Saya terkesiap ketika melihat postingan foto seorang teman yang tampak ‘babak belur’ lantaran dirinya menjadi korban KDRT. Saya jadi bertanya-tanya apakah dengan begini saya sudah mejadi saksi KDRT dan apa yang harus saya lakukan? Berikut penjelasan dari Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si.
Apa yang kamu tanya, kamu tahu jawabnya. Apa yang kamu cari ada di depanmu. Lupakan saja dia, maafkan saja dia. Hadapilah hidupmu, terima nasibmu, dia tak cinta kamu
Jangan diharap lagi, jangan diingat lagi. Jangan memaksakan dengan dia lagi. Coba lihat yang lain, ada cinta yang lain. Ada yang diam-diam mencintaimu.
Sejauh kamu berlari hanya satu pilihan. Hadapilah hidupmu, terima nasibmu, dia tak cinta kamu …..
Semalam, sambil baca novel lamat-lamat saya mendengar lagu milik Gloria Jessica yang terputar di playlist saya. Single milik salah satu jebolan The Voice Indonesia ini menggambarkan masalah KDRT yang sampai sekarang masih banyak terjadi. Begitu mendengar momori me-rewind kejadian beberapa minggu yang lalu, di mana saya melihat posting-an foto seorang teman yang wajahnya biru lebam lantaran jadi korban KDRT.
Sampai detik ini saya selalu dibikin geregetan dan berpikir, kenapa sih ada perempuan yang mau jadi korban KDRT? Kenapa cuma diam diri tanpa melakukan perlawanan? Bukankah mereka bisa kabur? Lagian, kalau suami sayang seharusnya melindungi, bukan mukul sampai bonyok. Kenapa juga suaminya nggak dilaporin ke polisi lantas minta cerai?
Baca juga : Bertahan Dalam Rumah Tangga Kdrt
Tapi di sisi lain saya pun bilang, “Eh, Dis… kok, loe jadi sok tahu banget, sih? Loe kan cuma lihat permukaannya aja. Tapi nggak tahu ‘dalamnya’ seperti apa, sama sekali belum tahu dan merasakan bagaimana kalau loe ada di posisi perempuan. Daripada menyalahkan atau nuduh yang macam-macam, bukankah lebih baik loe cari tahu apa yang mesti loe lakukan ketika melihat ada teman yang jadi korban KDRT? Sejauh apa kita boleh terlibat?”
Pertanyaan inilah yang akhirnya saya ajukan pada Mbak Nina Teguh, psikolog anak dan keluarga yang kerap menjadi konselor pernikahan, termasuk menangani kasus KDRT. Kemarin sore, bertempat di salah satu coffee shop, ditemani secangkir kopi Vietnam dan pisang goreng, saya pun banyak bertanya pada Mbak Nina mengenai hal ini.
Apa pendapatnya?
“Sebenarnya, saya lebih senang bilang yang harus benar-benar bergerak dan menangani masalah tesebut adalah mereka sendiri. Orang-orang yang memang mengalaminya sendiri. Misalnya, ada istri yang jadi korban KDRT suaminya, berarti dia yang harus bangkit lebih dulu, harus bergerak. Kalaupun orang lain mau membantu, bukan berarti jadi menyerang suaminya. Memang ada batasan yang perlu diperhatikan,” papar Mbak Nina di awal obrolan kami.
Baca juga : Bagaimana Mencegah Bibit Pelaku KDRT?
Menegur pelaku boleh saja, tapi…
Menegur yang saya maksud di sini adalah menegur suaminya. Bukan apa-apa, saya memang punya teman dekat yang jadi korban KDRT, dan saya pun mengenal baik suaminya. Ketika teman saya ini curhat dan memperlihatkan bukti-bukti wajahnya yang babak belur karena habis ditinju suami, kadang bikin saya gatel untuk menegur suaminya. Meskipun begitu, sampai detik ini saya urung untuk melakukannya. Takut kalau terlalu mencampuri ‘dapur’ rumah tangga orang lain.
