Ketika seorang perempuan yang sudah menikah memutuskan untuk tidak memiliki anak, pasti mereka punya alasan tersendiri yang harusnya bisa kita hargai.
Bicara tentang perempuan yang nggak mau punya anak nggak usah jauh-jauh nyari contoh nyatanya :D. Keluarga besar saya dari pihak mama sebagian besar penganut paham nggak mau punya anak. Saya bersaudara kandung dan bersepupu itu total ada sembilan orang lho, dan yang mau punya anak HANYA TIGA orang, ahahahaha. Sisanya? Baik yang cowok atau pun yang cewek sepakat nggak mau punya anak. Ndilalahnya lagi, mereka ketemu sama pasangan yang sama-sama malas punya anak. Semacam jodoh. Klop.
Alasannya? Macam-macam. Ada yang sesederhana karena mereka merasa nggak terlalu suka sama anak kecil. Lainnya merasa, dunia udah terlalu penuh dengan manusia, jadi buat apa menambahkan kepadatan penduduk bumi? Ada lagi yang merasa, memang jiwanya bukan jiwa seorang ibu atau ayah.
Apakah kemudian mereka nggak sayang kepada para keponakannya? Nope. Sayang sih sudah pasti. Malah kadang mereka terlihat lebih sabar dibanding saya mamanya. Iyalah lebih sabar, wong ketemunya hanya beberapa jam atau beberapa hari, hahaha.
Sebagai adik atau sepupu dari mereka, saya jadi paham, seperti apa tantangan yang kerap mereka hadapi ketika memutuskan untuk tidak memiliki anak. Dan saya juga paham, hal-hal atau kalimat seperti apa yang paling membuat telinga mereka panas dan hati jadi gerah saking kesalnya, hehehe.
Ini dia ……
“Ya elo aja itu mah yang menikah niatnya buat cari keturunan, gue sih nggak.” Ini biasanya jawaban kakak sulung saya. Bagi kakak saya, tujuannya menikah sama sekali nggak ada point untuk hamil, melahirkan dan punya anak. Dia menikah karena dia sudah menemukan pasangan yang tepat untuk dia rela menghabiskan hari-harinya hingga masa tuanya kelak. Mendapat teman untuk dia berbagi cerita dan berbagi egonya. Lagipula, suka-sukalah tujuan menikahnya untuk apa, selama nggak bikin repot orang lain, kan.
Mereka bisa mengurus diri sendiri atau mengurus satu sama lain. Jangan dong punya anak itu dianggap sebagai investasi. Anak yang sudah kita lahirkan, rawat, besarkan, kemudian kita petik buahnya di kemudian hari. Ingat, anak itu nggak memilih untuk dilahirkan, lho! Kita yang membuat mereka lahir di dunia ini.
Duh, kok menyedihkan banget sih hidup kalian, yang menganggap pasangan tanpa anak hidupnya akan terasa membosankan! Kan masih ada keluarga lain, masih banyak teman-teman, masih bisa pelihara binatang dan masih banyak sejuta kegiatan lainnya untuk dilakukan berdua, salah satunya traveling around the world berdua aja. Nggak usah pusing mikirin tiket pesawat mahal karena anggota keluarga banyak, atau mencocokkan jadwal liburan dengan jadwal sekolah si kecil, dst-nya.
Hmmm, buat menyenangkan diri sendiri? Buat menyenangkan orangtua? Buat memberi sumbangan ke orang yang membutuhkan? Buat menyumbang ke tempat penampungan hewan? Tenaaaaaang, penghasilan kami bisa digunakan untuk banyak hal berguna lainnya kok.
Hmmm, memangnya standar menjadi laki-laki atau perempuan seutuhnya itu harus punya anak berdasarkan titah siapa? Terus kalau sudah punya anak tapi menelantarkan anaknya, melakukan tindak kekerasan ke anak, bisa dianggap laki-laki atau perempuan seutuhnya? Jangan nyebelin amat sih kalau kasih komentar.
KIra-kira lima point ini deh yang kerap membuat kakak-kakak atau saudara-saudara saya kesal. Nah, jangan dibiasakan ya.