Karena nyatanya buah yang jatuh bisa tumbuh jadi pohon baru yang baik. Sudah beda cerita sama pohon sebelumnya hahaha…”
Katanya, nih, anak-anak yang orangtuanya bercerai bakal jadi anak ‘broken home’. Gampang banget jadi anak badung, terjerumus ke dunia narkoba, cenderung melakukan free sex, trauma terhadap relationship, hingga tak percaya pada pernikahan. Iya, ada, sih, anak-anak yang seperti itu. Tapi ada juga, kok, yang baik-baik saja. Yang hidupnya nggak aneh-aneh. Punya prestasi, bekerja dengan normal, berkeluarga, tanpa pernah menyalahkan keadaan. Apa, sih, yang bikin mereka “baik-baik” saja?
Baca juga:
Membesarkan Anak Tanpa Figur Ayah
“Sejak melek dunia, sekitar umur 5 tahun, saya udah terbiasa nggak punya papa. Sehingga nggak pernah punya rasa kehilangan juga, sih. Saya tahu saya punya papa, karena kadang-kadang dia datang ke rumah. Tapi karena dia tidak pernah berlaku sebagai papa selayaknya papa-papa yang lain, ya, saya juga nggak merasa butuh dia. Buat saya, hidup saya, ya, seputar mama, nenek, dan kakak-kakak saya saja.
Bahkan saya, tuh, ketika tahu punya saudara tiri yang seumuran (jadi tahu, dong, ketika masih nikah sama mama saya dia juga punya istri lain) saya nggak ada rasa apa-apa. Gini, nih, normal nggak sih? Hahaha...saya juga bingung ini normal atau nggak, tapi ya itu yang saya rasakan. Saya bahkan nggak merasa iri sama teman-teman yang keluarganya lengkap.
Dan setelah lumayan besar dan tahu duduk perkaranya, saya bahkan lega mama terbebas dari kebangsatan papa ;) Walau saya tahu betapa mama sebagai single mother, struggling dengan hidupnya. Saya dan kakak-kakak sadar banget bagaimana mama berusaha jadi perempuan dan ibu yang strong buat kami, walau kami tahu mama itu sesungguhnya fragile. Saya nggak mau bikin dia kecewa sama saya. Cukuplah beban hidupnya. Saya pikir saya nggak perlu jadi juara untuk bikin dia bangga, cukup bisa berdiri sendiri, nggak nyusahin dia, pastinya akan meringankan dia banget. Itu kali ya yang bikin saya nggak jadi berantakan, dengan segala keterbatasannya nyokap bahkan bisa nyekolahin kita di sekolah yg bagus.”
“Gue, tuh, nggak pernah iri sama teman-teman yang punya keluarga lengkap. Gue lebih iri sama mereka yang orangtuanya asyik, yang bisa ngertiin anak-anaknya terlepas apa status pernikahan mereka.
Ketika akhirnya orangtua gue bercerai, dalam hati gue cuma bisa bilang, “Finally…” Karena sebenarnya gue sempat berpikir, I wish they did it sooner, sebelum gue punya adik-adik. Cukuplah gue aja, kurang-kurangin beban hidup. Tapi, ya, sudahlah. Lebih baik terlambat, daripada nggak sama sekali, kan? Gue justru merasa, positifnya gue dapat pelajaran hidup dari kecil. Dari TK gue sedikit banyak ngertilah kalau rumah tangga, tuh, nggak senang-senang aja. Minusnya, duh, jujur gue nggak kepikiran, nih, hahaha…
Alhamdulillah support system nyokap, tuh, bagus banget. Gue tumbuh besar dekat sama keluarga nyokap. Jadi bisa dibilang hidup gue itu nggak pernah sepi.Selalu ada yang mengisi kekosongan. Jadi mungkin itu juga yang bisa bikin gue survive, nggak jadi anak yang neko-neko.
Sekarang gue jadi bisa ngerti dan merasa punya bekal cukup buat berkomunikasi sama anak. Anak-anak itu jangan disepelekan. Mereka itu kuat. I was 5 when my mom first curcol soal bokap. Gue merasa harus memperlakukan anak sesuai porsi usianya aja.Jelaskan apa yang harus dijelaskan dengan bijak
Anak-anak gue saat ini "biasa" lihat gue berargumen sama suami (dalam batas wajar, ya). Kami mau mereka tahu bahwa hubungan suami dan istri tuh real-nya gimana. Ada argumen, ada sayang-sayangan. Setelah berargumen, ya, minta maaf di depan anak-anak itu biasa.”
“Waktu papa dan mama cerai, aku, tuh, bingung juga karena secara kepercayaan itu nggak boleh dan dilarang banget. Mamaku juga memegang teguh janji sampai maut memisahkan. Tapi karena habit papa yang suka minum dan main perempuan, aku suka nggak tega sama mama karena selalu jadi sasaran, sampai pernah masuk IGD segala.
Untungnya sebelum papa meninggal, kita udah rekonsiliasi. Jadi masih bisa sempat merawat papa sebelum dipanggil Tuhan. Selama mereka pisah, aku, tuh, sempat jadi anak yang nggak punya self esteem. Pernah juga nggak ngakuin orangtua, sempet takut kalo ditanya nama papa, tuh, siapa. Aku bahkan termotivasi untuk pembuktian diri, berprestasi supaya nggak diremehkan orang karena jadi anak yang ditinggal sama orangtuanya. Bukan motivasi yang bener itu, ya, jangan ditiru, hehehe… Positifnya aku merasa jadi lebih dewasa dari anak seumuranku waktu itu. Mandiri dan nggak cengeng kalo jauh dari orangtua.
Sampai akhirnya sekarang aku bisa berdiri sendiri kayak gini, aku selalu ingat doanya mama sama cita-citanya mama. Mama selalu doain kita setiap pagi saat bangun tidur. Mama juga cuma bilang cita-citanya adalah anaknya tumbuh jadi anak yang baik. Jangan sampai ada orang yang bilang "buah jatuh nggak jauh dari pohonnya". Padahal, ya, buah yang jatuh bisa tumbuh jadi pohon baru yang baik. Udah beda cerita sama pohon sebelumnya hahaha…”
Dari 3 pengalaman teman di atas, saya mencoba menarik kesimpulan. Yang bikin mereka sekarang tegak berdiri adalah karena ibu mereka juga strong. Mungkin sebenarnya juga nggak sepenuhnya baik-baik saja. Karena bagaimana pun, perpisahan orangtua tetap memberikan pengaruh pada kondisi psikologis anak. Hanya saja, seberapa jauh kita bisa menguatkan mereka. So, buat mommies di sana yang sedang merasa terpuruk karena baru saja jadi single mother, don’t worry, tetaplah tegak dan keep it strong untuk anak-anak, karena pada akhirnya, semua akan baik-baik saja.
Baca juga:
Broken Home Tak Selalu Tentang Keluarga dengan Orangtua Bercerai