Sorry, we couldn't find any article matching ''
Menyiasati Hubungan Beda 'Dunia'
Hmmm, yang saya maksud bukan beda dunia macam acara di televisi nasional yang bertajuk Dunia Lain ya. Tapi tentang pasangan yang baik hobi, sifat dan segala macamnya semuanya berbeda dengan kita.
H-3 sebelum pernikahan saya, mama memanggil saya ke dalam kamar dan mengajukan pertanyaan ini “Kamu yakin mau menikah? Kalau kamu nggak yakin, lebih baik batalin aja semuanya, mumpung belum terlambat.” Beberapa alasan kenapa mama mengajukan pertanyaan ini adalah: Menurut mama saat itu usia saya masih terlalu muda untuk menikah, yaitu 25 tahun kurang 5 bulan, hehehe. Satu lagi, menurut mama, banyak banget perbedaan di antara saya dan calon suami, yang kayaknya bakalan jadi drama ke depan-depannya :p. Sayangnya, dulu gerakan marriage preparation belum ada, kalau ada, mungkin saya sudah disuruh ikutan.
Singkat cerita, pernikahan kami tetap berlangsung dan berjalan hingga detik ini. Apakah kekhawatiran mama terjadi? Tentu saja iya. Banyak drama yang saya hadapi bersama suami karena banyak sekali perbedaan di antara kami. Beda agama, beda dunia kerja sampai beda hobi dan kesukaan. Tapi toh terbukti kami survive hingga detik ini. Pernikahan kami bukan pernikahan yang harmonis macam fairy tale. Tapi, 11 tahun menjalani pernikahan dengan ‘mahluk’ yang benar-benar berbeda, membuat saya maupun suami jadi cerdas menyiasati berbagai macam problem yang kerap datang.
*Gambar dari sini
1. Embrace conflict
Menganggap konflik adalah hal yang normal tidak sama dengan menyenangi konflik. Buat saya, saat terjadi konflik itu menjadi momen yang pas untuk kami berdua mengukur sejauh mana hubungan kami berkembang. Apakah ke arah yang lebih baik, apakah jalan di tempat atau malah memburuk. Anggap saja konflik bisa menjadi tolak ukur kuallitas hubungan yang saya dan suami miliki.
2. Kompak dan satu suara
Mau bagaimana pun berbedanya pendapat saya dan suami di dalam rumah, namun begitu keluar rumah, kami harus sepakat satu suara. Itu komitmen kami. Yang namanya di Indonesia itu, pernikahan nggak hanya antara saya dan suami, tapi juga keluarga besar. Jadi seringkali, masalah yang sebenarnya biasa saja untuk kami berdua, jadi heboh oleh keluarga besar. Jadi, baik saya dan suami sudah menyiapkan diri dan sudah memilih jawaban apa yang akan kami berikan jika ada pertanyaan-pertanyaan. Tak jarang, kami latihan dulu di rumah biar lancar.
3. Mencoba mengenal dunia masing-masing
Beda dunia kerja di antara kami benar-benar beda banget, deh. Saya bekerja kantoran. Suami saya adalah keturunan pedagang. Keluarga besarnya adalah pedagang hasil bumi. Jadi kalau saya kerjaannya keluar masuk mall, gedung perkantoran dan hotel untuk meeting. Suami saya kerjaannya bertemu dengan petani di daerah-daerah, ngecek harga sembako, buah dan daging dan ke pasar-pasar besar untuk melihat omzet di lapak. Dan memastikan anak-anak buahnya nggak asal melepas harga supaya terhindar dari kerugian.
Akhirnya, saya pun mencoba mengenalkan teman-teman kantor, entah itu dengan ngadain potluck di rumah kami, selalu bercerita tentang kejadian di kantor saat sudah di rumah, meminta suami saya mengantar atau menjemput ketika saya ada acara bersama teman-teman dan ngasih lihat hasil kerja saya di majalah atau di website (untuk saat ini). Dengan begitu, dia pun merasa lebih mengenal dunia saya. Sebaliknya, saya pun juga begitu. Saat membaca di Kompas tentang harga cabai atau daging yang melesat tajam, saya sok nanya aja, kenapa bisa begitu. Atau saat saya libur dan dia terpaksa bekerja, saya jemput dia ke tempat kerjanya.
4. Melengkapi kekurangan masing-masing
Gempuran berita dari bacaan atau tontonan membuat saya cenderung menjadi parno. Suami saya? Dengan kesibukannya berdagang dan hanya sempat menonton berita sesekali dia hidup di lalalalandnya sendiri. Yang merasa dunia masih sama amannya dengan zaman dia kecil dulu dan semua orang baik.
Akhirnya saya pun belajar untuk sesekali memiliki pola pikir seperti dirinya yang santai. Memang akhirnya ini membuat saya tidak terlalu tegang dan parno lagi. Anggaplah dia menjadi rem saya ketika kekhawatiran saya menggila. Dan, sebaliknya, setiap kali saya membaca berita terbaru tentang penculikan atau penyakit tertentu, segera saya simpan korannya dan meminta dia membaca setelah dia sudah tidak terlalu sibuk. Atau segera saya copas dan saya kirimkan ke whatsapp-nya. Saya pun menjadi alarm untuk suami ketika ia terlalu santai.
Apa 4 cara lagi yang biasa kami lakukan? Cek di halaman selanjutnya ya mom.
*Gambar dari sini
Untuk bisa melakukan hal ini dibutuhkan lebih dari 5 tahun pernikahan. Karena biasanya, kalau lagi emosi kok malas ya menjadi pendengar, maunya jadi pembicara aja, hehehe. Memasuki tahun ke 6 pernikahan, baru deh ego untuk urusan ini bisa ditekan. It means, simpan dulu pendapat kita sampai pasangan sudah selesai mengeluarkan uneg-uneg atau kekesalannya, baru deh sampaikan pendapat pribadi kita.
Bersyukur banget ketika anak-anak sudah mulai lahir. Jadi keinginan untuk berteriak bisa saya redam dan saya memilih berbicara dengan suara pelan namun tegas. Berbicara pelan nggak mengurangi inti dari apa yang mau kita bicarakan kok. Tapi dengan berbicara pelan, emosi kita jadi lebih terkendali, emosi pasangan juga nggak kepancing untuk semakin tinggi.
Saat pasangan sedang komplein, jangan langsung sibuk ingin membela diri. Dengar dulu, cari tahu dulu, apa alasannya marah, kenapa, kapan kejadian yang membuat dia marah, dsb. Saat saya sibuk bertanya, saya jadi punya waktu untuk berpikir cara menjawab yang tepat, hehehe. When you meet a complaint with curiosity, you make a room for understanding.
Suami saya tipe orang yang nggak nyaman bertemu dengan banyak orang yang tidak terlalu ia kenal. Dia juga bukan tipe orang yang senang pergi ke pernikahan atau acara-acara yang memaksanya untuk berpenampilan rapih. Maklum, namanya juga orang lapangan. Sedangkan saya? Senang tampil rapih dan cantik (ya iyaaaalah). Dulu, saya kerap memaksa suami untuk menemani saya kondangan, nggak peduli semalas apapun dia. Tapi sekarang, ya coba berkompromi. Kalau misalnya memang lingkungannya benar-benar membuat dia nggak nyaman, dan saya bisa bareng sama teman atau diantar supir, ya nggak kenapa-kenapa juga saya pergi sendiri. Tapi kalau pernikahan saudara, kami sudah komitmen bahwa dia akan pergi.
Hahaha, jadi, biasanya, setelah berantem heboh, baik saya atau suami akan berinisiatif untuk meluangkan waktu buat pergi berdua, sekadar makan atau nonton film. Pernah juga, setelah ‘marahan’ , saya dan suami malam-malam mengelilingi Jakarta naik mobil berdua saja. Atau sekadar cuddling sambil nonton film favorit di kamar. Karena saya percaya, bonding suami dan isteri memang perlu dijaga.
PAGES:
Share Article
COMMENTS