Kemarin, jagad socmed rame dengan 'drama' perempuan muda—sebut saja D—yang ngeluh di Path, tentang kekesalannya pada ibu hamil yang minta kursi di kereta. Tidak terhitung jumlah teman maupun saudara (rata-rata sudah menjadi orangtua) ikut menyebarkan screen capture-nya. Tentunya, sebagian besar disertai hujatan, makian, sumpah-serapah, bahkan harapan yang isinya cukup jahat sehingga tidak layak disebut doa.
Pernyataan D yang minus empati tentu bukan hal yang bisa dibanggakan. Tapi rasanya, rame-rame menyebarkan screen capture tanpa mengaburkan identitas D juga bukan hal yang dapat dibenarkan, ya? Apapun alasannya.
D bukan pelaku kejahatan.
Miskin etika, iya. Tapi, bukan pelaku kejahatan.
Menyebarkan supaya D terintimidasi dan malu? Ingat, itu cyberbullying.
Menyebarkan sebagai pengingat diri agar tidak menghasilkan anak serupa D? Halah. Ini bukan ilmu matematika atau fisika yang perlu dicatat rumusnya agar tidak lupa. Tidak perlu mencari-cari pembenaran.
Asli, saya cukup takjub dengan reaksi ibu-ibu kemarin. Apa karena nge-bully sesama ibu-ibu sudah so yesterday, maka saat ada perempuan—yang saya asumsikan belum pernah hamil—menulis pernyataan seperti itu, para ibu langsung bersatu-padu nge-bully?
Ironis sekali, jika selama ini banyak ibu-ibu menentang bullying (dan gemas luar biasa saat anak sendiri jadi korban), tapi kemarin malah ikut-ikutan nge-bully anak orang.
Cocok dengan kalimat bijak yang bunyinya kurang lebih: saat satu jari menunjuk orang lain, sesunggguhnya empat jari lain sedang menunjuk diri sendiri.
Padahal, katanya anak adalah mesin fotokopi orangtua. Katanya, orangtua harus memberi teladan. Saya, sih, tidak melihat adanya teladan baik dari hujatan massal terhadap D, ya. Justru ngasih contoh, bahwa sah-sah saja nge-bully orang lain di internet—bahkan yang tidak dikenal sekalipun. Sah-sah saja nge-judge sesama perempuan, toh, yang di-judge bukan ibu-ibu (karena kalau sesama ibu-ibu, enaknya nge-judge dalam hati saja, ya, biar pertemanan di dunia maya tetap akrab).
Tidak, saya bukan sedang membela D. Saya tidak kenal D, dan tidak tertarik juga mencari tahu siapa dia.
Tapi, langsung menyebar screen capture D sesaat setelah membacanya adalah perbuatan yang tidak kalah konyol dan kekanak-kanakan.
Bagaimana jika ternyata itu akun palsu? (misalnya ada orang iseng mengambil foto D, lalu membuat akun atas namanya). Jika ikut menyebar, bukankah sama dengan fitnah?
Bagaimana jika D miskin etika karena memang tidak memiliki sosok dewasa yang mengajarkannya? (misalnya keberadaan bapaknya tidak jelas, sementara ibunya depresi). Bukankah dibanding menghujat, sebaiknya justru mengasihani?
Bagaimana jika D ternyata sudah menikah tapi tidak kunjung hamil atau bahkan divonis mandul? (sehingga keluhannya pada ibu hamil sebenarnya merupakan caranya membentengi diri untuk mengurangi kekecewaan karena tidak bisa berbadan dua).
Munculnya 'drama' D ini membuat saya berpikir, seperti apa anak-anak saya 20 tahun lagi, ya? Bagaimana kelakuan mereka di usia dewasa? Akankah mereka jadi sosok penuh empati, atau justru setali tiga uang dengan D?
Saya tidak ikutan menyebar screen capture D bukan karena tidak peduli, tapi justru takut takabur. Takut karma. Takut kemakan omongan.
Kualat banget, kan, jika saya begitu pede menghujat D dan makhluk sebangsanya, tapi di masa depan ternyata kelakuan anak saya sama 'bangkek'-nya?
Masih 20 tahun lagi anak-anak saya dewasa.
Selama rentang waktu tersebut, banyak hal yang bisa terjadi. Tentu, saya berusaha mendidik sebaik yang saya bisa. Menyiapkan mereka jadi pribadi tangguh yang memiliki integritas. Tapi tetap saja, tidak ada jaminan bahwa keduanya akan baik-baik dan lurus-lurus saja.
*gambar dari sini
Bisa saja anak yang sekarang dibanggakan karena jarang tantrum, besarnya malah hobi cari gara-gara.
Bisa saja kakak-adik yang sekarang dibanggakan karena superakur, besarnya malah musuhan karena berebut warisan.
Banyak hal yang bisa terjadi dalam kurun waktu 20 tahun.
Ah, jangankan 20 tahun.
15 tahun lalu, orangtua Syifa dan Hafitd tidak tahu anaknya kelak jadi pembunuh.
10 tahun lalu, Ahmad Dhani tidak tahu anak bungsunya kelak menghilangkan 7 nyawa di jalanan.
My point is... sah-sah saja menghujat kelakuan minus anak orang.
TAPI, nanti saja menghujatnya, sekitar 20 tahun lagi. Tepatnya setelah anak kita yang masih pada piyik ini telah beranjak dewasa. Saat itu baru benar-benar terbukti, apakah didikan kita memang benar menjadikan mereka pribadi positif, atau sebaliknya.
Karma does exist. Jika kemarin banyak ibu-ibu heboh menghujat D, tidak tertutup kemungkinan 20 tahun mendatang tahu-tahu gantian D yang menghujat kelakuan anak-anak mantan penghujatnya :D