Dalam hal ini Mbak Nina bilang, jika memang kita menjadi saksi KDRT, dan kita mengenal baik pelaku, sebenarnya sah-sah saja kalau ingin menegur. “Menegur sebagai sahabat tentu saja boleh, tapi bukan menegur yang menyudutkan suami karena bisa jadi berbalik membuatnya marah dan yang kena sasaran malah teman kita lagi. Jadi memang sebenarnya memang agak riskan.”
Menjadi tong sampah
Ketimbang ikut-ikutan ‘panas’, menyarankan sesuatu yang mungkin sulit untuk dilakukan teman kita, Mbak Nina menyarankan sebagai teman kita pun perlu menjadi tong sampah. “Kadang korban KDRT ini butuh bantuan untuk didengarkan apa yang ia rasakan. Butuh dipahami juga,” ujar Mbak Nina.
Berikan bantuan yang konkrit
Selanjutnya bantuan yang bisa kita lakukan adalah dengan memberikan bantuan konkrit. Mbak Nina memberikan contoh, terkadang korban KDRT ada di dalam posisi yang terjepit di mana dirinya tidak punya uang sama sekali. “Untuk itu kalau memang ada dana lebih bisa saja kita memberikan bantuan”.
Selamatkan bukti-bukti penting
Mbak Nina bercerita, bahwa ada kalanya korban KDRT mendapatkan ancaman kalau surat-surat penting yang dimilikinya akan dibakar oleh suaminya atau si pelaku KDRT. Sebagai teman, kita bisa menawarkan bantuan untuk menyimpan surat-surat penting tersebut. “Ini kan juga bantuan konkrit yang bisa kita lakukan sebagai seorang sahabat.”
Carikan bantuan profesional
Langkah berikutnya yang bisa dilakukan adalah mencarikan bala bantuan profesional. Misalnya, dengan langkah meminta teman kita sebagai korban KDRT untuk melakukan visum, dengan datang ke rumah sakit atau kantor polisi. Toh, sebenarnya KDRT ini salah satu bentuk tindak pidana kekerasan yang diatur Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Artinya memang sudah ada perlindungan yang jelas.
Baca juga : Saat Karyawan Mengalami KDRT Apa yang Bisa Dilakukan Perusahaan?
Ingatkan jangan berada dalam posisi ruang yang tertutup
Jika memang ada teman kita yang rentan jadi korban KDRT, ingatkan agar tidak memilih atau ngumpet di ruangan tertutup seperti kamar mandi. Yang dibutuhkan justru ruangan terbuka agar ia bebas bergerak dan keluar jika memang kondisi sangat mendesak dan butuh bantuan orang lain.
Membiarkannya melewati fase istirahat
Seperti yang dijelaskan oleh Mbak Nina, bahwa seorang perempuan memang harus mampu bangkit lebih dulu, namun Mbak Nina juga mengingatkan bahwa ada kalanya seorang korban KDRT memang tidak mudah untuk melakukannya. Oleh karena itulah, menurut Mbak Nina peran seorang teman adalah mendukungnya untuk melewati fase istirahat.
“Ada orang-orang yang justru mendesak untuk melawan atau bercerai, padahal si korban itu sendiri belum siap. Sangat mungkin kalau sebenarnya teman kita sebagai korban memang ingin melewati fase istirahat, tidak mau memikirkan apa-apa dulu. Karena dia tahu bagaimana cara meredam emosi suaminya, maka ia pun akan memilih untuk melakukan langkah tersebut lebih dulu. Tapi setelah itu memang harus bisa tahu langkah selanjutnya yang perlu dilakukan.”
Lewat obrolan bersama Mbak Nina, sekarang saya semakin paham bagaimana memosisikan diri ketika ada teman yang menjadi KDRT. Semoga, artikel ini juga bisa memberikan insight buat mommies yang lain, ya. Kalau-kalau mengalami kondisi seperti saya, ada teman yang jadi korban KDRT, jadi tahu harus melakukan apa.
Baca juga : Putri Lanka, Berperang Melawan KDRT