banner-detik
SEX & RELATIONSHIP

Apa yang Salah dengan Poliandri?

author

Ficky Yusrini25 May 2022

Apa yang Salah dengan Poliandri?

Wacana poliandri ini adalah sebuah jalan untuk menantang cara pandang pria yang menempatkan dirinya punya kekuasaan lebih.  Mari kita bedah secara fair dan open mind.

Membicarakan poliandri selalu menghadirkan kontroversi. Belum lama, viral video sebuah kampung di Cianjur mengusir warganya, seorang perempuan, karena punya dua suami. Si perempuan berinisial NN ini, menurut yang diberitakan, melakukan aksinya secara sembunyi-sembunyi sehingga baik suami pertama maupun kedua tidak mengetahui bahwa NN sudah berkeluarga. Aksinya ketahuan setelah dibuntuti oleh keluarga.

Tabunya membicarakan poliandri tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tapi di mana-mana. Bahkan, hingga saat ini, tidak ada satu pun negara yang secara hukum membolehkan praktik poliandri legal. Baru-baru ini, Afrika Selatan mengeluarkan proposal perubahan hukum perkawinan yang salah satu klausulnya membolehkan perempuan melakukan poliandri. Tak pelak lagi, perdebatan pun mengemuka. Proposal ini menuai kecaman dari banyak pihak, meskipun jelas-jelas, poligami dibolehkan secara hukum, tapi tidak untuk poliandri. “Saya bisa terima kalau Liga ANC Perempuan menginginkan keterwakilan perempuan di parlemen sampai 50%, ingin perempuan jadi presiden, tapi saya rasa sudah terlalu jauh kalau menginginkan perempuan Afrika bisa punya suami lebih dari satu,” ujar Ganief Hendrick, ketua partai Al Jamaah, seperti yang dikutip dari Times Live.

Kenapa Poliandri

Memangnya ada gitu yang berani poliandri di negara ini? Ya pasti ada. Hanya saja, tidak ada yang berani terbuka. Sebelum kita menghakimi pelaku poliandri, tentu harus dilihat dulu kasus per kasus. Situasi orang berbeda-beda. Tidak semua sesederhana yang kita pikirkan. Sekarang, jawab dulu pertanyaan ini, kenapa sih seseorang melakukan poliandri? Poliandri, sama halnya dengan poligami, jika dilakukan dengan kengawuran, menuruti hasrat egoistik semata, menjadi sebuah bencana. Tidak hanya bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, yang menjadi korban dan bakal tersakiti, tapi juga bagi si pelaku, karena cepat atau lambat ia akan menuai karma buruknya.

Namun kita tidak bisa pungkiri, ada kasus poliandri di mana orang terjebak dalam situasi tersebut, meski itu di luar keinginannya. Itu dialami beberapa orang yang saya kenal. Contoh, si A suaminya selingkuh dan KDRT. Perkawinannya tidak bahagia dan ia sudah meminta cerai dari suami, namun tidak dikabulkan. A kemudian bertemu pria lain, yang mengetahui masalah rumah tangga A. Mereka sama-sama cinta dan memutuskan untuk menikah secara siri. A dilematis, statusnya masih sebagai istri, tapi ia juga tidak mau kehilangan suami kedua, yang membuatnya pulih dari derita dan trauma relationship. Di sisi lain, ia juga tidak ingin terjebak dalam situasi complicated dengan status siri. Saat ia mencoba kembali ke suami pertama, suami kedua tidak mau melepaskannya.

Kasus lain, dalam pernikahan agama tertentu di mana perceraian tidak dibolehkan, sementara pihak perempuan sudah punya pasangan lain dan ingin mengesahkan hubungan mereka. Solusinya adalah melakukan pembatalan perkawinan. Namun, untuk itu perlu proses yang panjang dan tidak sebentar. Dalam situasi itu, tidak menutup kemungkinan ada pihak yang mencari jalan praktis, misalnya, menikah lagi mengikuti aturan agama lain. Artinya, poliandri bisa terjadi dalam situasi yang dianggap sebagai solusi sementara, bukan kondisi yang permanen.

Memangnya ada poliandri yang dibolehkan? Dalam semesta ini ada banyak kemungkinan. Dalam cerita Mahabharata, Drupadi menikah dengan lima pria, karena ketentuan semestanya mengharuskan seperti itu.

Happy atau depresi?

Dalam kasus poliandri sebagai sebuah gaya hidup bebas yang asal menuruti hasrat ego, mungkin tampak dari luar pelakunya bersenang-senang. Tapi, apa iya, kesenangan itu akan bertahan selamanya? Tanpa ‘dihukum’ oleh sosial pun sebetulnya si pelaku sedang menggali lubang kejatuhannya sendiri. Sedangkan, dalam situasi yang complicated, ya, namanya juga complicated, pastilah hidupnya tidak tenang. Ibaratnya, mereka yang hidupnya di track yang normal-normal saja, setiap saat pasti menghadapi tantangan dalam rumah tangganya, apalagi yang complicated, yang jelas ‘tidak normal’.

Tambahan, dalam relasi yang masih patriarki, di mana perempuan seringkali menjadi pihak yang menanggung beban ganda dan pengurus keluarga, mengurus suami satu saja sudah susah, apalagi banyak?

Menantang kuasa

Studi kasus Afrika Selatan, mencuatnya proposal hukum yang membolehkan poliandri adalah sebuah tes budaya, yang mengajak untuk mempertanyakan kembali keadilan. Kalau poligami boleh, apa alasannya melarang poliandri? Pada praktiknya, poligami terjadi bukan karena didasari cinta atau alasan kebutuhan seks, tapi lebih ke soal kekuasaan. Wacana poliandri ini adalah sebuah jalan untuk menantang cara pandang pria yang menempatkan dirinya punya kekuasaan lebih.

Share Article

author

Ficky Yusrini

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan