Bolehkah berbohong demi menjaga perasaan? Apakah white lies pada pasangan bisa memperkuat atau memperburuk hubungan? Ini penjelasan dari psikolog.
“White lies bisa dikatakan sebagai bohong tipis-tipis. Kebohongan yang dianggap tidak akan besar dampaknya. Makna harfiahnya a lie about small or unimportant matter yang tujuannya membuat seseorang tidak merasa terlalu tersakiti,” jelas Psikolog Klinis Dewasa, Fadhilah Amalia, M.Psi., Psikolog, yang berpraktik di Sauh Psychological Services dan Brawijaya Hospital Duren Tiga.
Berbohong demi kebaikan biasanya juga digunakan sebagai cara untuk menghindari situasi tertentu agar tidak menjadi tambah rumit atau semakin canggung, terutama saat kita sedang bersosialisasi. Banyak orang berpendapat berbohong demi kebaikan tidak ada risikonya.
Biasanya, white lies dilakukan untuk menutupi sesuatu yang sepele dan diucapkan dengan cara senatural mungkin agar ucapan kita terdengar meyakinkan dan yang dibohongi nggak curiga. Terkadang white lies disamarkan dengan sanjungan dan pujian.
Kenapa seseorang punya kecenderungan melakukan white lies? “Sebenarnya ini bisa masuk ke dalam hal-hal yang berkaitan dengan keterampilan berkomunikasi kita yaitu mengungkapkan apa yang kita rasakan dan pikirkan dengan cara yang lebih asertif. Khususnya kepada pasangan. Kenapa sih kita merasa perlu menyembunyikan sesuatu dari pasangan kita? Kenapa harus menggunakan white lies sebagai coping mechanism? Kemungkinan karena ada kecemasan atau kekhawatiran terhadap respon dari pasangan kita,” jelas Psikolog Dhila.
Ngaku aja deh, pasti banyak di antara Mommies yang pernah melakukan white lies kepada pasangan. Misalnya, ketika Mommies janjian sama suami untuk makan malam sepulang kerja dan Mommies tahu bakal terlambat. Supaya suami nggak marah, Mommies bikin alasan yang sebenarnya tidak terjadi seperti terjebak macet.
Meskipun white lies dianggap nggak berbahaya, bagaimanapun juga, yang perlu dtelusuri adalah apa yang membuat seseorang tidak mau berkata jujur, terutama kepada pasangannya. Ini kembali lagi kepada keterampilan kita berkomunikasi secara terbuka dan asertif. Misalnya ketika Mommies hanya ingin langsung pulang ke rumah dan beristirahat, bukannya dinner berdua, sampaikan alasannya secara jujur.
Tunjukkan bahwa Mommies menyesal karena membuatnya kecewa. Menguasai keterampilan asertif sangat penting dengan menggunakan I message seperti ‘Sebenarnya aku sedih nggak bisa dinner sama kamu, tapi saat ini aku memang sedang capek banget dan butuh istirahat’.
BACA JUGA: Kesepian dalam Pernikahan: Penyebab, Tanda-tanda, dan Cara Mengatasi
Pertanyaannya sekarang, perlukah melakukan white lies untuk menjaga perdamaian dalam rumah tangga? “White lies, apa pun alasannya tetaplah sebuah kebohongan. Apalagi, di dalam sebuah rumah tangga value soal trust dan keterbukaan sangat penting. Walau kesannya melakukan white lies tidak membahayakan, jika kita sudah terbiasa melakukan white lies, kita akan selalu punya alasan untuk terus melakukan itu, yang akhirnya menghasilkan dampak buruk terhadap rumah tangga,” terang Psikolog Dhila.
Kebohongan kecil bisa berakibat besar. Sebuah studi yang dilakukan oleh Mary Kaplar dan dinamai Lying in Amorous Relationship Scale (LIARS) memberikan hasil yang mengejutkan. Awalnya Kaplar berasumsi bahwa berbohong demi kebaikan, seperti untuk menghindari konflik, tidak akan merusak suatu hubungan.
Namun, dia kaget saat mengetahui hasil studinya: kebohongan yang dilakukan demi menjaga perdamaian sekalipun dapat menghancurkan sebuah hubungan. Kaplar pun menyimpulkan bahwa orang harus berterus terang, meskipun kebenarannya tidak menyenangkan, daripada menyampaikan sebuah kebohongan yang hanya terdengar sedap di telinga.
“Tidak mampu berkomuniksi secara asertif akan mendorong kita melakukan white lies sebagai bentuk avoidance coping mechanism (menghindari masalahnya). Karena ini (menggunakan white lies) adalah passive coping, maka justru tidak ada tindakan-tindakan aktif yang mengarah pada problem solving. Jadi, menjaga perdamaian dalam rumah tangga sebaiknya tidak dengan melakukan white lies karena yang namanya habituasi pasti akan ada dampaknya dan memengaruhi pasangan,” saran Psikolog Dhila.
Berikut 10 poin yang menguraikan dampak white lies terhadap hubungan suami dan istri:
Mengenai apa yang harus dilakukan pasangan suami istri mengenai white lies, Psikolog Dhila menjelaskan, “Suami dan istri perlu memiliki nilai-nilai yang dianggap penting dalam kehidupan berpasangan. Misalnya keterbukaan dalam komunikasi dan kepercayaan. Bicarakan value dan fondasi dalam berumah tangga, serta ekspektasi pasangan terhadap kita (begitu pula sebaliknya). Sepakati dan elaborasi bersama. Misalnya, Mommies bisa mengatakan ‘Sebenarnya saya ingin diperlakukan seperti ini…’. Upayakan suami dan istri memiliki same definition, visi, dan misi. Jangan lupa, miliki pula keterampilan berkomunikasi asertif yang lebih baik,” jelas Psikolog Dhila.
Mommies harus selalu jujur pada diri sendiri tentang apa yang Mommies lakukan dan alasannya. Terutama kepada orang yang paling Mommies cintai.
Mengatakan kebenaran biasanya merupakan keputusan terbaik. Sedangkan kebohongan-kebohongan akan mengikis kepercayaan dan keintiman dalam hubungan suami dan istri.
Jika white lies selalu berulang, usahakan menyelesaikan masalahnya bersama-sama. Terutama agar habit melakukan white lies tidak terjadi lagi, lagi, dan lagi. Bila kebiasaan melakukan white lies sering terjadi dan berdampak terhadap pribadi atau terhadap suami dan istri, maka Mommies dan Daddies perlu mencari bantuan profesional.
Selalu bersikap jujur, meski kadang tak nyaman didengar, justru adalah kesempatan baik untuk menunjukkan suami dan istri dapat saling mencintai dengan menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing.
BACA JUGA: 6 Manfaat Berbagi Pekerjaan Rumah Tangga, Serta Tipsnya
Cover: wayhomestudio on Freepik