Kenapa dibutuhkan persiapan yang matang untuk memiliki seorang anak? Karena memiliki anak tidak sama dengan bermain boneka, yang kalau bosan bisa ditinggal begitu saja.
Kemarin, timeline FB saya ramai dengan berita seputar Soni (16 tahun) dan Marcel (3 tahun), kakak beradik yang ditinggal meninggal oleh ayahnya dan ditinggal menikah lagi oleh ibu kandungnya. Mereka kini tinggal dengan tantenya yang memiliki gangguan jiwa.
Mari bayangkan, dua anak yang tidak memiliki keahlian luar biasa untuk mendapatkan pekerjaan layak, tinggal bersama orang dewasa yang juga membutuhkan pertolongan. Ibunya? Menurut si sulung, sudah menikah lagi hanya dengan membawa anak kedua dan ketiga, kemudian memberikan uang Rp 30.000,- setiap minggunya, untuk hidup dua anak.
Image dari tribunnews.com
Mungkin si ibu menganggap memiliki anak sama mudahnya dengan bermain boneka ya. Sudah bosan, tinggal ganti dengan boneka baru. Malas merawat, tinggal digeletakkan saja di pojok ruangan. Punya empat boneka, pilih saja dua yang paling disuka. Kenyataannya, yang ia miliki adalah "boneka hidup" alias manusia. Yang bisa merasakan lapar, haus, sedih, merasa terbuang atau sekadar perasaan rindu atas kehadiran sosok seorang ibu.
Saya tidak tahu, alasan si ibu meninggalkan kedua anaknya. Dan saya tidak mau tahu, karena IMO, tidak ada satu alasan pun untuk membenarkan seorang ibu meninggalkan anak-anaknya.
Bicara tentang fakta pahit ini di Indonesia, kemampuan saya pasti terbatas untuk membantu setiap anak yang ditelantarkan oleh orangtuanya. Namun, bersyukur, di era social media bisa bergerak sama cepatnya dengan helaan napas, masih banyak masyarakat di luar sana yang turun tangan. Namun, bukan berarti saya berdiam diri. Begitu juga dengan Anda.
Ada anak terlantar, ya kita bergerak memberikan bantuan. Atau melaporkannya kepada yang berwenang. Masalahnya, bagi saya, ada yang jauh lebih penting, yaitu memberikan edukasi pada banyak orang mengenai kesiapan menjadi orangtua. Dan, hal paling mudah tentu saja saya lakukan di lingkungan terdekat saya. Target saya adalah para ART yang udah kebelet nikah dan ingin buru-buru punya anak, hehehe atau mereka yang masih punya pandangan Banyak Anak Banyak Rejeki namun secara finansial jauh dari kata cukup.
1. Jangan punya anak kalau belum siap secara finansial
Ini yang selalu saya katakan kepada mereka. Kalau keuangan saja masih kembang kempis untuk menghidupi diri sendiri beserta pasangan, ya jangan maksa untuk punya anak (banyak lagi). Cek kemampuan finansial kita. Apakah cukup untuk menghidupi dua orang, tiga orang, empat orang dst?
Punya anak itu berarti pengeluaran terus menerus. Jangan bilang rejeki itu bisa dicari….. emangnya kalau anak lapar atau sakit, bisa disuruh nunggu sampai rejeki datang?!
Memiliki anak tanpa harus memikirkan hutang saja sudah penuh tantangan. Menghadapi anak sakit, saat anak nggak mau makan, saat anak tantrum, saat anak sudah bisa membantah dan berdebat dengan kita, lha apalagi ditambah harus memikirkan biaya hidup yang rasanya nggak kekumpul-kumpul.
Jadi, saya selalu mengingatkan, punya tabungan minimal untuk biaya melahirkan dan biaya keperluan si bayi selama beberapa bulan. Dan pastikan, entah si suami atau si istri harus punya pekerjaan yang jelas dengan gaji yang cukup untuk standar hidup mereka.
2. Jangan punya anak kalau belum siap secara emosi
Punya anak itu kontrak mati kita dengan mahluk hidup lain. Di tangan kitalah bergantung kehidupan orang lain. Apakah kita siap memiliki tanggung jawab sebesar itu? Saya selalu mengatakan bahwa punya anak itu nggak hanya tentang menjadi hamil, terlihat menggemaskan dengan perut membuncit dan kemudian melahirkan sambil menatap si bayi dengan wajah sumringah dan mata berbinar. Saya kasih tahu juga hal-hal yang kurang menyenangkannya. Kita harus merawat mereka 24 jam dalam sehari, menyusui, begadang, dan yang paling penting harus rela mengenyampingkan kebutuhan kita sendiri. Sudah siap ‘berkorban’ sejauh itu?
Image dari i.guim.co.uk
3. Jangan punya anak banyak kalau masih berpikir banyak anak berarti masa tua lebih terjamin
Point ini saya fokuskan pada jenis orangtua yang (kembali lagi) secara ekonomi pas-pas-an namun nggak berhenti memproduksi anak. Salah satu contoh adalah tetangga saya yang menjadi tukang masak di rumah saya. Suaminya tukang ojek yang penghasilannya nggak tentu. Dia sendiri menjadi tukang masak, yang penghasilannya juga nggak fantastis. Sudah punya dua anak, dan lagi berpikir mau anak ketiga *__*. Padahal setiap akhir bulan masih suka pinjam uang.
Di sini deh mulut saya kembali berisik. Tentang lebih penting membesarkan anak-anak yang sudah ada secara maksimal, daripada menambah lagi dengan harapan akan ada yang merawat mereka kelak ketika sudah tua. Gimana bisa menjamin hari tua kalau anak-anak ini tumbuh tidak dengan kualitas yang baik?
Mending dua, disekolahin yang benar, dididik yang baik, agar dua anak itu tumbuh sesuai harapan orangtua dan kelak mereka bisa deh merawat si tetangga saya dengan suaminya (kalau itu harapannya kan ya.)
4. Lebih murah memasang alat kontrasepsi daripada membesarkan anak
Satu lagi alasan yang kerap saya dengar:
“Ya abis mbak, gimana, suami ngajak berhubungan terus, kadang-kadang suka kelepasan.”
Jawab seorang tetangga yang hamil anak ke-4 dengan penghasilan bulanannnya ‘hanya’ Rp 2.500.000,-.
Memang, hubungan seks seringkali menjadi pelepas penat paling murah bagi pasangan suami isteri, tapi yaaaaa, jauh lebih murah menggunakan alat kontrasepsi dibanding kelepasan, kemudian hamil, kemudian melahirkan dan kemudian punya anak lagi!!!
Saya tidak punya hak melarang orang untuk mau punya anak berapa (siapa saya???), yang bisa saya lakukan adalah membantu mereka untuk mengukur kemampuan diri dan mencoba berpikir lebih bijak sebelum mereka asik-asik main rumah-rumahan dan menganggap anak adalah boneka mainan.