Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Saat menulis status di Facebook tentang tagihan listrik di rumah yang mencapai rekor terendah dalam beberapa tahun terakhir, yakni Rp147 ribu sekian, banyak teman yang kaget dan tak percaya, kemudian meminta saya berbagi tips :D.
Ketika melihat status di Facebook saya, menurut teman-teman, itu mengejutkan dan cukup bertolak belakang dengan kondisi ketika banyak orang mengeluh kenaikan tagihan, terutama setelah kebijakan dicabutnya subsidi listrik untuk daya 900 VA, saya malah terkesan ‘pamer’ (ups). FYI, rumah saya berdaya 1300 VA, yang memang tak bersubsidi. Jadi, tak perlu ‘teriak-teriak’ listrik bersubsidi.
Buat saya, tagihan di bawah Rp150 ribu bukan hal yang luar biasa, sebab biasanya jumlah tagihan memang berkisar antara Rp150 ribu – Rp200 ribu. Tak pernah lebih dari itu. Dulu pernah sih, mencapai angka di atas Rp300 ribu, sewaktu ada ART di rumah. Jika dipikir-pikir, cukup mengherankan juga, mengingat waktu itu saya dan suami lagi sibuk-sibuknya ngantor, sering ke luar kota, dan jarang banget di rumah. Sementara sekarang, kami berdua sama-sama ngantor di rumah dan jarang ke mana-mana kalau tidak penting banget. Logikanya, kan, home office justru butuh penggunaan listrik lebih banyak.
Atas desakan beberapa teman yang penasaran, kok bisa sih, listrik rumah saya murah banget (menurut mereka, ya). What have I done? Kira-kira ini yang berpengaruh terhadap minimnya listrik di rumah:
#1. Lebih aware
Gunakan listrik seperlunya. Matikan perkakas elektronik jika tidak dibutuhkan. Kelihatannya ini jargon yang klise, tapi, masih banyak orang yang ignorance dengan hal ini. Hari sudah terang, tapi lampu depan rumah masih nyala. Pergi ke luar tanpa mematikan AC. Lampu kamar mandi tak pernah dimatikan, dan lainnya. Di rumah, kepekaan terhadap penghematan listrik cukup tinggi dan menjelang kami tidur semua lampu dimatikan. Bangun tidur, hal pertama yang saya lakukan adalah mematikan semua lampu luar. Setiap hendak pergi ke luar rumah, hal pertama yang saya cek adalah listrik. Jika WWF mengadakan earth hour setahun sekali setiap tanggal 25 Maret, buat kami, setiap hari adalah earth hour.
#2. Masalah perkabelan dan steker
Biasakan melepas kabel dan peralatan dari saklar setiap selesai digunakan. Sebab arus listrik akan tetap mengalir pada perangkat yang masih terhubung pada saklar. Kebiasaan membiarkan baterai ponsel ataupun laptop terus-terusan terhubung dengan charger tidak baik dan malah bisa merusak perangkat. Begitupun, kebiasaan menggunakannya sampai baterai habis total. Karena itu, baterai smartphone dan laptop sebaiknya dijaga agar daya yang disimpan di dalamnya tetap di atas 50 persen atau minimal 20 persen dan mencabutnya sebelum mencapai 100 persen. Selain menghemat listrik, cara ini juga merawat baterai gadget lebih awet dan tidak cepat rusak.
Begitupun, setiap selesai menggunakan peralatan seperti toaster, oven, blender, ataupun microwave, sebaiknya colokan langsung dilepas dari saklar.
#3. Pemilihan jenis perangkat elektronik, sebelum membeli
Dalam mempertimbangkan perangkat elektronik yang akan dibeli, salah satu faktor yang harus diperhatikan adalah besarnya watt atau daya dan teknologinya. Watt mempengaruhi besar kecilnya biaya listrik. Begitu juga, inovasi fitur. Teknologi yang terdepan biasanya mengutamakan minimnya konsumsi listrik. Untuk lampu, misalnya, pilih yang LED. Lebih terang sekaligus lebih hemat energi. Untuk kulkas, mesin cuci ataupun AC, pilih merek dan jenis/ seri yang memiliki teknologi inverter. Teknologi inverter mampu menghemat listrik tanpa mengurangi performa.
Baca juga:
5 Tanaman Ini Membuat Udara di Rumah Menjadi Sejuk
#4. Ubah gaya hidup
Nah, jika tiga kiat di atas bisa diterapkan oleh semua orang, maka tip yang terakhir ini rasanya belum tentu cocok untuk Anda. Takutnya apa yang saya lakukan terkesan ekstrem bagi orang lain. Misalnya:
Tidak ada televisi di rumah saya. Bukan berarti kami kembali ke zaman batu. Praktis, semua tontonan kami pindah ke digital, lewat smartphone dan laptop.
Tidak menghangatkan nasi terus-terusan dalam magic jar. Bukan karena saya pelit. Tetapi karena alasan kesehatan, sih. Menurut yang saya baca, nasi yang bagus dikonsumsi adalah nasi yang sudah didinginkan terlebih dulu, agar indeks glikemik bisa diturunkan. Karena itu, biasanya saya mematikan rice cooker setelah nasi matang lalu memindahkannya ke tempat nasi. Saya pun mengubah kebiasaan memasak nasi banyak, menjadi memasak secukupnya. Kalau sedang tidak terburu-buru, saya lebih menyukai menanak nasi dengan dandang ataupun wadah liwetan. Rasanya jauh lebih enak.
Baca juga:
Tips Menyimpan Buah dan Sayur di Dalam Kulkas Supaya Tahan Lama
Menghemat air. Penggunaan air yang hemat juga berkaitan dengan penghematan listrik dari mesin air. Untuk menyiram kebun, saya memanfaatkan kolam tadah hujan.
Mengurangi penggunaan setrika. Sebetulnya ini awalnya gara-gara tak ada lagi ART di rumah, saya kewalahan dengan tumpukan baju yang harus disetrika. Hingga akhirnya saya menyerah, dan hanya melipatnya saja. Ternyata, setelah baju terlipat beberapa hari di dalam lemari, baju tampak tetap rapi, tak beda dengan baju hasil setrikaan. Kuncinya ada pada cara melipat dan tidak membiarkan baju berlama-lama menumpuk setelah kering. Makanya, saya pun membatasi, hanya menyetrika baju yang akan dikenakan untuk acara formal, itupun untuk jenis dari bahan tertentu yang terlihat kusut.
Monggo kalau mau diikuti, nanti kasih kabar kalau berhasil ya :D.
Baca juga:
Manakah yang Lebih Sehat, Makanan Dikukus, Direbus atau DIbakar?