Ada salah satu quote terkenal dari Ali Bin Abi Thalib RA yang sangat saya suka. Beliau mengatakan, "Didiklah anakmu sesuai dengan jamannya. Karena mereka hidup bukan di jamanmu." Paham ini ternyata juga menjadi salah satu acuan buat Shahnaz Haque dalam mendidik ke tiga anak perempuannya.
Sudah sejak lama saya ngefans dengan Shahnaz Haque. Di mata saya, istri dari dari Gilang Ramadhan ini selalu mampu menebarkan aura positif buat orang-orang di sekelilingnya. Contohnya, nih, karena pernah mengalami kanker ovarium dirinya sering mendampingi wanita-wanita yang terdeteksi dini mengalami kanker.
Bisa dibilang, sebagai pasangan pesohor, dirinya jarang sekali diterpa gosip miring. Hubungannya dengan sang suami, terlihat mulus. Dalam dunia parenting sendiri, ibu dari tiga anak perempuan ini, Pruistin Aisha Haque Ramadhan, Charlotte Fatima Haque Ramadhan dan Mieke Namira Haque Ramadhan juga patut diancungi jempol. Nggak percaya? Baca, deh, kutipan wawancara saya dengannya beberapa waktu lalu.
Kebetulan, waktu menghadiri acara jumpa pers peluncuran Berani Senyum 123 yang digagas oleh Pepsodent, perempuan kelahiran 1 Sempember 1972 ini didapuk menjadi pembawa acara. Nggak mau kehilangan kesempatan, setelah acara saya pun meminta waktunya untuk berbagi cerita seputar dunia parenting.
Benar saja, berbicang dengannya selama 30 menit, banyak sekali insight menarik yang saya dapatkan. Termasuk masalah bullying dan peer pressure yang sering dihadapi anak-anak pra remaja. Di mana masalah ini memang sering membuat orangtua gelisah. Perempuan yang mengawali karirnya sebagai None Jakarta menilai bawah sebenarnya konsep komonikasi dan mengajarkan anak bisa merasa bahagia punya perananan penting dalam masalah bullying ataupun peer pressure anak.
"Ajarkan anak untuk bisa merasa bahagia lebih dulu. Kalau dia sudah bahagia, pasti wajahnya akan lebih enak untuk dilihat. Saya bilang begini ke anak saya. 'Kakak... adik, cantik itu releatif, kalau jelek itu mutlak sampai ke tulang sumsum. Jadi, senyum sayang, karena dengan senyum wajah yang standart bisa terlihat sangat menyenangkan. Wajah yang cantik kalau merengut juga nggak akan enak dilihat'.
Menariknya lagi, ia juga selalu mengganggap kalau bullying itu adalah imunisasi. "Kita kalau diimunisasi berartikan dimasukan imun atau virus ke dalam tubuh supaya ada kekebalan, maka anak pun perlu diimuniasi. Saya bilang ke anak-anak perempuan saya, Gatotkaca saja harus diceburkan ke kawah candradimuka baru jadi jagoan. Jadi, saya memotivasi anak-anak supaya menganggap bullying sebagai kawah candradimuka."
Sudah merasa ‘lulus’ mengajarkan anak dalam hal bullying atau peer preassure?
Saya sudah ‘lulus’ melewati masalah ini untuk anak yang pertama, dia berbeda karena masuk tim olahraga baseball dia mana dia perempuan satu-satunya. Secara gender saja anak saya ini sudah berbeda, secara bentuk juga beda. Jadi saya mencoba membuat anak saya untuk masuk ke kawah candradimuka, dan alhamdulillah dia sudah lulus.
Anak ke dua, beda dengan kakaknya yang jauh lebih sensitif. Padahal ‘ayakannya’ sama, karena bapaknya kan juga sama. Jadi saya bilang ke anak saya yang kedua, “Adik, yang namanya manusia cuma satu, jangan pernah berusaha seperti kakak, jadi kamu nggak perlu berusaha seperti kakak kamu, kamu adalah kamu. Cari sesuatu yang beda, yang kakak nggak punya, sehingga kamu pun punya kelebihannya.”
Bagaimana cara Mbak Naz menumbuhkan pikiran postitif pada anak-anak?
Memuji. Jangankan anak-anak, ya, kita saja orangtua selalu senang dipuji. Kenapa, sih, kita senang memposting sesutu di sosial media? Sebenarnya tanpa sadar kita merindukan ‘jempol’ dan ‘love’. Iya, nggak? Karena memang pada dasarnya pengakuan orang itu bisa dibilang nutrisi buat jiwa.
Ada sebagian orangtua yang pelit memuji anaknya karena dianggap bisa memberikan dampak yang negatif. Tanggapan Mbak soal hal ini?
Memang ada yang begitu, buat mereka royal pujian itu racun buat anak-anak. Bisa bikin anak malas, atau dampak negatif lainnya. Tapi saya nggak mengikuti antena yang seperti ini. Saya takut. Kenapa saya takut? Kita kan nggak pernah tahu umur seseorang, jadi kalau saya irit-irit memuji anak saya, memuji suami saya, saya takutnya menyesal di kemudian hari. Sementara buat saya, saya menganggap anak-anak itu butuh pengakuan. Pengakuan mereka adalah anak-anak yang asik, anak baik dan tentunya juga anak yang unik.
Di halaman selanjutnya, adik dari Marissa Haque dan Soraya Haque bercerita banyak hal yang bisa menginspirasi kita semua. Langsung klik laman berikut ini, ya
Contohnya, Mbak?
