Ada pasangan yang berpisah tanpa ribut-ribut. Tapi pada kebanyakan kasus, proses perceraian biasanya jadi banyak drama karena emotional divorce.
Seperti sel kanker yang tumbuh tidak terkendali dan menjalar di dalam tubuh hingga menyebabkan kematian, pernikahan dua orang yang dulunya pernah saling cinta nggak ujug-ujug hancur tanpa sebab. Perpisahan biasanya diawali dengan konflik yang tidak kunjung mereda, tidak terselesaikan, ucapan dan tindakan menyakitkan yang menimbulkan emotional divorce. Lambat laun semua itu menggembosi perasaan cinta dan respek di antara suami istri. Pernikahan pun berakhir dengan perceraian.
Apa itu emotional divorce? Amanda Twiggs, seorang Marriage Coach mengatakan, “Emotional divorce terjadi ketika pasangan suami istri mulai terpisah dan tak terhubung baik secara emosional maupun fisik. Mereka merasa lebih seperti room mate, tanpa cinta dan gairah. Kondisi ini tentu dapat menyebabkan munculnya rasa kesepian, terisolir, dan rasa tidak puas yang luar biasa.”
BACA JUGA: Heboh Larangan Menikah Sabtu Minggu Mulai 2024, Ini Klarifikasi Kemenag!
Ini beberapa tanda yang bisa terlihat dari seseorang yang mengalami emotional divorce dalam pernikahannya.
Dulu, Mommies dan pasangan tumbuh dan berkembang bersama sebagai suami dan istri. Saling melengkapi, saling menyesuaikan diri, saling ingin membahagiakan. Mommies nggak suka sepak bola, tapi dengan senang hati menemani suami begadang nonton tim sepak bola favoritnya bertanding. Daddies nggak suka drakor, tapi demi istri tersayang, mau belajar suka. Waktu berjalan, semua berubah. Suami dan istri berhenti berkorban untuk saling membahagiakan.
Kehilangan kepercayaan terhadap pasangan umumnya terjadi ketika dia selingkuh. Pikiran rasional maunya memaafkan, tapi hati bilang lain. Bibir mengatakan Mommies atau Daddies sudah memaafkan dan bersedia memulai lagi dari awal, tapi ternyata nggak segampang itu. Perasaan terluka yang amat sangat karena dikhianati membuat suami atau istri sulit kembali memercayai pasangan. Kerusakan emosional sudah kadung terjadi. Perasaan curiga ibarat virus yang pada akhirnya menggerogoti pernikahan.
Bentuk komunikasi semakin terbatas, bahkan berkurang. Tidak ada lagi saling menanyakan kabar, tidak ada lagi cerita tentang kekonyolan bos atau teman kantor yang bisa bikin Mommies dan Daddies ketawa bareng. Komunikasi terpanjang mungkin pertanyaan seperti, ”Mau makan apa nanti malam?” atau “Aku pulang agak telat hari ini”.
Percakapan sering kali berubah menjadi perdebatan dan konflik. Duduk berpelukan di sofa semakin jarang bahkan menjadi hal yang dihindari. Kalau pun ada di satu ruangan, suami dan istri malah asyik dengan ponsel masing-masing.
Nggak kebayang seperti apa rasanya dibenci oleh orang yang kita cintai. Ketika Mommies atau Daddies dapet promosi, alih-alih memeluk sambil mengucapkan selamat, pasangan malah kasih komentar nggak enak, bahkan merendahkan. Pasangan seolah merasa Mommies atau Daddies nggak layak bahagia. Kebencian pasti merusak hubungan. Semua jenis hubungan. Kebencian terhadap pasangan atau kebencian Mommies dan Daddies terhadap pasangan atau gabungan keduanya bukanlah resep untuk pernikahan bahagia.
