Sebelum niat mempidanakan suami yang menikah lagi, mommies bisa baca dulu paparan berikut ini. Jangan lupa konsultasi dengan ahlinya, ya.
Ketika ada kejadian suami yang menikah lagi tanpa sepengetahuan istri, seringkali rasa sedih, sakit hati, marah, memenuhi ruang hati. Selain kesedihan, rasa benci dan tak percaya juga mungkin saja muncul, sehingga niat mempidanakan suami pun terlintas. Sebenarnya, bisa nggak, sih, suami yang menikah lagi tanpa persetujuan istri dipidana berdasarkan hukum yang berlaku? Berikut ini beberapa paparan dari berbagai sumber yang bisa kami kumpulkan dan mungkin bisa memberi pencerahan kepada mommies. Setelah membaca ini, saya sarankan mommies pikir baik-baik bila ingin mempidanakan suami atas pernikahan tanpa persetujuan tersebut. Konsultasi dengan ahlinya, ya.
Baca juga: 10 Jenis Kemarahan. Mana yang Paling Sering Anda Rasakan?
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menganut asas monogami sebagaimana tertera pada Pasal 3 UU Perkawinan tersebut. Dan kemudian berdasarkan Pasal 4 dan 5 UU Perkawinan, seorang suami hanya dapat beristri lebih dari seorang, bila diizinkan oleh Pengadilan Agama. Izin tersebut bisa diberikan kepada seseorang dalam keadaan dan terpenuhinya syarat-syarat tercantum dalam pasal-pasal ini, salah satunya persetujuan istri sebelumnya. Dengan demikian, bisa diartikan bila seorang suami tidak ada izin memiliki istri lebih dari seseorang, sebenarnya berlakulah asas monogami seperti yang terdapat pada pasal 27 BW.
Dilansir dari situs Hukum Online, dalam hukum positif di Indonesia, istilah nikah siri tidak dikenal. Karena itu tidak ada dalam perundang-undangan aturan mengenai perkawinan siri. Ditilik dari artinya saja, istilah sirri sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu sirra atau israr yang berarti rahasia. Sehingga mana bisa diatur, wong perkawinannya saja dirahasiakan. Kira-kira begitu, deh, mommies.
Nah, pernikahan siri sendiri dilakukan umumnya karena 3 sebab:
Yang penting untuk kita semua ketahui bahwa hukum mengenai perkawinan sebenarnya sudah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Jadi UU Perkawinan dan turunannya seringkali diperlukan sebagai dasar analisa kasus perzinahan (overspel). Pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Kemudian pada Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Nah, pencatatan tiap-tiap perkawinan itu merupakan hal yang penting dalam kehidupan seseorang. Seperti kelahiran, dan kematian. Semua harus ada akta resmi atau surat keterangan yang dimuat dalam daftar pencatatan.
Bicara soal pasal perzinahan, mommies perlu ketahui terlebih dahulu bahwa ketentuan tentang Perzinahan diatur di dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Lalu, apakah kemudian nikah siri tanpa izin istri sah bisa dikenakan pasal perzinahan? Sebelum berlakunya UUP, ketentuan Perkawinan yang dimaksud dalam KUHP adalah ketentuan Perkawinan dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata"). KUHPerdata menyebutkan :
Pasal 26: “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.
Pasal 27: “Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu laki sebagai suaminya.”(asas monogami)
Pasal 50: “Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu dari kedua pihak.”
Sehingga, bila kita merujuk pada hal di atas, tidak adanya izin kawin dari istri yang sah merupakan penghalang yang sah untuk kawin lagi (Pasal 280 KUHP).
Namun berdasarkan asas keberlakuan undang-undang yakni asas lex posterior derogat lege priori (undang-undang yang berlaku kemudian mengesampingkan undang-undang terdahulu sejauh mengatur objek yang sama), maka pemberlakuan Pasal 284 KUHP harus mengikuti ketentuan yang dimuat dalam UUP. Dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP sebagaimana disebut di atas.
Jadi intinya begini, bila suami mommies kemudian menikah siri tanpa adanya izin dari Anda yang sah, maka kondisi tersebut ‘memberi ruang delik’ perzinahan, sepanjang pelaku nikah siri tidak dapat membuktikan bahwa benar telah ada perkawinan yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP di atas, dan hanya bisa dituntut berdasarkan adanya pengaduan dari istri/suami yang tercemar (delik aduan).
Delik aduan menurut H.A. Abu Ayyub Saleh, adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan/korban. Nah, sampai di sini sebenarnya ada satu contoh kasus, seorang istri bisa mempidanakan suaminya atas pernikahan sirinya. Yaitu kasus Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor 56/Pid.B/2014/PN.Slk Tahun 2014. Pada putusan ini kedua terpidana bersalah karena memenuhi unsur dari Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf a dan ke-2 huruf b KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dikarenakan ia melakukan zina/gendak (overspel) meskipun telah menikah secara siri. Dalam kasus tersebut, nikah siri yang dimaksudkan adalah nikah yang tidak dicatatkan. Majelis Hakim menyatakan bahwa kedua terpidana tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perzinahan dan turut serta melakukan perzinahan beberapa kali”, dimana terdakwa I masih terikat perkawinan yang sah dengan istrinya. Dalam amarnya, Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 4 (empat) bulan.
Hingga saat ini banyak perdebatan dan perbedaan pendapat dalam segi perspektif hukum, ketika nikah siri dikaitkan ke dalam ranah hukum agama dan hukum pidana positif di Indonesia. Bisa saja mempidanakan suami yang menikah lagi, tapi mommies harus yakin betul ruang delik itu ada, dan sebelumnya sudah berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahlinya. Sekali lagi, pertimbangkan untung ruginya dalam mempidanakan suami yang menikah lagi tanpa izin, dan tenangkan dulu pikiran dan hati sebelum mengambil keputusan, ya.
Disclaimer:
Artikel ini bukan nasihat hukum dan Mommies Daily tidak menyediakan konsultasi atau nasihat hukum. Mohon dapat menghubungi ahli hukum atau pengacara untuk mendapatkan nasihat hukum.
Image by Freepik
Baca juga: 7 Jenis Istirahat Yang Sebenarnya Dibutuhkan Oleh Kita