Keputusan saya untuk tidak menyembunyikan rencana perceraian pada anak-anak, membuat saya harus siap melakukan 5 hal ini.
Memutuskan bercerai setelah usia pernikahan yang memasuki tahun ke 13 sudah pasti bukan hal mudah. Ada drama yang mencakup teriakan, caci maki, tangisan dan diam berkepanjangan. Namun satu hal yang pasti, saya wajib menyiapkan anak-anak memghadapi kondisi terbaru dari orangtuanya.
Saat ingin menyampaikan berita ini ke anak-anak, jujur saja, saya membutuhkan waktu yang lumayan lama. Maju mundur, minta saran dari beberapa pihak hingga ke psikolog anak serta psikolog keluarga. Pesan dari psikolog hanya satu, jika memang perceraian sudah pasti akan terjadi baru saya boleh bercerita kepada anak-anak.
Jadi, inilah beberapa tahapan yang saya ceritakan kepada anak-anak saya untuk menghindari mereka dari rasa bingung.
1. Pisah kamar
Beberapa bulan sebelum mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, saya dan suami memutuskan untuk pisah kamar. Jelas, anak-anak melihat perubahan ini. Saya pun menjelaskan kepada mereka, bahwa mama dan ayah mereka sedang ada masalah dan butuh waktu untuk mencari jalan keluar. Agar tidak berantem terus menerus, mama dan ayah memutuskan untuk pisah kamar agar bisa berpikir dengan tenang.
2. Ayah dan mama akan berpisah
Saya katakan bahwa setelah berdiskusi dan memikirkan yang terbaik untuk setiap anggota keluarga, mama dan ayah terpaksa untuk berpisah. Ini artinya mama dan ayah tidak akan tinggal bersama-sama lagi. Namun, kami menekankan bahwa kondisi ini tidak membuat rasa sayang dan cinta kami terhadap mereka berkurang (klise memang kedengarannya), tapi percayalah, anak-anak butuh diyakinkan bahwa cinta untuk mereka tidak pernah berkurang.
3. Perubahan apa yang akan terjadi
Dalam kasus keluarga kami, perubahan terbesar yang akan dialami oleh anak-anak adalah: Orangtua mereka tidak akan tinggal sama-sama lagi dan bahwa mereka akan pindah rumah. Yup, mereka akan ikut saya dan saya memutuskan akan keluar dari rumah tempat kami selama ini tinggal. Namun sebelum saya berani mengambil keputusan ini, saya sudah ngobrol terlebih dahulu dengan anak-anak, satu pesan mereka bahwa yang penting mereka tidak pindah sekolah, dan itu yang saya tepati. Sesuai juga dengan pesan dari psikolog anaknya, bahwa jangan biarkan anak-anak mengalami perubahan yang terlalu drastis.
Sudahlah mereka terpaksa menghadapi kenyataan bahwa orangtua mereka akan berpisah, pindah rumah dan pindah sekolah. Jika itu semua terjadi, berat banget beban yang dirasakan oleh anak-anak.
4. Bahwa mereka akan ada sesi ngobrol dengan psikolog
Saya perlu mencari tahu apa yang dirasakan anak-anak tentang orangtua mereka dan keluarga dalam kacamata mereka. Mengejutkan ketika saya mendengar bagaimana pandangan si kakak maupun si adik tentang ayahnya, tentang mamanya, tentang keluarga kami. Ini adalah waktu-waktu terberat bagi saya, karena jawaban-jawaban mereka ternyata ada yang di luar dugaan.
Salah satunya, bahwa si bungsu dengan yakin mengatakan tidak ingin bertemu lagi dengan ayahnya setelah mama dan ayah berpisah. Swear saya tidak pernah mengintervensi hubungan di antara dia dan ayahnya. Dan bahwa si kakak memiliki ketakutan tersendiri terhadap sang ayah.
5. Apa arti dari perceraian itu sendiri
Jangan berharap anak-anak memiliki pemahaman yang sama dengan kita jika itu berkaitan dengan perceraian. Maka, pastikan bahwa mereka memahami konsep yang benar tentang perceraian. Saya mencoba memberikan gambaran melalui sebuah cerita, agar mereka lebih mudah memahaminya.
Setidaknya itu 5 hal yang saya jelaskan kepada anak-anak saya. Meskipun dalam tulisan ini kesannya saya sangat lempeng dan tanpa perasaan, percayalah, kenyataannya, dibutuhkan malam-malam ketika saya nggak bisa memejamkan mata barang sedetik pun. Hari-hari ketika saya sama sekali tidak nafsu untuk makan apapun. Dan berjam-jam perjalanan sendirian di mobil sambil menangis dan berteriak kepada Tuhan, “Kenapa keluarga saya harus seperti ini?”
But, life must goes on bukan? Dan inilah cara saya untuk membuat hidup saya dan anak-anak saya tetap berjalan :).