Siapa sih yang nggak bahagia pulang ke rumah yang hangat dan penuh cinta? Bertemu supporter terbaik kita, yang bisa menjadi sumber kedamaian di dunia yang penuh ketidakpastian. Perasaan kita akan berbeda ketika kita tahu kita akan pulang ke rumah yang bak medan perang karena nggak pernah ada hari lewat tanpa pertengkaran.
Banyak orang salah berpikir. Mereka menganggap pertengkaran seperti ini sebagai ekspresi cinta. Namun pertengkaran yang panjang, panas, terus-menerus, dan tidak pernah terselesaikan bukanlah tanda hubungan yang sehat, bahagia, dan penuh cinta. Pertengkaran terus menerus dapat membuat kita terkuras secara emosional. Dan ini adalah salah satu bentuk emotional divorce.
Ketidakjujuran tidak melulu berkaitan dengan perselingkuhan. Ini terjadi pada beberapa orang yang terjebak menikahi seorang pembohong kompulsif. Pembohong kompulsif tidak bisa merasa bersalah setiap kali membohongi orang lain, termasuk pasangannya.
Jika kita tidak bisa mempercayai pasangan kita bahkan untuk hal sederhana seperti membayar tagihan tepat waktu dan tidak memakai uangnya untuk beli sepatu atau ikat pinggang baru, maka ini salah satu tanda kita mengalami emotional divorce. Pernikahan macam apa yang kita harapkan jika landasannya adalah dusta?
Kita mungkin pernah dengar pasangan kita bertanya, “Kenapa sih kamu milih aku?” Ketika dia puas dengan jawaban kita dan nggak pernah bertanya lagi, itu melegakan. Tapi beda cerita ketika dia sering banget mengajukan pertanyaan seperti itu. Mommies dan Daddies perlu waspada karena itu adalah tanda seseorang yang menyimpan kecemburuan tidak beralasan, selalu curiga dan insecure.
Ini bentuk kecemburuan yang melelahkan karena pasangan Mommies dan Daddies bukan hanya cemburu tentang waktu yang kalian habiskan bersama teman atau rekan kerja, bahkan bisa meluas kepada anggota keluarga, hewan peliharaan, atau hobi Mommies dan Daddies. Orang yang insecure dan cemburuan akan suit dipuaskan.
Saking inginnya membahagiakan pasangan, Mommie dan Daddies banyak melakukan pengorbanan. Tanpa banyak tanya, meski kadang terpaksa. Terlalu banyak berkorban sampai-sampai semua orang yang mengenal Mommies dan Daddies dengan baik tahu bahwa kalian bukan lagi diri kalian yang dulu mereka kenal. Jika Mommies atau Daddies juga mulai merasa kehilangan jati diri kalian yang dulu, ini pun tanda Mommies dan Daddies mengalami emotional divorce.
Melelahkan karena Mommies atau Daddies merasa menjalankan pernikahan ini sendirian, tanpa partner. Menjadi pencari nafkah tunggal Daddies jalani dengan senang hati, tapi jadi berat karena setiap pulang ke rumah selalu disambut istri yang nggak berhenti mengeluh. Merawat rumah dan mengasuh anak adalah kebahagiaan buat Mommies. Tapi itu jadi dobel melelahkan karena suami kerap melampiaskan rasa frustrasinya di tempat kerja kepada Mommies di rumah.
Pernikahan yang seharusnya membuat kita punya teman seperjalanan dan sahabat di kala susah dan senang, sehat dan sakit malah membuat kita merasa sendirian, kesepian, dan kelelahan.
Salah satu tanda Mommies atau Daddies mengalami emotional divorce adalah ketika Mommies atau Daddies menyadari telah behenti mencintai pasangan. Sekeras apa pun Mommies atau Daddies berusaha untuk belajar kembali menumbuhkan perasaan cinta, upaya itu tidak berhasil. Jika cinta tidak ada dan tidak bisa kembali lagi, pernikahan akan sulit bertahan.
BACA JUGA: Tingkatkan Keintiman, Ini 20 Titik Rangsang pada Tubuh Istri yang Wajib Suami Ketahui
Cover: Freepik