Ditulis oleh: Febria Silaen
Jadi ibu di era generasi alfa saat ini memang nggak mudah (banget!) ya. Menjadi orangtua di era digital rasanya berat, bahkan Dilan aja nggak akan mampu.
Daaaaaan, salah satu keluhan yang paling sering saya dengar adalah, bagaimana susahnya kita memisahkan anak dari gadget. Kalau dilarang atau diambil gadgetnya, anak akan nangis kencang, bahkan ngambek sampai tantrum (demikian curhat dari banyak orangtua).
Padahal, hari gini, kok kayaknya impossible banget nggak sih menjauhkan anak dari gadget? Lha secara dunia udah digital banget. Jadi, IMHO, nggak bisa juga sih gadgetnya yang dijadikan kambing hitam, ASAAAAAAL ya kita harus pintar aja menggunakannya.
Ibaratnya, masa kita yang manusia dengan akal bisa kalah dengan benda mati yang disebut ‘smart’ phone. Ya jangan mau kalah smart dong, hehehe.
Pun sudah paham, bahwa tetap harus ada aturan main dalam menggunakan gadget, pada kenyataannya, banyak kok orangtua yang kewalahan untuk melarang atau membatasi penggunaan ponsel pintar ini.
Sebelum melarang anak main gadget, coba deh kita cari tahu dulu seperti apa ciri anak yang sudah berlebihan main gadget. Ciri yang mudah dikenali adalah, anak akan merasa marah ketika aktivitas main gadget terusik, menarik diri dari orang lain, sembunyi-sembunyi untuk main gadget.
Nah kalau sudah ada ciri itu, segera deh melakukan aksi. Karena sisi buruk kecanduan gadget bisa mengakibatkan perkembangan emosional anak akan mengalami penurunan. Seperti anak kehilangan rasa empati kerena tidak aware dengan diri sendiri dan asyik menatap layar gadgetnya.
Nggap percaya? Ini paling mudah ditemukan di sehari-hari. Saat kita, memanggil si kecil di rumah. Coba hitung perlu berapa kali panggilan nama yangkita lontarkan untuk mendapatkan respon si kecil.
Jujur, saya yang termasuk ibu super galak dan minim memberikan gadget pada anak saja sudah emosi dengan kebiasaan buruk si kecil di rumah ketika dipanggil tidak segera menjawab.
Duh, minimal jawaban singkat "iya". Nggak berharap dengan anak menjawab dan menghampiri dengan berkata. "Iya,Mama. Ada yang bisa dibantu,?" Ini sepertinya impian di siang bolong dan panas terik. Itu baru satu soal nggak ada empati kalau dipanggil karena asyik main gadget.
Ada pengalaman yang lebih membuat saya dongkol Pernah satu kali, saya teramat emosi dengan keponakan yang diminta tolong mencari jaket yang berada di sekitar ia duduk. Sambil tetap tangan memegang gadget dan mata menatap lurus ke layar, ia menjawab tidak tahu.
Alhasil saya langsung menghampiri dan memberikan gertakan keras. Tanpa ngoceh banyak saya langsung mengambil jaket yang ada disampingnya dan mengatakan. " Jangan jadi robot yang tidak punya empati dan perasaan ya. Jaket depan mata, tuh."
Sungguh kesal dan juga menyesal saya sudah berkata keras pada keponakan yang beranjak remaja itu. Setelah menarik napas panjang, teringat kata Anna Surti, Psi, dampak buruk anak asyik main gadget adalah anak menjadi cuek kepada orang lain. Ironisnya hal ini akan berujung pada tergerusnya kepedulian dan empati anak terhadap lingkungan.
Atau di rumah, kita kelelahan karena sibuk mengurus kebutuhan rumah sampai terjatuh karena terpeleset, anak tetap duduk manis dengan layar gadgetnya. Duh, kok ngeri sih membayangkan. Sebelum itu terjadi, sepertinya kita bisa mencermati pesan Profesor Sains dan Teknologi di Massachusetts Institute of Technology, Sherry Turkle.
"Ketergantungan pada ponsel bisa membunuh rasa empati pada diri manusia. Kecanduan gawai juga merusak budaya, keluarga, dan kesehatan mental.
Jadi sebelum anak hilang empatinya, segera cari cara dan diskusi dengan pasangan serta libatkan anak untuk membicarkan perihal aturan memakai gadget di rumah.
Sebab, kalau hanya melarang anak tapi orangtua dibebaskan tentu bukan hal yang bijak. Bukankan anak peniru ulung? Mereka akan meniru apa yang menjadi kebiasaan orangtua bukan?
Ya, sepertinya kita bisa meniru jejak Steve Jobs, pendiri Apple, produsen iPhone dan iPad ini yang melarang dua anak terkecilnya menjajal iPad. “Kami memang membatasi anak-anak menggunakan gadget di rumah,” Tujuannya untukmelindungi anaknya dari kecanduan gadget.
Nah, coba itu, arena tahu sisi negatif dari ketagihan gadget, Steve Jobs pun berani dan tegas untuk melakukan pembatasan pemakaian gadget di rumah.
Atau kita mau tegas seperti Bill Gates tidak memberikan ponsel pintar atau gadget sebelum usianya 14 tahun.
Kalau saya sih memilih mau belajar untuk bisa seperti Steve Jobs dan Bill Gates. Alasannya karena saya termasuk tipe ibu yang tidak konsisten kalau menerapkan aturan. Dan jujur mengakui kalau saya belum bisa menemani anak saat bermain gadget.
Lalu gantinya apa dong? Ya memang kami harus mau bayar harga supaya pengalihan gadget bisa terganti dan berharap empati anak bisa kembali terasah. Jadi saya dan suami harus lebih sering mengajaknya liburan dan piknik ke berbagai tempat. Dan belajar untuk memberikan waktu untuk berinteraksi dan berkomunikasi.
Susah? Ya, pasti. Tapi kalau tidak dimulai sejak sekarang bisa-bisa apa yang saya ilustrasikan di atas terjadi. Duh amit-amit nggak mau, ya Moms!