Sorry, we couldn't find any article matching ''
4 Kesalahan Orang tua Saat Komunikasi dengan Anak Remaja yang Bikin Anak Malas Terbuka
Komunikasi dengan anak remaja itu butuh trick agar bisa membuat mereka tetap terbuka dan dekat dengan kita. Bagi saya, salah satunya adalah mengingat pengalaman saya sebagai seorang remaja dulu.
Kedua anak saya saat ini berusia 14 dan 16 tahun. Bersyukur banget di usia mereka yang sudah remaja, yang konon kabarnya usia remaja adalah usia di mana mereka enggan terbuka dan berkomunikasi dengan orang tuanya, yang konon kabarnya mereka memilih untuk lebih dekat dengan teman dibanding orang tuanya, itu tidak saya alami. Butuh waktu bertahun-tahun hingga hubungan saya dengan kedua anak laki-laki saya berada di tahap ini. Tahap yang kami merasa nyaman untuk bicara jujur satu sama lain. Ada trial dan error, ada salah yang sudah pasti saya lakukan. Tak selalu berjalan mulus, namun semua usaha itu worth it untuk saya lakukan.
Baca juga: 5 Hal yang dibutuhkan Orang tua dari Anak Remaja
Berdasarkan pengalaman saya sebagai ibu dari dua anak laki-laki usia remaja, ini kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan orang tua saat komunikasi dengan anak remaja
1. Lupa sama apa yang kita rasakan dulu ketika kita remaja
Untuk menjadi orang tua seperti sekarang, kita pasti pernah melewati masa remaja dong ya? Masa remaja di mana kita merasa paling tahu, paling benar, paling keren dan tidak pernah setuju dengan aturan orang tua. Kita pernah tahu seperti apa rasanya menjadi remaja. Kita paham banget apa yang kita suka dan tidak suka dulu dari orang tua kita. Kita mengerti apa yang membuat kita nyaman dan tidak nyaman dari perilaku orang tua kita dulu. Kita tahu apa yang sesungguhnya kita butuhkan sebagai anak remaja dari kedua orang tua kita dulu. Lantas, sekarang, begitu kita menjadi orang tua, kenapa kita jadi lupa? Kita merasa paling benar, kita merasa paling paham, kita merasa paling tahu apa yang terbaik untuk anak remaja kita?
Dan tanpa kita sadar, kita melakukan apa yang dulu pernah dilakukan orang tua kita dan membuat kita merasa tidak nyaman, membuat kita merasa tertekan dan membuat kita membenci orang tua kita.
2. Fokus pada bicara dibanding mendengar, fokus pada kritik dibanding menerima terlebih dulu
Ketika anak remaja kita memutuskan untuk bercerita tentang sesuatu, apakah itu hal yang membanggakan atau membuat kita marah. Entah itu hal yang benar atau salah. Entah itu hal yang sesuai dengan value kita atau tidak, jiwa orang tua kita membuat kita ingin segera memberikan nasihat, memberi masukan, saran, kritik hingga memarahi anak. Padahal, saat itu bisa jadi anak hanya ingin didengar terlebih dulu. Dengarkan saja, tanpa harus disela, dipotong, dimarahi. Dengarkan dulu, tahan mulut untuk bicara apalagi jika ingin bicara kata-kata yang menyakitkan.
3. Tidak memilih waktu yang tepat untuk bicara
Langsung merepet panjang lebar tanpa melihat seperti apa kondisi si anak. Apakah sedang tenang, apakah sedang lelah, apakah sedang tertekan. Dan ini berlaku dua arah lho. Tak hanya kita yang butuh melihat situasi dan kondisi anak ketika mengajak mereka bicara. Kita juga perlu tahu kondisi hati serta emosi kita seperti apa saat ingin berkomunikasi dengan si anak remaja. Jika diri kita sendiri juga sedang kelelahan dan butuh isTitirahat sejenak, selama topik yang ingin dibicarakan tidak terlalu urgent, berikan waktu untuk diri kita beristirahat sejenak. Agar kita bisa merespon dengan bijak apa yang anak ceritakan.
4. Tidak tahu kapan waktu untuk berhenti
Saya belajar untuk paham kapan waktu untuk mundur dari “pertengkaran” agar tidak menyesal di kemudian hari. Ketika obrolan kami berubah menjadi pembicaraan penuh emosi dan amarah, saya memilih untuk mundur sejenak. Saya akan bilang ke anak-anak saya: Mama sudah emosi dan marah banget, kita berhenti dulu, kita lanjutkan nanti ketika emosi kita sudah sama-sama enak. Kenapa? Agar kita terhindar dari mengeluarkan kalimat-kalimat yang hanya akan membuat kita menyesal di kemudian hari.
Share Article
COMMENTS