banner-detik
EDUCATION

Penyebab Anak Jadi Malas Belajar dan Cara Mengatasinya Menurut Psikolog

author

Katharina Menge05 May 2023

Penyebab Anak Jadi Malas Belajar dan Cara Mengatasinya Menurut Psikolog

Banyak orang tua bertanya-tanya apa yang menyebabkan anak mereka jadi malas belajar, sementara beberapa faktornya juga sering datang dari orang tua. Yuk, kenali dan atasi!

Apa penyebab anak malas belajar? Sebelum membahas sampai ke situ, Mommies Daily sempat berbincang dengan Kara Handali, M.Psi, Psikolog Pendidikan, mengenai hal ini. Dia pun menyarankan setiap orang tua untuk berhati-hati dalam memberikan label ‘malas’ pada anak-anak mereka.

Memberikan label ‘malas’ pada anak secara tidak langsung sama dengan menilai bahwa mereka adalah pribadi yang pemalas, padahal yang seringkali terjadi adalah anak menunjukkan perilaku yang kurang termotivasi dalam belajar atau tiidak sesuai dengan gambaran Anda sebagai orang tua tentang perilaku yang ‘seharusnya’ dilakukan oleh seorang siswa atau anak sekolah.

Di benak orang tua, gambaran yang terbentuk adalah anak sebagai siswa sekolah seharusnya belajar di rumah, mengulang pelajaran yang tadi dipelajari di sekolah, bisa fokus dan cepat mengerjakan tugas hingga selesai tanpa diselingi bermain, lebih mengutamakan belajar ketimbang bermain.

Sementara yang banyak ditemui di lapangan adalah anak tidur-tiduran, asyik main smartphone, tidak memberitahu kapan tugasnya harus dikumpulkan, terkesan menggampangkan tugas sekolahnya, dan hal serupa lainnya.

Nah, siapa Mommies punya pemikiran seperti ini juga? Jadi, ketimbang dibilang malas, lebih tepat jika dikatakan bahwa anak kurang termotivasi untuk belajar atau mengalami demotivasi belajar.

Melabeli anak dengan predikat ‘malas’ justru malah membuat dia yakin bahwa dirinya memang seorang pemalas, dan hal ini berbahaya untuk tumbuh kembang mereka, seperti menurunnya rasa percaya diri, dia membentuk konsep diri negatif, serta membuat anak semakin tidak termotivasi dalam belajar.

BACA JUGA: 5 Kesalahan Orang tua yang Membuat Anak Malas Sholat

Penyebab Anak Kurang Termotivasi dalam Belajar!

Menurut Kara, ini beberapa hal yang menyebabkan anak kurang termotivasi untuk belajar.

1. Pelajaran yang kurang relevan dengan dunia anak sehari-hari. Akhirnya anak tidak menemukan kegunaan dari proses pembelajaran dan hal-hal yang dia pelajari.

2. Anak tidak menemukan kesenangan dalam belajar, bahkan mungkin justru mengalami pengalaman kurang menyenangkan ketika proses belajar berlangsung, misalnya setiap mengerjakan tugas selalu dimarahi atau dikomentari.

3. Sikap guru serta orang tua yang mematahkan semangat dapat membuat anak merasa kecewa terhadap dirinya sehingga ia kurang termotivasi untuk belajar.

4. Kurangnya rasa percaya diri. Hal ini juga bisa dipengaruhi oleh poin nomor 3. Karena merasa dirinya kurang mampu melakukan tugas yang diberikan, sehingga ia cenderung menampilkan usaha yang kurang dalam proses belajar.

5. Anak jarang mendapat apresiasi atau umpan balik yang membangun dari orang tua serta guru, misalnya diabaikan atau justru hanya diberikan umpan balik negatif (dianggap kurang atau diberi cibiran).

6. Terlalu banyak batasan dan aturan sehingga anak merasa kurang memiliki ruang gerak untuk menentukan sendiri pilihannya.

Kesalahan Orang Tua yang Membuat Anak Tidak Termotivasi Belajar

Seperti sudah diungkap di atas, orang tua juga punya andil dalam membuat anak jadi tidak termotivasi untuk belajar. Ini dia beberapa faktor dari sisi orang tua dan mungkin perlu Mommies dan Daddies perhatikan.

1. Abai terhadap perkembangan anak dan menyerahkan seluruh ‘urusan’ akademis pada pihak sekolah serta pengasuh. Ketika anak melihat minimnya minat dan kehadiran orang tuanya, maka itu bisa membentuk persepsi anak bahwa apa yang dilakukannya di sekolah bukanlah hal yang penting sehingga usahanya terlibat dalam pembelajaran pun menjadi berkurang.

2. Menganggap anak sebagai pencapaian, investasi, atau gambaran diri orang tua, sehingga orang tua menilai anak hanya berdasarkan ekspektasi dan standar mereka.

3. Fokus pada hasil yang diperoleh anak tanpa mengindahkan usaha anak.

4. Fokus pada komentar atau penilaian yang ‘kurang’ dari anak.

5. Membuat aspek akademis sebagai topik utama (atau satu-satunya) dalam percakapan harian. Hal ini dapat membuat anak merasa kurang dihargai sebagai dirinya. Anak juga bisa merasa kalau orang tuanya kurang berminat pada dia dan hanya peduli pada nilai akademisnya. Hal ini pun akhirnya bisa membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan akademis.

