Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus memang serba ekstra. Ekstra perhatian, tenaga, hati sampai finansial. Stres pasti ada. Supaya keharmonisan tetap terjaga, kami seringkali melakukan beberapa hal berikut ini.
Ketika psikolog keluarga kami menyatakan bahwa anak kami yang kedua punya gangguan tumbuh kembang Sensory Processing Disorder, hati rasanya nggak karu-karuan. Kaget, sedih, cemas (ini yang paling besar, sih).
Baca juga:
6 Gejala Anak Mengalami Sensory Processing Disorder
Memiliki ABK memang ekstra. Ekstra perhatian, ekstra tenaga, ekstra hati, dan ekstra finansial tentunya. Yang ekstra-ekstra itu seringkali bikin ekstra mikir dan ujung-ujungnya stres. Karena itu, dibutuhkan kerjasama kedua orangtua, Si Ibu dan Si Ayah, supaya membesarkan si anak berkebutuhan khusus berjalan optimal.
Stres pasti ada. Berdebat? Sering. Beda pendapat? Apa lagi. Supaya keharmonisan tetap terjaga walau kadang sesak di dada :D kami seringkali melakukan beberapa hal berikut ini.
Kita berdua sepakat untuk selalu bersyukur apa pun yang terjadi. Kadang kalau salah satu udah mulai ngeluh, yang satu lagi harus mengingatkan bahwa kemajuan yang dicapai si Kecil kami sudah sangat jauh dibanding dulu waktu pertama kali didiagnosa SPD.
Kalau sudah capek, dan jenuh memang seringkali bawaannya ngomong dan mikir hal yang negatif melulu. Tapi sedapat mungkin cari hal-hal positif. Sebenarnya banyak, lho, kalau kita berdua sudah optimal bekerja sama. Cuma, ya, itu tadi, suka ketutup sama rasa kesal, lelah, dan sedih.
Sekecil apa pun yang kita lakukan, memberikan pujian nggak pernah salah, lho. Itu bikin masing-masing merasa dihargai. Seperti misalnya, kalau saya lagi capek dan nggak bisa antar anak ke tempat terapi, suamilah yang harus menunggui, biasanya saya whatsapp dan mengatakan, “Terima kasih, ya, Ayah. Sudah kasih aku kesempatan istirahat.” Sesimpel itu, sih.
Ketika kami menikah, memang nggak muda-muda banget. Jadi begitu sekarang anak-anak masih kecil, berasa banget jomponya hahaha… Yang paling ampuh adalah mengingatkan kalau kita sudah tua, dan harus jaga kesehatan serta olahraga rutin biar tetap optimal menemani dan mengasuh anak-anak.
Jangan disimpan sendiri. Karena ibarat menyimpan api dalam hati, lama-lama malah membakar diri sendiri. Saya kalau lagi lelah, capek, atau sekadar jenuh saya merasa perlu untuk sampaikan ke suami. Misalnya, nih, “Aku kayaknya kalau harus jemput adek jam 4 nggak sanggup, deh. Boleh nggak, kamu aja yang gantiin?” Padahal saya baru kabarin dia jam 1 dan dia sedang ada urusan di luar rumah. Biasanya, sih, dia akan segera buru-buru gantiin. Cuma jangan sampai sepihak kalau sudah urusan begini. Kalau giliran pasangan juga lagi lelah, dan jenuh, kitanya juga harus melakukan hal yang sama. Gantian dan pengertian,lah.
Beneran, deh, ini penting banget. Ada masanya, kan, seseorang itu daya tahan tubuhnya ngedrop. Kalau sudah seperti ini, masing-masing kita berusaha untuk pengertian, sih. Membiarkan pasangan istirahat, atau misalnya walaupun itu bukan giliran saya untuk mengantar les berenang, saya inisiatif untuk tukar giliran, itu sudah bikin pasangan merasa dimengerti, kok.