Contohnya, nih, anak saya yang ke dua itu kan badannya besar. Tapi tahu nggak cita-citanya apa? Dia ingin menjadi model. Lalu dia tanya ke kakak saya yang ke dua yang memang berprofesi sebagai model, “Mama Aya, apa benar kalau jadi model itu harus kurus?”. Saya sudah komat kamit ke kakak saya supaya nggak salah ngomong. Terus kakak saya jawabnya seperti ini, “Kalau dari pengalaman Mama Aya, setahu Mama Aya jadi model itu selain cantik dia juga harus punya keunikan. Jadi, kalau mau jadi model harus bisa unik.” Dalam pengasuhan, ketika kita berbicara pada anak kita memang harus hati-hati dan harus memilih kata-kata yang positif. Dengan begitu mereka juga bisa belajar untuk menjadi pribadi yang positif.
Memang susah sebetulnya, sih, apalagi kalau ingat kita ini dididik pada zaman yang berbeda. Orangtua zaman dulu, bawaannya selalu gas pol. Maunya diikuti dulu. Kita nggak pernah dibekali sama orangtua kita bagaimana menjadi ibu yang baik, persiapannya bagaimana kita mencapai cita-cita. Bagaimana bisa jadi dokter, bisa jadi insinyur. Dengan adanya kelas parenting dan kampanye Berani Senyum yang digerakan oleh Pepsodent ini tentu sangat bermanfaat. Para orangtua memang harus merapatkan barisan. Dengan begitu nggak ada lagi anak-anak yang nggak percaya diri nggak punya self esteem hingga melakukan bunuh diri. Artinya masalah bullyin dan peer pressure ini sudah nggak lucu lagi kan?
Bagaimana cara Mbak Naz menilai sukses tidaknya parenting yang dijalankan. Ada barometernya?
Kalau anak saya banyak senyumnya, artinya saya merasa aman. Kalau anak saya terlihat selalu sunyum, merasa senang, sering memeluk saya lebih sering, artinya ilmu saya sedang berjalan dengan baik. Tapi kalau anak saya sudah merengut, berarti sudah ada sesuatu yang bahaya.
Mbak Naz itu tipe Ibu seperti apa, sih?
Ada tipe orangtua yang saat melihat anaknya merengut-merengut tapi memutuskan untuk mendiamkan anak lebih dulu. Supaya adem. Nah, saya bukan tipe yang seperti itu, saya mah nggak sabaran, deh. Jadi saya bisa dibilang tipe ibu yang ngejar. Ada apa? Kamu kenapa? Saya selalu bilang ke anak-anak, saya pernah berada di posisi mereka sehingga punya pengalaman. Biarkan saya membantu sehingga kamu bisa cepat menyelesaikan masalah yang kamu hadapi.
Biar bagaimana pun yang mengalami puber kan bukan anak-anak saya saja, jutaan orang sudah pernah melewatinya. Jadi anak-anak butuh mendengar berbagai pengalaman. Jadi, parameter apakah ilmu parenting saya sukses atau nggak adalah kalau anak-anak saya mau senyum, tertawa dan bisa terbuka dengan saya.
Ilmu parenting kan nggak mungkin hanya Ibu yang menjalankan. Perlu dukukan suami. Ceritain, dong, Mbak sejauh mana keterlibatan Mas Gilang dalam pengasukan anak-anak?
Iya, dong, Gilang juga harus nolongin, jangan enak-enakan aja, hahaha. Contohnya, anak saya yang pertama dan ke dua ini kan sudah mulai genit-genitan. Anak saya yang pertama kan atlet, temannya laki semua, dia sekarang Timnas Softball. Casing-nya, sih, perempuan, tapi dalamnya seperti laki-laki. Jadi buat genit nggak ada dalam kamus dia. Sementara anak kedua ini seniman banget, apa-apa pakai hati, dan bisa dibilang rada genit. Jadi Gilang, selalu membantu menjelaskan anak ke dua, kalau terima telepon gayanya jangan terlalu genit. Kalau saya yang menjelaskan anak saya susah nangkep. Kalau Gilang yang menjelaskan akan lebih mudah diterima. Pengasuhan anak memang tidak bisa berjalan sendiri, membuat anak tersenyum juga tidak bisa kita lakukan sendiri tanpa bantuan pasangan.
Mengingat Mbak Naz ataupun suami sangat sibuk, bagaimana cara menyiasati untuk dekat dengan anak?
Saya sering ditanya, ‘Gimana Naz, kamu kerja, Gilang juga kerja, pengasuhan anak bagaimana?’. Sebenarnya ada saja, kok, caranya. Waktu kumpul sama anak, lepaskan gadget, mata bertemu mata, pelukan, dan banyak mencium meskipun sambil lewat, bahkan hanya sedekar memberi usapan pada mereka. Cara seperti ini kan juga sebuah komunikasi.
Berbincang dengan perempuan yang satu ini lantas membuat saya berpikir, sudah sejauh mana saya mampu melakukan perubahan demi mendapatkan waktu berkualitas bersama keluarga? Sudah mampukah saya melakukan digital detox ketika bersama anak ataupun suami demi mendapatkan waktu yang berkualitas bersama anak saya? Termasuk bagaimana saya harus menyiapkan diri ketika anak saya memasuki masa puber. Aaaah.... PR jadi orangtua itu memang nggak pernah ada habisnya, ya. Yuk, ah, kita sama-sama terus belajar menjadi orangtua yang lebih baik.