6. Membandingkan anak dengan orang lain. Ketika orang tua melakukan hal ini, anak bisa merasa kurang dihargai sebagai individu sehingga justru menampilkan perilaku memberontak dengan menurunkan usahanya dalam belajar.

Cara Mengatasi Anak yang Tidak Termotivasi untuk Belajar

Tentu saja semua masalah ini ada jalan keluarnya. Tinggal Mommies dan Daddies yang menentukan apakah ingin mengambil langkah ini untuk mulai memperbaiki semangat belajar anak, sekaligus hubungan kalian. Ini dia caranya!

1. Ingat bahwa anak adalah individu merdeka dengan minat dan kemampuan yang mungkin berbeda dari harapan orang tua. Karena itu, keberhasilan atau kegagalan anak tidak mencerminkan keberhasilan atau kegagalan orang tua.

Dengan memandang anak sebagai dirinya sendiri, lebih mudah bagi orang tua untuk fokus pada perkembangan diri anak, alih-alih menilai mereka berdasarkan ekspektasi orang tua.

2. Tumbuhkan minat terhadap dunia anak. Cari tahu hal yang diminati anak, baik di dalam maupun luar area akademis. Ketika anak merasa dipahami, maka ia akan lebih terbuka untuk mendengarkan pendapat orang tua.

3. Cari tahu apa yang membuat anak kurang termotivasi belajar. Ketika berbicara dengan anak, cobalah untuk lebih banyak mendengarkan supaya Mommies bisa lebih memahami sudut pandang anak dan tidak memberikan penilaian atau berargumen.

4. Mengajak anak melihat sudut pandang lain mengenai hal yang kurang disukai dari belajar. Mommies bisa memberikan contoh konkrit bagaimana pelajaran tertentu relevan dengan kehidupan sehari-hari anak. Untuk anak yang sudah memasuki usia pra remaja atau 10 tahun ke atas, Mommies bisa mengajak mereka berdiskusi dan meminta pendapatnya.

5. Memberikan apresiasi atas usaha yang ditampilkan anak, bukan pada hasil yang diperoleh. Mommies atau Daddies bisa memberikan apresiasi dalam bentuk kata-kata, seperti “Mama lihat kamu tetap mau buat PR meskipun kamu nggak suka pelajaran matematika,” atau “Papa lihat kamu coba untuk gak main game padahal sudah bosan belajar. Walaupun sulit tapi kamu tetap berusaha. Keren, Nak.”

6. Memberikan kebebasan melalui pilihan dalam mengerjakan tugas yang kurang menyenangkan. Mommies bisa coba dengan mengajak anak menentukan jadwal belajar sendiri atau menentukan target pribadi.

Berikan juga kebebasan anak untuk memilih kegiatan lain yang ia sukai sebagai kompensasi dari ‘keterikatan’ dia terhadap kegiatan yang kurang disukai. Sebagai contoh, ketika anak sudah berusaha belajar matematika yang kurang disukainya, maka ketika dia ingin belajar skateboard, mengoleksi album kpop atau salah satu kegiatan lainnya yang dia sukai maka persilahkanlah.

Namun ingatkan anak bahwa kebebasan yang diberikan kepadanya merupakan kebebasan bertanggung jawab, yang berarti anak harus menyadari kewajiban dan konsekuensi dari pilihannya itu.

Jika Kondisi Demotivasi Belajar Anak Tidak Dicari Jalan Keluarnya…

Maka perkembangan potensi anak bisa menjadi kurang optimal. Potensi yang dimiliki anak tidak akan muncul secara optimal ketika proses belajarnya juga tidak optimal. Efeknya, anak jadi tidak mengetahui potensi yang ada dalam dirinya dan berujung pada kebingungan, terlebih saat menentukan jurusan kuliah atau kariernya saat dewasa.

Selain itu, jika anak mendapatkan hasil yang kurang optimal atau prestasi yang buruk akibat dari demotivasi belajar yang dialami, maka hal itu bisa memengaruhi konsep dirinya. Anak bisa merasa dirinya ‘kurang’, tidak hanya dalam aspek akademis tapi juga dalam aspek lainnya. Akibatnya dia menjadi kurang percaya diri dalam melakukan sesuatu atau merasa tidak mungkin bisa menguasai hal tertentu.

Ketika kondisi tersebut sudah memengaruhi aspek kehidupan anak yang lain secara negatif, termasuk aspek akademis, seperti adanya perubahan emosi yang signifikan dan terus menerus saat membicarakan tentang sekolah, anak tidak mau sekolah, anak mogok mengerjakan tugas, anak berbohong mengenai kegiatan belajarnya, ada masalah relasi antara anak dengan pihak lain, sampai ada perubahan perilaku yang signifikan yang berdampak negatif pada diri anak dan orang lain, maka itu adalah waktu yang tepat untuk mengajak anak berkonsultasi dengan psikolog.

BACA JUGA: 4 Kesalahan Orang tua Saat Komunikasi dengan Anak Remaja yang Bikin Anak Malas Terbuka

Cover: Freepik

Share Article

author

Katharina Menge

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan