Apa saja alasan dan dampak buruk bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia demi anak? Adakah solusinya? Yuk, cek apa kata psikolog.
Banyak pasangan yang memilih bertahan dalam pernikahan meski tidak bahagia, dengan alasan utama: demi anak. Kedengarannya mulia, bahkan penuh pengorbanan. Tapi, apakah keputusan ini benar-benar membawa kebaikan bagi anak? Atau justru menyimpan risiko yang tak terlihat?
Nadya Pramesrani, M.Psi., Psikolog, psikolog klinis keluarga dan pernikahan yang juga Co-Founder Rumah Dandelion ini akan bantu Mommies dan pasangan mengupas dampak dari mempertahankan hubungan yang tidak sehat demi anak, risiko, serta solusi yang bisa dilakukan agar keluarga tetap menjadi tempat tumbuh yang aman dan sehat.
BACA JUGA: 7 Artis Terapkan Co-Parenting pada Anak, Ada Acha Septriasa hingga Desta
Sesekali pasangan suami istri bertengkar, tidur saling memunggungi, atau istri mogok masak karena suami pulang kemaleman, itu nggak membuat sebuah pernikahan otomatis dapat gelar unhappy marriage.
Pernikahan yang tidak bahagia bukan sekadar hubungan yang sedang mengalami pasang surut. Untuk lebih jelasnya, ini kata Psikolog Nadya, “Pernikahan (yang tidak bahagia) dipenuhi dengan suasana emosi negatif, akibat dari pola interaksi yang negatif atau tidak adanya interaksi sama sekali. Hubungan yang tidak memenuhi kebutuhan emosional dan fisik antara suami istri, seperti tidak adanya komunikasi yang sehat dan fulfilling, tidak adanya tindakan saling menghormati dan menghargai, tidak adanya kepercayaan dan komitmen terhadap satu sama lain.”
Meski terasa babak belur menjalani pernikahan yang tidak bahagia, banyak pasangan suami istri tetap memilih bertahan dalam pernikahan demi anak.
Psikolog Nadya menyebutkan beberapa alasan yang mendasarinya:
Banyak orang tua berpikir bahwa anak akan lebih baik jika kedua orang tuanya tetap bersama. Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam rumah tangga penuh konflik yang tanpa penyelesaian justru lebih rentan mengalami berbagai masalah. Dampaknya bisa jauh lebih besar dari yang dibayangkan:
Ketika orang tua sibuk bertengkar atau saling menghindar, kualitas hubungan dengan anak ikut menurun. Anak bisa merasa diabaikan, tidak diprioritaskan, atau bahkan merasa dirinya hanya menjadi beban.
Anak-anak yang menyaksikan konflik orang tua berisiko mengalami gangguan internal seperti kecemasan, depresi, menarik diri, dan gangguan kesehatan mental.
Di sisi lain, mereka juga bisa menunjukkan perilaku eksternal seperti agresi atau pembangkangan.
Ketegangan di rumah bisa mengganggu konsentrasi dan motivasi belajar anak. Mereka mungkin merasa sulit fokus di sekolah atau kehilangan semangat untuk berprestasi.
Anak belajar cara berinteraksi dari orang tuanya. Jika yang mereka lihat adalah pertengkaran dan sikap pasif-agresif, mereka mungkin kesulitan membangun hubungan yang sehat dengan teman atau pasangannya di masa depan.
Anak-anak yang menyaksikan perkawinan orang tua mereka penuh konflik cenderung memiliki penilaian negatif terhadap hubungan romantis karena nggak punya pengalaman tentang caranya menjalin hubungan yang positif dan memuaskan.
BACA JUGA: Selain Selingkuh, Ternyata Ini 10 Penyebab Utama Perceraian!
Penelitian menemukan bahwa ketika orang tua berada dalam pernikahan yang tidak bahagia, konflik tersebut membahayakan kesejahteraan sosial dan mengganggu perkembangan emosional anak. Anak jadi sulit merasa aman di rumahnya sendiri, merasa depresi dan cemas.
Banyak anak merasa bahwa konflik orang tua terjadi karena kesalahan mereka. Ini bisa menimbulkan rasa bersalah yang menetap dan memengaruhi harga diri mereka.
Anak-anak cenderung meniru apa yang mereka lihat. Jika mereka terbiasa melihat orang tua saling menyakiti secara verbal, emosional, dan fisik, mereka bisa menganggap itu sebagai cara normal dalam berhubungan.
Penelitian menunjukkan bahwa anak yang menyaksikan konflik orang tua mengalami peningkatan hormon stres (kortisol) dan tekanan jantung. Ini bisa berdampak pada perkembangan otak dan kesehatan jangka panjang.
Ironisnya, anak-anak dari pernikahan penuh konflik memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami perceraian saat dewasa. Mereka tumbuh tanpa contoh hubungan yang sehat, sehingga sulit membangun fondasi yang kuat dalam pernikahan mereka sendiri.
Jika Mommies merasa pernikahan sedang tidak bahagia, bukan berarti semuanya harus segera diakhiri. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar konflik tidak berdampak buruk pada anak:
Jangan bertengkar dengan cara saling menghina, berteriak, atau menggunakan kekerasan fisik. Jika emosi sedang tinggi, lebih baik menunda pembicaraan dan tenangkan diri terlebih dahulu.
Anak-anak sangat peka. Mereka bisa tahu apakah orang tua mereka benar-benar berdamai atau hanya pura-pura. Pastikan mereka tahu bahwa konflik sudah selesai dan hubungan kalian tetap aman.
Meski sedang lelah atau stres karena pasangan, usahakan tetap hadir secara emosional untuk anak. Mereka butuh rasa aman dan perhatian yang konsisten.
Ucapkan dengan jelas bahwa konflik orang tua bukan karena mereka. Beri afirmasi bahwa mereka dicintai dan bukan penyebab pertengkaran.
Jika semua usaha sudah dilakukan dan pernikahan tetap tidak membaik, mungkin saatnya mempertimbangkan langkah lain. Apalagi jika terjadi kekerasan fisik dan membahayakan nyawa. Perceraian bukan berarti gagal, tapi bisa menjadi jalan untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi anak.
Mungkin kita bertanya-tanya, apa alasan utama yang dapat dijadikan dasar untuk mengakhiri pernikahan yang tidak bahagia?
Berikut penjelasan dari psikolog Nadya, “Tidak ada perumusan atau check list yang seragam untuk tiap orang. Sama seperti menikah adalah keputusan personal, begitu juga dengan bercerai. Apabila semua checklist ini terpenuhi, maka artinya berpisah aja. Beberapa alasan yang bisa menjadi penentu seseorang berpisah adalah perselingkuhan, tidak adanya lagi kehangatan/rasa cinta, konflik berkepanjangan, isu terkait finansial, ketergantungan alkohol dan/atau narkoba. Tapi seringkali alasan-alasan tersebut adalah pemicu terakhir, puncak akumulasi dari isu-isu yang tidak terselesaikan atau sengaja diabaikan sepanjang perjalanan hubungan pasangan tersebut.”
Menjadi orang tua memang penuh pengorbanan. Tapi pengorbanan yang sehat adalah yang tetap menjaga kesejahteraan semua pihak—termasuk kita sendiri. Anak-anak butuh orang tua yang bahagia, bukan hanya yang tinggal serumah.
Jika Mommies sedang berada di titik sulit dalam pernikahan, jangan ragu untuk mencari bantuan konselor pernikahan atau psikolog keluarga.
BACA JUGA: Korban Perselingkuhan Bisa Jadi Pelaku? Ini 5 Alasannya!
Cover: cottonbro studio/Pexels