Ditulis oleh: Titaniara Alma
Sering mendengar pasangan mengatakan kita berlebihan atau terlalu paranoid lalu mengabaikan perasaan yang kita miliki? Jangan-jangan kita menjadi korban dari gaslighting.
Belum lama ini saya sempat kumpul dengan beberapa teman SMA. Seperti biasa, kalau ibu-ibu lagi ngumpul, selain ha ha hi hi nggak jelas, topik yang dibahas suka nggak jauh-jauh dari masalah keluarga. Soal seks, anak, termasuk curhatan soal suami. Nah, salah satu topik yang sempat kami bahas soal gaslighting. Bukan.... ini bukan soal gas pemantik api yang satu itu.
Saya sendiri pernah mendengar istilah ini, tapi ya belum ngeh banget. Sampai akhirnya, gara-gara dengerin teman curhat, jadi banyak cari tahu soal fenomena gaslighting ini.
Awalnya teman saya bilang, kalau setahun belakangan ini hubungannya dengan suami kurang harmonis. Teman saya merasa kalau suami sudah nggak punya waktu untuk keluarga, apalagi urusan nge-date berduaan saja.
"Ya, paham, sih, kalau memang kariernya lagi bagus. Harus meluangkan waktu banyak untuk proyek yang sedang dia jalankan sama timnya. Tapi kan bukan berarti jadi nyuekin keluarga. Nyuekin gue.”
“Kalau protes, pasti dia bilangnya, 'Ah, itu perasaan kamu aja. Terlalu sensitif'. Sampai akhirnya mikir sendiri, apa iya ya, gue yang kurang memahami? Terlalu mengada-ada?" paparnya.
Sebagai 'tong sampah' yang baik, saya dan beberapa teman cuma bisa mendengarkan sambil sesekali berusaha memvalidasi perasaannya.
"Ya, kalau gue yang berada di posisi lo juga pasti akan ngerasain hal kaya gitu, kok" timpal saya.
Lalu, teman saya yang lain langsung ikutan memberi respon. "Eh, tapi hati-hati juga, loh. Kalau memang kebiasaan seperti itu, jangan-jangan lo itu korban gaslighting".
Tanpa aba-aba, sebagian besar dari kami pun langsung menjawab, "Ah, apaan sih? Gaslighting?"
Singkat kata, kami pun akhirnya sama-sama mencari tahu soal gaslighting. Salah satu fenomena yang memang bisa terjadi di dalam sebuah ikatan pernikahan.
Baca juga:
Bertengkar Sehat dengan Suami, Bagaimana Caranya?
Istilah gaslighting ini sendiri sebenarnya muncul dari film Gaslight pada tahun 1944. Film ini menceritakan pasangan suami-istri bernama Gregory dan Paula Anton.
Suatu ketika Gregory diam-diam mencari harta yang tersembunyi di loteng rumah mereka dengan menggunakan lampu gas sebagai penerangan. Karena penggunaan lampu gas tersebut, semua lampu di rumah jadi meredup. Tapi, saat Paula mengeluhkan lampu rumah yang meredup, suaminya malah bilang Paula hanya mengada-ada. Akhirnya Paula berpikir kalau itu semua memang cuma imajinasinya.
Ternyata, si pelaku itu konon jadi sering ungkit kelemahan korbannya, membuat korban merasa kalau memang dia yang berlebihan atau sedang berimajinasi. Ya miris, karena si korban jadi percaya aja...
Nyatanya, fenomena ini memang bisa terjadi dan dirasakan siapa pun juga, kok. Termasuk dalam ruang lingkup pernikahan.
Sebenarnya korban gaslighting ini bisa terjadi pada laki-laki ataupun perempuan. Tapi sayangnya, karena budaya Indonesia masih sering memosisikan istri harus hormat dan tunduk sama suami, ya, akhirnya bikin perempuan gampang jadi korban. Jadi secara psikologis, si pelaku mau memegang kendali.
Tanpa sadar, korban malah sering kali berada dalam posisi yang salah. Akhirnya malah minta maaf. Padahal, itu semua akibat tekanan, sikap dan kalimat si pelaku yang sering memojokkan.
Nah, alasan lain sering kali karena memang si pelaku mau menutupi kebohongan yang dia lakukan. Karena nggak rahasia terbongkar, ya, ditutupin aja. Misalnya, nih, menutupi perselingkuhan.
Sayangnya, untuk mengenali apakah kita jadi korban nggak gampang
- Sering bertanya pada diri sendiri, “Apakah iya, saya yang terlalu sensitif?”
- Sering merasa bersalah, dan minta maaf berkali-kali
- Tidak bisa mengerti mengapa sering merasa nggak bahagia.
- Tahu ada sesuatu yang salah,tapi nggak tahu apa.
- Sulit membuat keputusan sederhana.
- Sering bertanya-tanya, 'Apakah saya sudah cukup baik?'
Selain itu, ternyata ada beberapa frasa umum yang mungkin Anda dengar dari pelaku gaslighting
- Kamu sangat sensitif!
- Berhentilah bertingkah berlebihan dan gila.
- Kamu hanya paranoid.
- Saya hanya bercanda!
- Ah,kamu mengada-ada.
- Bukan masalah besar.
- Reaksi kamu berlebihan.
- Kamu selalu dramatis.
- Itu lagi, kamu tidak tahu berterima kasih.
Duh… pas ngebahas dan cari tahu masalah ini, kok, mengkhawatirkan banget, ya? Nggak kebayang gimana rasanya dalam posisi jadi korban.
Sedih? Stress...atau depresi? Ya, mungkin aja. Tapi kalau untuk kasus teman saya, waktu itu kami semua tidak mau langsung mengambil keputusan atau melakukan self diagnosed. Bahaya!
Jadi, saran kami memang sebaiknya harus datang ke tenaga ahli. Untuk bisa bantu mengidentifikasi masalahnya.
Biar gimana, saya dan teman-teman yang lain memang tidak kompeten dalam bidang ini. Sebagai teman, ya, hanya bisa jadi tong sampah dan berharap yang terbaik.
Mengingat issue mental health lagi sering digaungkan, memang nggak ada salahnya sih, untuk bertanya-tanya atau me-review kembali, apa iya pernikahan yang kita jalankan sudah sehat?
Baca juga: