Ngakunya, sih, selama ini komunikasi dengan suami baik-baik saja. Sehat-sehat saja, kok. Tapi kenapa, deh, tiap kali curhat, cerita, ngobrol, ujung-ujungnya pakai konflik.
Bahkan pernah sampai berantem gede. Padahal tadinya dimulai dengan ‘bicara baik-baik’. Hmmm...itu, kan, menurut Anda baik-baik. Siapa tahu buat pasangan nggak baik. Menurut mommies nada suara kita biasa saja, tapi kalau menurut suami nadanya pakai C mayor oktaf ke-8.
Berkomunikasi dengan pasangan memang tricky. Dari luar terlihat baik-baik saja, padahal di dalamnya nggak begitu. Pengen punya komunikasi yang sehat dan baik-baik saja dengan pasangan? Nadya Pramesrani, Co Founder dari Rumah Dandelion sekaligus Psikolog Keluarga dan Pernikahan berbagi tipsnya, nih.
Dalam hidup pernikahan, komunikasi yang sehat antar suami dan istri mestilah komunikasi yang terbuka dan jujur. Jadi pesan yang ingin dikirimkan dapat terkirim dengan baik, serta diterima dengan tepat juga oleh pasangan.
Pertama, harus ada keterbukaan, artinya antara suami dan istri punya keleluasaan untuk terbuka mengenai banyak hal tanpa perlu khawatir akan mendapat tanggapan negatif. Kemudian di dalam komunikasi sebisa mungkin ada dukungan. Bentuknya begini, ketika segala hal diungkapkan pada pasangan, maka pasangan kemudian memberikan tanggapan positif sehingga tidak terdapat anggapan mengecilkan atau menimbulkan sakit hati dari pasangannya.
Di dalam komunikasi yang sehat juga ada rasa saling menerima dan menghargai, jadi nggak perlu, tuh, yang namanya saling memaksakan pendapat. Harus ada kompromi juga, sehingga ketika terjadi konflik, antara suami istri akan bekerja sama menemukan solusi terbaik.
Ciri-ciri lain adalah adanya kesediaan tiap pasangan untuk saling mendengarkan. Contohnya, nih, ketika salah satu sedang curhat soal pekerjaan, pasangannya memberikan perhatian penuh dan berempati dengan apa yang sedang dibicarakan. Terakhir, komunikasi yang sehat antara pasangan itu haruslah dilengkapi bahasa non verbal yang memberikan rasa nyaman, seperti kontak mata, tidak disambi kegiatan lain, senyuman, dan lain-lainnya. So, walaupun ada mommies yang ngaku kalau sering banget ngobrol atau diskusi sama suami, tapi disambi ngobrol di whatsapp group geng SMA, sama sekali bukan komunikasi yang sehat, ya.
Mungkin bisa dimulai dengan saling refleksi dulu tentang pola komunikasi yang selama ini sudah terjalin. Apakah masing-masing sama-sama merasa bisa saling terbuka? Apakah merasa bisa dipahami? Apakah ada hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar pasangan? Kalau jawaban dari semua pertanyaan di atas adalah ‘tidak’, itu bisa jadi patokan. Memang memperbaiki komunikasi itu harus datang dari dua belah pihak, nggak bisa satu orang saja.
Untuk hal-hal yang dapat memengaruhi hubungan antara suami dan istri, ya itu perlu dan harus diungkapkan. Kalau hal itu membuat hubungan lebih baik, jelas perlu dikomunikasikan, agar kepuasan hubungan dapat ditingkatkan. Tapi ketika kemudian hal tersebut jika diungkapkan malah akan berkonflik, itu yang harus dicari tahu, kenapa bisa sampai menimbulkan konflik. Adakah masalah terpendam lainnya yang belum terselesaikan? There are more reasons to talk this out, supaya tidak menjadi bom waktu.
Yang harus diingat oleh semua pasangan, baik istri, maupun suami, dalam berkomunikasi jangan hanya memikirkan agar pesan tersampaikan tapi juga mendengarkan. Nah, dalam menyampaikan sesuai, pastikan bahwa isi pesan disampaikan dengan kata-kata yang tepat dan tidak berbelit-belit. Usahakan gunakan nada suara yang enak didengar, hindari nada tinggi. perhatikan aspek non verbal yang dapat memengaruhi efektivitas penyampaian pesan.
Ketika mendengarkan pasangan yang sedang berkomunikasi dengan mommies, pastikan juga untuk sabar, ya. Tahan diri buat nggak ‘nyelak’ pesan yang disampaikan pasangan. Hindari terlalu cepat menyimpulkan, atau membandingkan ceritanya dengan cerita anda. Arahkan fokus pada inti pesan dan batasi gangguan dari lingkungan.
Bisa bangetlah. Ada yang datang sebelum menikah atau sebelum ada konflik untuk saling mengenali lagi gaya komunikasi masing-masing. Ini bagus sekali. Kalaupun nanti berkonflik bisa diminimalkan. Ada juga pasangan yang berkonsultasi karena setiap kali diskusi selalu ketemu jalan buntu dan berbuntut pada berantem.
Kapan tepatnya ke psikolog, ya, nggak bisa ditentukan juga. Akan lebih tepat kalau kita bilang, bila memang merasa membutuhkan bantuan atau sudut pandang lain, manfaatkan resources yang anda miliki. Bisa ke anggota keluarga yang dipercaya dan akan bisa obyektif, bisa ke pemuka agama bila nyamannya kesana, atau bisa memanfaatkan profesional lainnya.
Baca juga:
Hilang Cinta dalam Pernikahan, Bertahan atau Selesai?
Harapan vs. Realita Pernikahan
Suami Mengaku Gay di Tengah Pernikahan, Ini Saran Psikolog