Childfree, sebuah keputusan yang kini banyak dilakukan dengan beragam pertimbangan oleh pasangan suami istri. Ini beberapa alasan mereka!
Memutuskan untuk childfree ternyata bukan hal yang mudah. Apalagi ketika Anda sudah menikah, yang artinya hal ini harus dibicarakan oleh pasangan. Keluarga pun bisa memberikan respon yang berbeda, ada yang kecewa tapi ada juga yang kembali mengevaluasi diri.
Mommies Daily pun berkesempatan bertanya kepada beberapa perempuan mengenai alasan mereka memilih untuk childfree, bagaimana membicarakannya dengan pasangan, serta respon keluarga serta tantangan terberat yang sering dialami. Yuk, intip cerita mereka di bawah ini!
BACA JUGA:
Saya memutuskan untuk childfree kira-kira setahun setelah menikah. Sebelum menikah sebetulnya belum kepikiran childfree tapi seiring berjalannya waktu dan melihat situasi serta kondisi, mulailah muncul keinginan untuk childfree.
Alasan idealisnya karena saya enggak mau lagi menambah jumlah manusia di bumi. Bayangkan populasi manusia di bumi per Mei 2022 ini sudah mencapai 7,95 miliar.
Kalau alasan dari hati itu karena menurut saya dunia makin nggak jelas, mulai dari global warming, keamanan, kriminalitas, dan banyak masalah lainnya. Kehidupan di masa sekarang juga semakin berat, persaingan makin ketat, masalah mental health juga semakin banyak.
Kebalikan dari anggapan orang yang menganggap orang childfree itu egois, sebenarnya malah sebaliknya, saya justru mikirin kehidupan ‘anak’ saya nanti. Saya kasihan kalau ‘anak’ saya harus menjalani hidup yang berat seperti itu.
Kebetulan saya tidak ada masalah ketika membicarakan keputusan ini dengan pasangan. Suami saya orangnya santai dan menyerahkan keputusan kepada saya. Dia juga orangnya biasa aja dan nggak terlalu ngebet punya anak.
Untuk keluarga sendiri tentu saja penuh pro kontra, tetapi yang paling banyak adalah yang kontra karena ini bukan keputusan yang umum di Indonesia. Sebenarnya saya nggak bilang secara gamblang kalau saya memutuskan childfree ke saudara-saudara, mereka tahunya saya belum punya anak saja.
Kalau dengan teman-teman dekat, saya mengaku childfree dan pada umumnya mereka lebih open minded dan mendukung keputusan saya.
Tantangan terbesar memutuskan childfree itu adalah menghadapi nyinyiran orang atau tatapan kasihan orang-orang terhadap saya karena saya nggak punya anak. Padahal saya dan suami happy aja. Mereka menganggap hidup saya tidak lengkap dan tidak bahagia karena tidak punya anak.
Menurut saya kehadiran anak di Indonesia itu kan semacam pride. Mau kalian ‘MBA’ atau cerai, tapi kalau punya anak, ya nggak akan banyak yang komentar. Beda kalau kalian nggak nikah atau nggak punya anak, meski kalian bahagia, tapi pasti akan ada yang menyindir.
Saya, sih, sudah kebal sama omongan orang, pokoknya masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Kalau ada saudara atau orang yang lebih tua berkomentar, saya lebih banyak diam atau senyum-senyum saja, nggak perlu diladeni atau dijelaskan.
Makanya sekarang saya nggak terlalu jujur kalau childfree, soalnya nanti akan dinasehati panjang lebar soal anak. Biarlah orang-orang menganggap kalau saya belum punya anak aja, jadi nggak akan terlalu banyak dinyinyirin.
BACA JUGA: Ingin Childfree, Apa yang Harus Dipertimbangkan?
Dulunya saya masih berpikir ingin punya anak biologis. Saya senang sekali dengan anak kecil, bahkan sampai sekarang juga masih sangat suka berinteraksi dengan anak kecil. Namun saat mulai memasuki umur 30-an, pemikiran saya mulai berubah dan keinginan untuk punya anak juga tidak sebesar dulu.
Buat saya sendiri trigger utama saya mengambil keputusan untuk childfree mungkin akibat trauma dari pengalaman masa kecil dan hubungan keluarga yang tidak baik. Selain itu, masalah finansial yang belum stabil juga jadi alasan lainnya.
Menurut saya, punya anak itu butuh biaya yang sangat besar, dan saya tidak siap untuk memenuhi hal ini.
Untungnya tidak ada kesulitan saat membicarakan hal ini dengan pasangan karena hal ini kami diskusikan bersama. Pasangan saya juga memiliki pengalaman keluarga yang hampir sama, jadi dia juga sudah paham kalau punya anak itu tanggung jawab yang sangat berat.
Awalnya ketika mengetahui keputusan saya unguk childfree keluarga, terutama orangtua, agak kaget dan bertanya-tanya. Namun setelah beberapa tahun, mereka sadar bahwa kami serius, dan sudah tidak pernah menanyakan atau membahas tentang anak.
Buat saya dan pasangan, tantangan terbesar mungkin berusaha untuk beradaptasi dengan rekan dan teman-teman yang mulai berkeluarga dan memiliki anak.
Tentunya mereka lebih banyak memilih untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya. Sedangkan kami, karena cuma berdua, lebih punya banyak waktu luang untuk hangout, tetapi makin lama makin susah buat cari waktu yang pas buat hangout bersama teman-teman.
Saya memutuskan untuk childfree sejak 2 tahun setelah menikah. Awalnya saya dan pasangan hanya berencana untuk menunda memiliki anak karena belum siap. Namun, lama-lama malah jadi malas beneran untuk punya anak.
Pas setelah 2 tahun menunda punya anak saya jadi banyak bertanya lagi ke diri sendiri. Apa benar punya anak keinginan sendiri atau buat memenuhi standar orang lain? Kalau untuk memenuhi standar orang normal pada umumnya, ya, untuk apa?
Belum lagi pengeluaran sudah banyak, harus bantu-bantu orang tua, emosi belum stabil, dan juga takut sama hal-hal berbau rumah sakit, alat bedah, dan sebagainya.
Saya juga takut gagal ketika jadi orang tua karena dari kecil memang nggak punya figur orang tua yang hangat. Orang tua memang masih lengkap tapi kayak nggak dekat. Jadi tidak ada gambaran soal cara dekat sama anak. Takutnya juga siklus sandwich generation terus berulang. Lebih baik fokus aja ke diri sendiri dan suami. Kerja, cari uang untuk masa depan, dan pensiun.
Ditambah juga sekarang banyak penyakit, bumi juga semakin tua. Kasihan banget kalau anak-anak dilahirkan dengan beban hidup yang makin berat dari hari ke hari.
Untungnya saya dapat suami yang memang tidak pernah memaksa harus punya anak. Dia juga berpikir kalau hidup makin lama memang makin berat. Kalau tambah anak, ya, makin ribet. Sebelum menikah kamu juga sudah banyak bicara soal hal ini. Kami memang menikah tujuan utamanya bukan cuma soal anak.
Kalau keluarga sendiri responnya cukup berat. Namun setelah dijelaskan mereka akhirnya mengerti dan mereka juga instropeksi diri sendiri, karena memang ada salah juga. Tidak memberikan contoh figur orang rua, tidak mempersiapkan keuangan dengan benar sehingga jadi membebani anak. Kalau teman-teman, sih, rata-rata sudah open minded.
BACA JUGA: To Have or Not To Have, Memahami Pilihan Childfree
Cover: Freepik