Kekerasan emosional bisa berdampak hingga hilangnya kemampuan untuk bertindak , ketakutan yang berlangsung lama, dan tak berdaya.
Segitu dahsyatnya, ya, perlakuan tidak menyenangkan yang menyakiti hati. Jika selama ini, kekerasan dalam rumah tangga, diidentikan dari segi fisik. Nyatanya, dari sisi psikis, sebuah pernikahan bisa mengalami kekerasan emosional, mommies. Ironisnya, baik pelaku maupun korban, ada yang belum sadar 100% sedang melakukan atau mendapatkan kekerasan emosional. Terpicu emosi yang berlebihan, lalu terpancing deh itu keluar berbagai macam kata-kata yang makjleb di hati :(
Baca juga: 5 Tanda Pernikahan Tidak Bahagia
Saya jadi teringat seorang teman yang curhat. Dia pernah dimarahi abis-abisan di depan umum oleh suaminya. Persoalannya sepele banget, tapi level marahnya seolah-olah teman saya selingkuh di depan suami. Dalam kasus berikutnya, yang sempat heboh di media nasional. Akibat perkataan kasar istri yang didapat suami berulang kali, suami gelap mat, lalu menembak istri hingga tewas.
Kekerasan semacam ini, disebut Anna Surti Ariani SPsi, MSi, Psi, psikolog remaja, keluarga dan pernikahan, atau akrab dengan sapaan Mbak Nina Teguh, sebagai kekerasan psikis. Definisinya diperkuat dalam UU No 23 tahun 2004. Emotional abuse itu adalah kekerasan psikis. Definisinya: perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan.
Bentuk perilakunya, bisa berupa kata-kata kasar, ancaman, intimidasi, manipulasi, penghinaan, kritik yang berlebih, didominasi, dituntut sesuatu yang tidak masuk akal, semua perilaku kita dikontrol ketat, terus menerus disalahkan, atau sebaliknya – diabaikan/didiamkan.
Baca juga: Kenapa Semakin Banyak Pasangan Bercerai?
Dari berbagai kasus yang Mbak Nina tangani. Secara garis besar, kekerasan emosional ini terjadi lantaran masalah budaya, yang meyakini bahwa laki-laki berada ‘di atas’ perempuan, sehingga kalau sampai perempuan yang berada ‘di atas’ (misalnya karena gaji lebih tinggi, posisi di kantor lebih stabil, dll), laki-laki cenderung merasa kalah dan berusaha untuk ‘mengalahkan’ si wanita dengan cara menjatuhkan lewat kata-kata atau perbuatan. Bisa juga karena pelaku punya self-esteem yang rendah, merasa kalah dengan pasangannya, sehingga dia merasa perlu mengalahkan pasangan agar merasa setara.
Sebetulnya kejadiaan semacam ini, menurut Mbak Nina bisa dicegah. Dengan cara:
Dalam praktiknya, sebetulnya belum banyak pasangan yang nggak sadar kalau ternyata dirinya sedang terdampak kekerasan emosional atau malah kita sendiri yang sedang menjadi pelakunya. Dan atau pihak korban sudah tahu, tapi denial. Secara umum, Mbak Nina, menyebutkan ada 5 tanda seseorang mengalami emostional abuse.
Setiap cerita rumah tangga, pasti berbeda ya, mommies. Gesekan atau konflik, wajar banget terjadi. Tapi pertengkaran yang seperti apa, nih yang sehat? Kalau kata Mbak Nina tidak selamanya bertengkar itu buruk. Pertengkaran dengan suami justru bisa menyelamatkan pernikahan, karena pada tahapan tersebut emosi yang sudah nge-drop bisa naik lagi sehingga bisa menaikan level emosi.
Baca juga:
8 Tahun Menikah, Inilah 8 Masalah Pernikahan yang Sering Saya Temui
Bercinta Setelah Bertengkar, Kenapa Tidak?
Nah, si emosi ini yang benar-benar harus diperhatikan. Jika masih dibatas wajar, dan malah bisa memberi manfaat, berarti emosi yang membawa faedah, kan? Tapi kalau emosinya malah untuk menyakiti hati pasangan, dengan menyenyakitinya secara psikis, oooh tunggu dulu, deh, ya.
Seperti bentuk kekerasan fisik. Emotional abuse, juga punya dampak jangka pendek dan jangka panjang.
Sementara itu, dalam jangka panjang, yang sering dialami:
“Don’t allow someone to treat you poorly just because you love them!” -NN