari konflik. Ini sering kali terjadi karena seseorang merasa kewalahan secara emosional.
Silent treatment di sisi lain, merupakan tindakan yang disengaja untuk menghukum atau melukai perasaan pasangan. Silent treatment adalah bentuk manipulasi yang membuat suami atau istri merasa terisolasi.
Stonewalling mungkin terjadi karena alasan yang tampaknya tidak disengaja, seperti kebutuhan untuk melindungi diri. Namun, dampaknya dapat merusak hubungan jika dibiarkan tanpa penanganan. Dengan mengenali polanya, berkomitmen pada komunikasi yang lebih sehat, dan mengambil langkah-langkah yang tepat, pasangan suami istri dapat membangun kembali kepercayaan dan keintiman.
Jika stonewalling menjadi masalah dalam hubungan Mommies dan Daddies, berikut adalah langkah-langkah yang dapat membantu memperbaiki cara dan jalur komunikasi kalian.
Sadari kapan perilaku stonewalling muncul dan apa pemicunya. Dengan mengenali pola ini, Mommies dan pasangan dapat lebih siap untuk menangani masalah sebelum berkembang jadi lebih serius.
Menetapkan batasan dapat membantu menciptakan ruang komunikasi yang lebih sehat. Misalnya, Mommies dapat mengakhiri diskusi dengan tenang jika merasa diabaikan atau menjadwalkan waktu lain untuk berbicara ketika pasangan sudah lebih siap.
Bangun lingkungan di mana kedua pihak merasa nyaman untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan tanpa takut dihakimi.
Alih-alih sepenuhnya menutup diri, bersepakatlah untuk mengambil jeda singkat ketika pembicaraan mulai memanas. Tentukan waktu untuk melanjutkan percakapan ketika suasana hati dan kepala sudah lebih tenang.
Dengarkan pasangan dengan sungguh-sungguh untuk memahami sudut pandangnya. Jangan sibuk dengan pikiran kita sendiri, merancang kata-kata untuk menangkis penjelasan pasangan kita. Hindari keinginan untuk memotong ucapannya.
Ungkapkan perasaan dengan pernyataan “saya” (contoh: “Saya merasa terluka ketika…”) untuk mengurangi kemungkinan pasangan menjadi bersikap defensif.
Jika stonewalling menjadi masalah kronis, pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan terapis pasangan atau konselor yang dapat memberikan cara khusus untuk mengatasi masalah Mommies dan Daddies.
BACA JUGA: 11 Sifat Suami yang Bikin Istri Putus Asa, Yuk, Pahami Ini Paksu
Ingat, komunikasi yang sehat adalah fondasi hubungan yang kuat. Saat kedua pihak bekerja sama untuk saling mendengarkan dan mendukung, hambatan seperti stonewalling dapat diatasi, dan hubungan Mommies dan Daddies dapat menjadi lebih erat dari sebelumnya.
Cover: Kampus Production on Pexels