Sorry, we couldn't find any article matching ''

Kenapa Pendidikan di Luar Negeri Terasa Lebih Maju? Ini Bedanya dengan Indonesia
Di luar negeri pelajar diajak banyak tanya, di Indonesia malah dilarang? Mari lihat apa saja perbedaan pendidikan di negara kita dengan negara maju lainnya.
Di tengah perubahan global yang menuntut generasi muda untuk mampu berpikir kritis, menyelesaikan masalah, dan berani mengemukakan pendapat, sistem pendidikan Indonesia justru masih berkutat pada metode belajar yang pasif, kaku, dan terlalu formal. Di luar negeri, pelajar justru didorong untuk banyak tanya, aktif berdiskusi, dan membangun argumentasi sejak dini. Sebaliknya, di Indonesia, siswa yang banyak bertanya kadang dianggap tidak sopan atau dianggap “terlalu kritis”.
Salah satu indikator lemahnya kemampuan pelajar Indonesia terlihat dari hasil PISA (Programme for International Student Assessment) 2022, sebuah studi internasional oleh OECD untuk siswa usia 15 tahun di lebih dari 70 negara. Skor Indonesia menempati peringkat 69 dari 81 negara, memperlihatkan betapa besarnya tantangan yang dihadapi sistem pendidikan kita dalam menyiapkan pelajar yang siap bersaing secara global.
BACA JUGA: 8 Negara dengan Pendidikan Terbaik di Dunia, Cocok untuk Belajar di Luar Negeri!
Bangun Nalar, Bukan Sekadar Demi Ujian
Foto: Freepik
Pola pikir pelajar tidak bisa dilepaskan dari pola asuh keluarga dan sistem pendidikan yang mereka jalani. Di Indonesia, sistem belajar masih sangat berorientasi pada hafalan dan hasil ujian. Sering kali anak langsung diberi tahu “jawaban yang benar” tanpa diajak menelusuri proses berpikirnya. Akibatnya, pelajar tidak terbiasa berpikir kritis, banyak tanya, atau belajar dari kesalahan—padahal kemampuan-kemampuan inilah yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan nyata.
Orientasi pendidikan yang masih dominan akademik membuat siswa hanya mengejar nilai, bukan pemahaman. Pendekatan seperti teaching to the test menekan ruang eksplorasi. Bahkan di rumah, pelajar Indonesia cenderung diajarkan untuk diam dan menurut, bukan berdiskusi atau mengemukakan gagasan.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Indonesia, Prof. Stella Christie, juga mengkritisi kebiasaan orang tua yang terlalu cepat memberi gadget ke anak tanpa pendampingan. “Anak-anak Indonesia sebenarnya bukan tidak memiliki pengetahuan—mereka tahu rumus atau teori, terutama dalam pelajaran seperti matematika. Namun, mereka sering kesulitan menerapkan pengetahuan itu dalam konteks yang berbeda. Misalnya, ketika menghadapi soal dengan bentuk atau sudut pandang baru, mereka tidak tahu bagaimana menerapkannya,” ujarnya dalam wawancara di acara Kick Andy.
Pendidikan Indonesia Masih Sibuk dengan Simbol dan Administrasi
Sementara dunia sudah berbicara tentang inovasi, kolaborasi, dan literasi digital, sistem pendidikan Indonesia masih disibukkan oleh aturan seperti seragam sekolah yang ketat, potongan rambut, serta perubahan kurikulum yang sering dilakukan tanpa kesiapan menyeluruh. Perubahan kurikulum tanpa transformasi metode pengajaran tidak berdampak besar pada kualitas belajar pelajar. Guru pun menjadi bingung dan tidak punya cukup waktu untuk merancang pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan murid yang beragam.
Belajar Pendidikan Kontekstual dari Sekolah Alternatif
Di beberapa sekolah, terobosan untuk membuat pendidikan lebih aktif sudah mulai banyak. Salah satunya, kita bisa belajar dari Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta yang menerapkan pendekatan pendidikan kontekstual. Pelajar di SALAM belajar berdasarkan minat pribadi, kondisi lingkungan sekitar, dan persoalan nyata yang mereka hadapi setiap hari. Filosofinya sederhana: “Mendengar, saya lupa; Melihat, saya ingat; Melakukan, saya paham; Menemukan sendiri, saya kuasai.”
Di sana, pelajar tidak hanya menerima pengetahuan dari guru, tapi dilatih untuk bertanya, menyampaikan pendapat, bereksperimen, dan menemukan solusi sendiri. SALAM membuktikan bahwa ketika siswa diberikan ruang untuk banyak tanya, eksplorasi mereka terhadap ilmu pengetahuan justru menjadi lebih dalam dan bermakna.
Perbandingan dengan Pendidikan di Luar Negeri
Foto: Freepik
Negara-negara seperti Finlandia, Amerika Serikat, dan Jepang telah lama menerapkan pendekatan pendidikan yang lebih membebaskan dan berorientasi pada pemikiran kritis. Di Finlandia, guru berperan sebagai fasilitator, bukan sumber utama kebenaran. Pelajar aktif bertanya, berdiskusi, dan bekerja sama dalam suasana belajar yang inklusif dan tidak kompetitif.
Di Amerika Serikat, diskusi terbuka menjadi bagian penting dari pembelajaran. Metode Socratic questioning mendorong siswa untuk berpikir dari berbagai sudut pandang. Budaya “tidak ada pertanyaan yang bodoh” membuat pelajar berani menyampaikan apa pun yang ada di pikirannya.
Di Jepang, walaupun sistemnya dikenal disiplin, pembelajaran kolaboratif seperti lesson study mengajak siswa untuk menganalisis proses berpikir, bukan hanya fokus pada hasil akhir. Refleksi bersama menjadi bagian penting dari proses belajar.
Dimulai dari Rumah
Menumbuhkan pelajar yang kritis dan terbiasa banyak tanya tidak harus menunggu reformasi kebijakan nasional. Justru, proses ini bisa dan harus dimulai dari rumah. Di banyak negara, orang tua melatih anak-anak mereka untuk berpikir sejak kecil dengan cara sederhana: mengajak berdiskusi, mendengarkan pendapat anak, membahas kejadian sehari-hari, dan mendorong anak untuk mengajukan pertanyaan.
Kebiasaan seperti bertanya “Menurutmu kenapa ini bisa terjadi?”, menceritakan kembali pengalaman, buku yang baru dibaca, atau berdiskusi tentang solusi dari masalah kecil, sangat efektif untuk membentuk pola pikir logis, kritis, dan reflektif. Metode narasi dan diskusi ini memperkuat kepercayaan diri anak untuk belajar dan berpikir secara mandiri—bukan sekadar menuruti jawaban yang diberikan. Bisa dicoba!
BACA JUGA: 3 Alasan Anak Susah Memiliki Growth Mindset, Kata Psikolog Pendidikan
Cover: Freepik
Share Article


POPULAR ARTICLE


COMMENTS