Ditulis oleh: Gusyanita Carvianthy
Buat keluarga Jawa seperti saya, Bobot, bibit, bebet bukanlah hanya sebuah wacana. Melainkan memang sudah seharusnya dipraktikkan dalam memilih pasangan.
Bobot, bibit, bebet adalah tiga hal atau kriteria yang umum diperhatikan ketika mencari jodoh atau pasangan. Semacam alat kalibrasi bagi orang Jawa untuk menentukan calon menantu yang baik bagi anaknya. Dalam The Centhini Story: The Javanese Journey Of Life, buku yang diterbitkan oleh Marshall Cavendish, Singapura,Tahun 2006 dan digarap oleh Pakar Sastra Jawa Doktor Soewito Santoso berdasarkah naskah “Serat Centhini” disebutkan bahwa:
Bobot artinya kualitas diri, baik secara lahir maupun batin. Termasuk keimanan, pendidikan, pekerjaan, kecakapan dan perilaku si calon yang bersangkutan. Inilah hal-hal yang perlu ditanyakan orang tua, sebelum menyerahkan anak.
Bibit adalah asal-usul atau garis keturunan. Bukan berarti bahwa seorang calon menantu harus berdarah biru. Tetapi bermakna bahwa orang tersebut harus jelas latar belakangnya. Dari mana ia berasal, dengan cara apa dan oleh siapa ia dididik. Karena meski bagaimanapun, watak atau karakter adalah sesuatu yang berpotensi diturunkan dalam keluarga. Sehingga watak seorang calon menantu dapat dilihat secara kurang lebih dari watak orang tua yang membesarkannya.
Bebet memiliki asal kata bebedan, atau cara berpakaian. Setiap orang wajar dinilai berdasarkan caranya berbusana. Karena cara seseorang menampilkan dirinya merupakan penggambaran dari apa yang ada dalam sejatinya orang tersebut. Terlebih, zaman dulu cara berpakaian menunjukkan status sosial seseorang. Harkatnya, martabatnya. Kriteria ini sengaja diletakkan terakhir, pada posisi ketiga, karena bukan dianggap hal yang paling penting. Istilahnya, ‘Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman’. Artinya, ‘Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi."
Lalu, apakah masih kompeten hal tersebut buat anak-anak zaman now? Buat saya yang memiliki anak gadis, sedari dini saya suka ingatkan kriteria memilih pasangan. Bukan memaksakan kehendak orangtua...sansss bukan kok. Tapi lebih ke reminder and alarm. Jadi untuk saya pribadi, ini masih jadi hal penting.
Anak gadis sekarang tergila-gila sama cowok-cowok manis berponi dengan bibir pake lip butter ala-ala Kpop. Biarpun mama sedikit keselek liatnya..tapi masih harus tenang. Jangan diserang. Ajak diskusi. Beri gambaran dan analisa balik lagi, lihat keluarganya, bagaimana orangnya, bagaimana sikapnya memaknai hidup. Cocok nggak? Beneran cocok nggak? Jangan dipaksain cocok!
Menentukan pilihan berdasarkan bibit, bebet, bobot seseorang memang bukan perkara yang mudah. Jika seseorang anak sudah “mabuk cinta” terhadap pasangannya, biasanya ukuran-ukuran tersebut bisa lenyap begitu saja. Maka tak heran jika karena pertimbangan-pertimbangan tersebut banyak sekali terjadi konflik antara anak dan orang tua karena berbeda pandangan terhadap sebuah pernikahan.
Tapi berkaca kepada apa yang sudah terjadi pada kehidupan saya, again...3B ini musti deh di-remind berulang-ulang ke anak-anak. Jangan sampai kebablasan, dipikirin baik-baik, jangan sampai jadi boomerang di kemudian hari dan akhirnya timbul penyesalan.
Nah, mau dijalankan atau tidak, mau setuju atau tidak, mau percaya atau tidak, itu terserah mommies masing-masing. Again, don't judge a book by its cover, memang. Tapi buat kita orang tua, sedari awal yuk...tanamkan ke anak-anak konsep 3B ini, biarkan mereka meresapi dan memilih, apa yang menjadi tujuan hidupnya.
BACA JUGA: PESAN UNTUK ANAK IBU, NIKMATI MASA MUDAMU!
Photo by Angga Indratama on Unsplash