
Marriage burnout sering dianggap wajar terjadi di dalam pernikahan. Padahal, jika dinormalisasi, dampaknya bisa serius bagi pernikahan.
Mommies, pernah nggak merasa lelah bukan cuma secara fisik, tapi juga secara emosional saat menjalani pernikahan? Bangun pagi kurang semangat, ngobrol sama pasangan sekadar formalitas, sentuhan-sentuhan nggak ‘nyetrum’ lagi, dan konflik kecil terasa melelahkan untuk dibahas. Banyak yang menganggap kondisi ini “normal”—namanya juga sudah menikah lama, sibuk urus anak, kerja, dan segudang tanggung jawab lain.
Padahal, kondisi ini bisa jadi tanda marriage burnout atau relationship burnout dalam pernikahan. Sayangnya, burnout dalam hubungan sering dinormalisasi, seolah bagian wajib dari kehidupan rumah tangga. Padahal kalau dibiarkan, dampaknya bisa serius dan perlahan merusak fondasi pernikahan.
Lalu, kenapa marriage burnout bisa terjadi, apa saja tandanya, dan yang paling penting, bagaimana solusinya?
BACA JUGA: Emotional Winter: Saat Pasangan Berubah Dingin bak Kulkas Empat Pintu
Secara sederhana, relationship burnout terjadi ketika stres dalam hubungan berlangsung terus-menerus hingga membuat seseorang merasa kelelahan secara emosional. Mirip seperti burnout kerja, hanya saja sumber kelelahan ini datang dari hubungan yang lebih intim, dalam hal ini, pernikahan.
Burnout dalam hubungan sering muncul ketika seseorang merasa tidak dihargai, kurang didukung, atau merasa dirinya terus memberi tanpa mendapatkan timbal balik yang seimbang. Awalnya mungkin hanya rasa lelah atau kesal kecil, tapi lama-kelamaan berubah menjadi jarak emosional.
Yang bikin tricky, marriage burnout tidak selalu muncul dalam bentuk pertengkaran besar. Justru sering hadir dalam bentuk diam, datar, dan mati rasa.
Marriage burnout nggak selalu dramatis, Mommies. Banyak pasangan masih terlihat “baik-baik saja” dari luar. Tapi di dalam, salah satu atau keduanya mungkin merasakan:
Kalau ini terasa familiar, kemungkinan besar burnout dalam hubungan memang sedang Mommies alami.

Marriage burnout tidak muncul tiba-tiba. Ia terbentuk dari akumulasi stres, konflik, dan kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi. Beberapa tanda yang patut diwaspadai:
Tanda-tanda ini sering dianggap “fase biasa” dalam pernikahan. Padahal, jika terus dinormalisasi, marriage burnout bisa berkembang menimbulkan jarak permanen.
BACA JUGA: Relationship Audit, Cara Cerdas Mencegah Hal Mengikis Pernikahan
Relationship atau marriage burnout dapat terjadi karena perbedaan kepribadian, pertengkaran yang terjadi terus-menerus, atau suami dan istri sama-sama merasa frustrasi. Selain itu, salah satu pasangan mungkin merasa bahwa mereka telah berusaha lebih keras daripada yang lain, sehingga menimbulkan rasa tidak adil dan tidak seimbang. Terlepas dari itu, masalah-masalah ini dapat menyebabkan terputusnya hubungan sepenuhnya dalam sebuah pasangan.
Ada banyak penyebab relationship burnout, dan sering kali bukan hanya satu faktor. Beberapa di antaranya:
Dalam pernikahan, relationship burnout sering muncul saat satu pihak merasa selalu “memberi lebih banyak” tapi tidak diapresiasi.
Kabar baiknya, Mommies: marriage burnout tidak selalu berarti akhir hubungan. Jika kedua pihak mau berusaha, ada banyak cara untuk memulihkan koneksi.

Memendam perasaan hanya akan memperlebar jarak. Bicarakan kebutuhan emosional dan fisik secara jujur tanpa menyalahkan. Gunakan kalimat “aku merasa…” agar pasangan tidak merasa diserang.
Perhatikan pola pertengkaran. Apakah muncul saat lelah, merasa tidak didengar, atau stres kerja? Dengan mengenali pemicu, solusi bisa dicari bersama.
Hubungan butuh dirawat. Nggak harus mewah. Belanja kebutuhan bulanan bareng, masak bersama, atau 10 menit ngobrol tanpa distraksi gadget bisa sangat berarti.
Perbedaan bahasa cinta sering bikin pasangan merasa “tidak dicintai”, padahal sebenarnya hanya cara mengekspresikannya aja yang berbeda. Diskusikan hal-hal kecil yang membuat masing-masing merasa dihargai.
Sentuhan aman dan penuh kasih membantu sistem saraf merasa terhubung. Mulai dari hal sederhana seperti belaian di punggung, berpegangan tangan, pelukan sebelum berangkat kerja, atau upayakan untuk sering duduk berdekatan.
Kadang, jarak justru membantu perasaan rindu tumbuh kembali. Terkadang, beristirahat sejenak dari satu sama lain bisa bermanfaat. Terlalu sering menghabiskan waktu dengan pasangan dapat membuat kita merasa kewalahan. Bagi sebagian orang, kemandirian adalah bagian penting dari identitas diri mereka dan dapat dengan mudah hilang setelah menikah dan terlalu sering bersama. Memberi waktu, ruang, dan jarak untuk Mommies dan pasangan, memungkinkan kita untuk memulihkan energi emosional yang hilang.
Tak ada manusia sempurna tapi bukan berarti pasangan kita sama sekali nggak punya sifat baik di dalam dirinya. Tak ada pula pernikahan yang tanpa cela, tapi bukan berarti nggak ada yang bisa dibanggakan dari pernikahan Mommies. Fokuslah pada hal-hal positif. Ini akan membantu kita mengubah sudut pandang. Mengucapkan terima kasih atas hal-hal kecil yang pasangan lakukan bisa menghangatkan kembali hubungan suami dan istri.
Selalu menganggap pasangan berniat buruk terhadap pernikahan kalian hanya memperparah burnout dalam hubungan. Coba ubah sudut pandang sebelum bereaksi. Sebaliknya, ingat-ingat tentang saat-saat indah dan tindakan-tindakan baik yang telah pasangan lakukan. Biarkan kenangan terhadap hal-hal baik itu membantu kita untuk nggak gampang berburuk sangka, terutama saat terjadi perselisihan.
Burnout dapat berdampak pada setiap aspek kehidupan kita, bukan hanya terhadap hubungan kita dengan pasangan. Stres kronis dapat membuat kita merasa benar-benar lelah dan habis-habisan. Karena alasan inilah melakukan perawatan diri sangat penting.
Jaga rutinitas tidur, olahraga, dan diet yang sehat untuk membatasi stres yang berlebihan. Perawatan diri bukanlah tindakan egois. Sebaliknya, hal itu memungkinkan kita untuk menjadi versi terbaik diri kita dan, sebagai imbalannya, menjadi pasangan yang lebih baik juga.
Relationship burnout adalah akumulasi faktor-faktor yang terjadi seiring waktu dan membutuhkan waktu yang sama, atau bahkan lebih lama, untuk mengatasinya.
Jika salah satu dari pasangan merasa tertekan atau dipaksa, hal itu dapat menyebabkan keretakan yang lebih besar. Sabar. Rayakan setiap kemajuan kecil dan jangan memaksakan perubahan terjadi secara instan.
BACA JUGA:
Cover: Timur Weber/Pexels