Mindset Wajib dalam Pernikahan: Sebagai Suami Istri, Kita Adalah Satu Tim!

Sex & Relationship

RachelKaloh・13 Nov 2019

detail-thumb

Karena menikah bukan lagi soal menang dan kalah saat berargumen, tapi seberapa jauh kita mau berusaha untuk memenangkan pernikahan kita.

Dear Suami, Tolong Lakukan 5 Hal Ini, Saat Istri Anda Keguguran - Mommies Daily

You and I haven't always agreed, but I know that we're fighting for the same thing.”

Hampir dapat dipastikan, ketika sebuah pertengkaran terjadi dalam pernikahan, pemicunya adalah mindset masing-masing. Yang satu ingin dimengerti, sementara yang lain merasa sudah lelah mengerti dan ingin gantian dimengerti.

Kita lalu lupa kalau menikah itu artinya kita dan pasangan menjadi satu tim, di mana dalam sebuah permainan, apabila berada dalam satu tim, artinya semua anggota harus berusaha menjaga kekompakan demi kemenangan tim. Kalau kita yang menang sendirian, tim kita justru bisa terancam kalah.

“I am right, I need to win this argument” vs “We need to understand each other better”

Yang hobinya nyerocos demi pasangan akhirnya mengangguk-angguk karena merasa memang kita yang benar, dia yang salah, mana suaranya? Rasa puas memenangkan argumen mungkin bisa membuat kita lega, tapi apakah itu cara yang tepat untuk dilakukan? Apakah artinya kita mengerti perasaan pasangan, bila yang kita inginkan hanyalah selalu jadi yang menang?

(Baca juga: Coba 9 Hal Ini Agar Bisa Bertengkar Sehat dengan Suami)

“Dia harusnya bisa ngurusin anak seperti yang saya lakukan” vs “Masing-masing punya cara dalam mengurus anak, yang penting kita sama-sama melakukan yang terbaik”

Sebetulnya, nih, bukan soal gimana cara yang tepat memandikan anak yang perlu diributin. Kalau memang ayah punya cara andalan, ya biarkan ia melakukannya, toh tujuannya sama, supaya anak bersih lagi. Justru, bagaimana kita berpegang pada pemahaman yang sama saat kita mengurus anak, itulah yang penting.

Contohnya begini, misalnya ketika mertua atau pihak keluarga lain ada yang tidak setuju dengan cara kita mengasuh anak, wajar kalau hal ini kemudian jadi bahan keributan antara suami dan istri. Namun, sebagai tim, usahakan agar kita tetap berpegang teguh dengan pemahaman yang sudah kita dan pasangan sepakati bersama. Sehingga output-nya nanti sama. Kita pun bisa membela suami di depan orangtua kita sendiri, begitu pula SEBALIKNYA.

“Saya nggak akan pulang ke rumah, sebelum dia minta maaf” vs “Nggak peduli siapa yang salah, yang penting kita berusaha untuk tetap sama-sama”

Masing-masing orang memang memiliki batas kesabaran yang berbeda-beda. Namun, sebagai suami dan istri, soal siapa yang salah dan siapa yang seharusnya minta maaf bukan lagi yang utama. Gengsi cukup dipakai saat pacaran saja, begitu sudah memegang janji pernikahan, yang perlu dijaga dan dipertahankan adalah the marriage itself.

Meskipun merasa jadi yang paling benar, mengakui kesalahan duluan dan membuka obrolan dengan pasangan bukan artinya menjatuhkan harga diri, justru di situlah kita membuktikan betapa kita mau berjuang dan mengutamakan pernikahan kita.

“Uangmu uangku, uangku uangku” vs “Uangku bisa digunakan kalau memang uang darimu saja tidak cukup”

Biasanya, yang sering menyebut kalimat ini adalah kita, para mommies. Walaupun suami berperan sebagai pencari nafkah yang utama dan istri hanya “membantu” agar keuangan keluarga nggak cekak-cekak banget, namun pada kenyataannya, seringkali kita malah menggunakan uang kita buat “jajan” semaunya, alias belanja skincare, sepatu dan tas inceran.

Nggak masalah, sih, tapi jangan lupa sama tujuan awal kita, siapkah kita kalau tiba-tiba harus membantu suami saat ada pengeluaran yang memang tidak bisa ter-cover oleh gajinya sendiri? Next time, mending jajan reksa dana!

(Baca Juga: Tips Sukses Atur Keuangan Bareng Pasangan)

Sulit memang untuk selalu ingat akan posisi kita di dalam tim ini, terutama bila pertengkaran sudah keburu datang. Yang jelas, kalau kita masih sering berpikir, “Kurang sabar apa aku ini?” Tandanya, ya, memang belum cukup, sabarnya.

Karena ketika kita sadar bahwa kita adalah bagian dari tim, kita akan selalu mengutamakan pernikahan, tidak lagi mengukur kesabaran diri sendiri. Kembali ingatlah bahwa ketika menikah, kitalah yang perlu berusaha untuk memahami, bukan meminta untuk dipahami.