Hak asuh anak tidak melulu jatuh ke tangan istri. Ada beberapa penyebab hak asuh anak bisa didapatkan oleh suami. Ini penjelasannya.
Berita perselingkuhan sepertinya tidak ada habisnya. Baru-baru ini muncul lagi isu perselingkuhan dari artis terkenal Syahnaz Sadiqah dengan lawan mainnya di sinetron, Rendy Kjaernett.
Lady Nayoan, istri dari Rendy, mengungkapkan isi obrolan WhatsApp dengan Syahnaz di mana Syahnaz khawatir sang suami, Jeje, akan membawa kedua anaknya jika ia melakukan perselingkuhan lagi.
Saat suami istri yang sudah memiliki anak akhirnya memutuskan untuk bercerai, hak asuh atas anak identik diberikan pada ibu atau mantan istri. Namun ternyata, hak asuh anak juga bisa diberikan pada ayah atau mantan suami asal memenuhi syarat.
Berdasarkan Pasal 156 KHI (Kompilasi Hukum Islam) ayat C yang berbunyi, “Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula”, Poernomo Dwinanto, S.H, menjelaskan bahwa jika pihak suami mendapatkan hak asuh anak maka harus dimohonkan dalam suatu gugatan. Gugatan tersebut bisa bersamaan dalam gugatan cerai atau nanti bisa dalam gugatan tersendiri apabila sudah terjadi perceraian.
BACA JUGA: 5 Cara Mengurus Perceraian Sendiri Tanpa Pengacara
Dalam hal ini, hak asuh jatuh ke tangan suami melalui alat bukti persidangan, seperti:
Untuk pasangan-pasangan yang beragama Islam, selain dari faktor-faktor di atas, hakim juga menilai apakah istri atau mantan istri memiliki kapasitas untuk dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak. Jika suami bisa membuktikan istri tidak memiliki kapasitas tersebut, maka hak asuh anak dalam Islam bisa jatuh ke tangan suami sesuai Pasal 156C dan berlaku untuk anak di bawah 12 tahun (belum mumayiz).
Kemudian, untuk pasangan non Islam, pada prinsipnya jika suami dapat membuktikan seperti alasan-alasan di atas, maka hakim dapat memutuskan hak asuh anak didapatkan oleh suami. Namun, acuan pengadilan dalam memutuskan adalah berdasarkan yurispudensi yang ada. Biasanya, hal tersebut dijadikan rujukan bagi hakim untuk memutuskan perkara yang memiliki kemiripan. Kondisi ini berlaku untuk anak yang belum dewasa untuk perceraian non Islam.
Dalam konteks ini, dewasa adalah menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 47 Ayat 1 yang berbunyi, “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.”
BACA JUGA: Mengenal Berbagai Hukum Perceraian di Berbagai Negara, Nomor 11 Paling Mudah
Cover: Photo by RDNE Stock project on Pexels