Siapa yang suka menghindari konflik dengan pasangan? Jangan salah, konflik dalam pernikahan itu bisa bikin hubungan makin sehat, lho!
Adalah mustahil jika rumah tangga nggak pernah disapa dengan yang namanya konflik. Sekali waktu, pastilah konflik pernah terjadi. Dari yang remeh, sampai yang serius. Sayangnya, ada beberapa pasangan yang memilih untuk menghindari konflik karena membuat nggak nyaman, atau nggak mau ribut-ribut. Sekilas hubungan tampak adem ayem. Padahal, yang tampak adem di luar tak menjamin hubungan pernikahannya sehat. Sebaliknya, pernikahan yang diwarnai dengan konflik, bukan berarti hubungannya berantakan.
Nggak selamanya konflik itu jelek. Malahan, konflik terkadang punya peran untuk memperbaiki, memperkuat dan mempererat hubungan dengan pasangan. Ujungnya, hubungan pernikahan pun jadi lebih sehat. Menurut Psychology Today, konflik adalah bukti bahwa kita dan pasangan punya hubungan yang saling bergantung (interdependent) dan saling membutuhkan, serta bukti bahwa ada tujuan yang hendak dicapai bersama melalui konflik tersebut.
Baca juga: Infografik: 30 Checklist Pernikahan Sehat
Jika mommies dan pasangan menemukan konflik-konflik seputar hal ini di tengah kehidupan pernikahan, tak perlu risau. Sebab, konflik-konflik berikut masih tergolong sehat.
Konflik tentang anak
Dari mulai berdebat mau menerapkan gaya pengasuhan apa, hingga mau menyekolahkan anak di mana, nggak jarang kita konflik dengan pasangan. Wajar sih, ada dua kepala, dua pemikiran, dan dibesarkan dengan cara berbeda, kini harus berkonsolidasi untuk menentukan pola pengasuhan yang lebih baik untuk anak. Tentu saja prosesnya tak selalu mudah. Belum lagi urusan sekolah, si ayah mau di sekolah A, si ibu mau di sekolah B. Masing-masing orang tua punya pertimbangan sendiri.
Jadi, bila proses pengambilan keputusan untuk hal-hal yang menyangkut anak diwaranai dengan adu argumen, itu normal. Di balik rumitnya konflik, sebetulnya ini menandakan bahwa kedua orang tua sama-sama peduli dan mau turut andil dalam segala urusan anak. Namun ingat, jangan sampai mempertahankan ego sendiri dalam menghadapi konflik. Ingatlah selalu tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk kepentingan dan kebaikan bersama.
Konflik pembagian tugas dan peran dalam rumah tangga
Baik suami maupun istri, sewaktu-waktu bisa saja lalai dalam menjalankan peran dalam rumah tangga. Entah itu karena sibuk atau lelah fisik maupun mental. Lalu, terjadi konflik. Selama konflik bertujuan untuk mengingatkan pasangan untuk kembali lagi ke tugas dan dan tanggung jawabnya dalam keluarga, sah-sah aja. Sebab, ketika pasangan absen dari keluarga, itu bisa membuat pasangan lainnya kesal atau jadi kelelahan, lho. Nah, konflik di sini juga bermanfaat untuk mengungkapkan isi hati kita dan pasangan, dan mencari akar permasalahan serta solusinya. Dengan begini, saling pengertian bisa kembali dibangun, dan hubungan jadi lebih baik. Bayangkan kalau konflik dihindari; masalah bisa menumpuk dan jadi kompleks, akibatnya stres dan konflik yang timbul di kemudian hari bisa lebih berat dan merusak.
Konflik tentang kebiasaan buruk pasangan
Harapannya setelah menikah, sih, bisa saling topang dengan pasangan lalu jadi the best version of ourselves. Nyatanya, sifat atau kebiasaan buruk kebawa-bawa terus sampai sekarang. Malahan, seringkali mengganggu hubungan pernikahan.
Misalnya, setiap konflik, kita atau pasangan punya kebiasaan kabur, nggak mau bicara. Memilih menyendiri lalu tiba-tiba datang seperti nggak ada apa-apa. Atau, kebiasaan buruk seperti jorok atau sloppy yang jadi menyusahkan pasangan. Kesannya sepele, tapi sebetulnya sikap itu menunjukkan nggak menghargai pasangan yang sudah letih bebenah. Tidak mau andil menjaga kenyamanan rumah, dan bahkan nggak menjadi contoh bagi anak-anak untuk punya sikap rapi, rajin dan teliti.
Jadi, wajar bila konflik muncul. Biasanya konflik seperti ini terjadi berulang, karena nggak mudah mengubah kebiasaan buruk baik bagi diri sendiri maupun bagi pasangan. Diperlukan sikap legowo menerima teguran agar konflik bisa membuahkan hasil pada perubahan yang lebih baik.
Menurut Walter Mischel dan rekan (2006) dalam publikasinya tentang Self-regulation in the service of conflict resolution., saat menghadapi konflik, seringkali kita diliputi emosi panas, tidak rasional, reaktif, dan cepat merespons. Ada baiknya mundur sejenak. Nanti, saat kita tenang, kita bisa kembali bersikap rasional dalam mengambil keputusan.
Konflik bisa menjadi situasi yang bagus untuk melatih kita tetap berpikir rasional saat dilanda prahara. Ketika kita berhasil mengatasi masalah dengan kepala dingin, maka di situlah kita mendapatkan hasil konflik yang sehat dalam pernikahan. So, jangan takut konflik, ya, buibu.
Baca juga: Katakan 10 Kalimat Ini Jika Ingin Cepat Merusak Hubungan dengan Pasangan
Image: Freepik