Sorry, we couldn't find any article matching ''
Belajar dari Pernikahan Alvin Faiz, Untuk Kalian yang Ingin Nikah Muda
Usia dan lamanya hubungan memang tidak menjamin langgengnya pernikahan. Namun, masa muda tak bisa diulang lagi, sebelum menyesal pertimbangkan dulu beberapa hal ini.
Pertengahan agustus lalu, muncul kontroversi atas pernikahan Alvin Faiz (22) dengan Henny Rahman (26), mantan istri Zikri Daulay, yang tak lain sahabat Alvin. Berselang dua bulan, Alvin baru resmi bercerai dari Larissa Chou (25). Saat menikah dengan Larissa, Alvin baru berusia 17 tahun. Terlepas dari penyebab perceraian dan gosip-gosip di seputar pernikahan keduanya, saya hanya tertarik menyoroti tentang sisi negatif yang perlu diwaspadai dari pernikahan di usia muda.
Baca juga: Tantangan Punya Suami yang Usianya Lebih Muda
Jatuh cinta lalu menikah adalah keputusan individu (dewasa) yang harus dihormati. Banyak memang orang dewasa menikah di usia matang, sudah pacaran lama pun, ujung-ujungnya tetap bercerai. Akan tetapi, sebelum buru-buru mengambil keputusan, ada baiknya dipikirkan lagi beberapa hal berikut ini sebelum memutuskan menikah muda seperti pernikahan Alvin Faiz
Di usia muda, otak neokorteks belum matang
Sepintar apa pun intelektual seseorang, tapi belum tentu dia punya kemampuan dalam mengambil keputusan. Menurut sains, otak neokorteks atau prefrontal korteks yang bertanggung jawab pada fungsi penilaian, perencanaan, dan pengambilan keputusan, masih dalam tahap terus berkembang sampai berusia 25 tahun. Faktanya, penelitian mengungkap bahwa otak orang dewasa dan remaja bekerja secara berbeda. Orang dewasa berpikir dengan korteks prefrontal, bagian rasional otak, bagian otak yang merespons situasi dengan penilaian yang baik dan kesadaran akan konsekuensi jangka panjang. Sedangkan remaja, memproses informasi dengan amigdala, bagian otak yang dipengaruhi oleh emosi.
Baca juga: Pesan Mama: Nak, Jangan Menikah Terlalu Cepat, Ya!
Tanggung jawab terlalu besar
Di usia 17-an, sampai awal 20-an, seringkali seseorang merasa sudah dewasa, bisa mandiri, mengatur hidupnya sendiri. Hidup mandiri sih harus bisa. Akan tetapi, pernikahan adalah hal yang lain. Ada tanggung jawab besar dan konsekuensi jangka panjang yang perlu dipikirkan karena akan mengubah seluruh aspek kehidupan. Sebutlah, pengambilan keputusan finansial, rumah, utang bank, cicilan, tagihan, karier, belum lagi jika ada kehadiran anak-anak. Ada tanggung jawab membesarkan anak, yang tidak bisa didelegasikan. Cinta (dan harta) saja tidak cukup. Dibutuhkan kematangan emosi dari kedua pihak. Jangan dibayangkan senang-senangnya saja, sebagaimana yang dicitrakan di media sosial para influencer pasangan muda yang hidupnya bahagia, penuh cinta, foya-foya.
Baca juga: Ingin Menikah? Jangan Karena 5 Alasan Ini
Menemukan diri
Usia muda adalah masanya untuk menemukan jati diri, setelah lepas dari pengasuhan ketat orang tua. Selama jati diri belum terbentuk, masih mudah labil dan gampang terpengaruh. Jika sebelumnya hidup di bawah atap dan aturan orang tua, mengikuti selera dan setiap omongan ortu, saat keluar rumah, kamu akan menemukan banyak kebebasan dan pengalaman baru, bagaimana rasanya lepas dari bayang-bayang orang tua. Jika buru-buru menikah, hidup bersama pasangan, akan ada banyak kebebasan yang hilang. Identitasmu akan dikaitkan dengan identitas pasangan, begitu juga selera, kebebasan berpikir, cita-cita dan tujuan hidup.
Seperti di film Marriage Story (2019) yang dibintangi Adam Driver dan Scarlett Johansson, karakter yang dibintangi Scarlett merasa telah banyak mengorbankan karier demi suami hingga ia lupa pada cita-citanya, dan setelah perselingkuhan suami, ia seperti tersadar untuk kembali mengejar cita-citanya. Elizabeth Gilbert menulis dalam bukunya berjudul Committed, “Saat masih muda, kamu tidak tahu siapa dirimu atau ingin menjadi apa. Mudah untuk membuat pilihan yang salah.”
Mudahnya kawin cerai
Mayoritas masyarakat kita memandang pernikahan sebagai solusi untuk semua masalah. Daripada zina, bikin fitnah, jadi bahan omongan, mahal di ongkos, mending nikah saja beres. Seharusnya, pernikahan dipandang sebagai awal dari perjalanan yang panjang dan kompleks. Seperti yang diungkapkan Susanna Abse, psikoterapis Tavistock Center for Couple Relationships, sejak awal individu seharusnya punya komitmen bahwa penyatuan mereka adalah untuk jangka pajang.
“Dapatkah pernikahan menolerir proses kekecewaan, menghadapi berbagai kesulitan yang umum dihadapi oleh sebuah hubungan yang akan berumur panjang?”
Memang benar, budaya saat ini sudah cukup permisif dengan perceraian, semudah putus sambung orang pacaran. Saran saya, wawancarai dulu beberapa kenalan atau kerabat yang pernah mengalami proses perceraian. Tanyakan dari sudut pandang legalitas dan psikologis, bagaimana perasaannya menjalani proses itu semua. Dalam hubungan yang toksik, bisa bercerai adalah sebuah jalan keberuntungan. Tidak sedikit yang terjebak di dalam tanpa bisa keluar. Kenyataan tidak pernah semudah ucapan di bibir.
Tempatnya berbuat salah
Tidak ada tuh, namanya pasangan sempurna. Sebab, pernikahan adalah penyatuan dua manusia yang tidak sempurna. Sering kita yang melakukan kesalahan, bisa jadi pasangan yang khilaf, terpeleset perselingkuhan atau pengkhianatan, salah mengambil keputusan dalam keuangan atau karier, dan bentuk-bentuk kesalahan lainnya, baik ringan maupun berat. Apalagi pasangan muda, masih kuat jiwa nakal dan berontaknya.
Lagipula, pernikahan yang awet bukanlah yang kedua pihak sama-sama steril dari kesalahan, tetapi bagaimana kita merespons kesalahan tersebut, belajar dari kesalahan, kemauan memperbaiki diri, dan kemauan untuk memperbarui komitmen sepanjang waktu.
Tidak baperan
Salah satu wujud kematangan emosi untuk menunjukkan apakah kamu sudah siap hidup bersama dengan pasangan adalah terlihat dari cara berkomunikasi. Cara komunikasi selama pacarana tentunya berbeda dengan pasangan suami istri. Saat pacaran, semua terlihat indah. Kekasih tidak pernah sedikit pun mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan. Tapi itu semua tidak akan terjadi dalam pernikahan.
Cara berkomunikasi yang menunjukkan kematangan adalah jika kamu dan pasangan bisa mengungkapkan pendapat tanpa menghakimi dan rasional, tidak menyalahkan, menyudutkan, atau menghukum pasangan. Berani mengemukakan kritik dengan rasional, tanpa drama dan kebaperan. Kalau dikriitk masih baper dan tantrum…ya, repot!
Image pernikahan alvin faiz dari sini
Share Article
COMMENTS