Kenali fenomena man child dalam pernikahan, sifat laki-laki dewasa yang belum matang secara emosional dan masih bersikap seperti anak kecil.
Mommies, pernahkah merasa lelahnya dobel dalam pernikahan dan rumah tangga? Di satu sisi, Mommies adalah ibu luar biasa yang mengurus segala kebutuhan si Kecil. Namun di sisi lain, rasanya seperti punya satu ‘anak’ lagi yang sudah dewasa: suami sendiri. Jika Mommies sering menghela napas karena harus mengingatkan suami tentang hal-hal dasar atau membereskan kekacauannya, Mommies tidak sendirian. Ini adalah fenomena global yang dikenal sebagai “man child” atau “pria kanak-kanak”.
Ini bukan sekadar tentang suami yang hobi main game, ya, Mom. Ini adalah pola perilaku kronis dari pria dewasa yang menolak untuk tumbuh secara emosional. Ia seolah terjebak dalam kapsul waktu, membiarkan Mommies memikul beban ganda sebagai istri sekaligus ‘ibu’ pengasuh baginya.
Yuk, kita kenali lebih dalam fenomena Man Child dalam pernikahan ini, agar Mommies bisa memahami apa yang terjadi dan menemukan jalan keluarnya.
Secara sederhana, man child adalah suami yang secara emosional belum matang. Ia mungkin terlihat menawan dan lucu di awal, tapi di balik itu, ia tidak mampu berfungsi sebagai mitra yang setara dalam pernikahan. Ia bergantung pada Mommies untuk mengambil keputusan, mengelola emosi, dan membereskan masalah.
Dr. Berit Brogaard dalam tulisannya di Psychology Today menyoroti bahwa pria seperti ini sering kesulitan membangun hubungan jangka panjang yang stabil karena mereka menolak berkomitmen pada tanggung jawab kehidupan nyata. Pesonanya akan cepat luntur begitu Mommies sadar bahwa Andalah yang harus mengurus segalanya, mulai dari tagihan listrik hingga jadwal imunisasi si Kecil.
BACA JUGA: Bertengkar Sehat: 15 Aturan Fair Fight agar Rumah Tangga Langgeng
Coba cek, Mommies. Apakah tanda-tanda ini terasa sangat familier dalam kehidupan sehari-hari?
Ini adalah ciri utamanya. Saat cucian piring menumpuk atau sampah harus dibuang, ia seolah ‘tidak melihat’. Saat ada masalah keuangan, ia menyerahkannya pada Mommies. Intinya, semua hal yang berbau “tanggung jawab orang dewasa” dianggap sebagai tugas Mommies.
Gaji mungkin ada, tapi selalu habis untuk hobi atau keinginan impulsifnya. Sementara Mommies pusing mengatur dana darurat dan biaya sekolah anak, ia bisa dengan santai membeli gadget terbaru tanpa diskusi. Tak jarang, ia masih bergantung pada bantuan orang tuanya.
Saat keinginannya tidak dituruti atau saat Mommies memberinya kritik, reaksinya bisa seperti anak-anak. Mungkin ia akan marah besar, membanting pintu, atau melakukan silent treatment (mendiamkan Mommies berhari-hari). Percakapan sulit sering kali berakhir buntu.
Dunianya berpusat pada dirinya sendiri. Waktu luangnya adalah untuk hobinya, bukan untuk membantu Mommies atau bermain bersama anak-anak. Saat Mommies sedang kewalahan mengurus si Kecil yang sedang sakit, ia mungkin lebih memilih pergi bersama teman-temannya.
Ini adalah taktik andalannya. “Aku nggak ngerti cara ganti popok,” atau “Aku nggak tahu cara bayar tagihan online.” Ia sengaja menunjukkan ketidakmampuannya agar Mommies menyerah dan akhirnya mengerjakan semuanya. Ini bukan karena ia tidak bisa, Momies, tapi karena ia tidak mau.
Ajak bicara soal masa depan, rencana tabungan pendidikan anak, atau penyelesaian konflik? Ia akan langsung mengalihkan pembicaraan, membuat lelucon, atau menatap ponselnya, berharap Mommies berhenti bertanya.
Perilaku ini tidak muncul begitu saja. Para psikolog setuju akarnya sering kali berasal dari masa kecil.
BACA JUGA: Istri Lagi Marah? Ini 20 Hal yang Sebenarnya Ia Ingin Suami Lakukan
Menjalani pernikahan dengan man child sangat menguras energi. Mommies pasti merasakan:
Mengubah dinamika ini memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Kesejahteraan Mommies adalah prioritas.
Ini langkah pertama yang paling berat. Berhenti membereskan kekacauannya. Biarkan ia merasakan konsekuensi dari tindakannya. Jika ia lupa membayar tagihan, biarkan ia yang berurusan dengan petugasnya.
Komunikasikan kebutuhan Mommies. Gunakan kalimat “Aku merasa…” agar tidak terdengar menyerang. Contoh: “Aku merasa sangat lelah dan butuh bantuanmu untuk memandikan anak-anak sore ini.”
Jangan lagi bertanya, tapi berikan tugas. “Tugasmu minggu ini adalah membuang sampah setiap pagi.” Jika tidak dilakukan, biarkan sampah menumpuk sebagai konsekuensi yang terlihat.
Terkadang, masalah ini sudah terlalu dalam. Jangan ragu mengajak suami untuk konseling pernikahan. Jika ia menolak, Mommies bisa mencari bantuan terapis untuk diri sendiri terlebih dahulu. Ini penting untuk menguatkan mental Mommies dan belajar cara terbaik untuk menghadapi situasi ini.
BACA JUGA: Para Istri Catat! Ini 15 Hal yang Suami Ingin Istri Lakukan Kalau Suami Lagi Marah
Mommies, ingatlah bahwa pernikahan adalah kemitraan yang setara. Mommies berhak memiliki pasangan yang dewasa, yang bisa diandalkan, dan yang berjalan beriringan bersama, bukan seseorang yang harus terus-menerus dituntun. Kesehatan mental dan kebahagiaan Mommies sangatlah berharga.
Penulis: Kalamula Sachi
Cover: Freepik