Bukannya tidak bersyukur sudah menjadi seorang ibu. Hanya saja sebagai ibu, saya sering kali berada dalam satu titik saya merasa (sangat) lelah. Berikut 5 tanda saya lelah menjadi ibu.
Suatu ketika, seorang teman ada yang bilang saya ini tipe perempuan yang keibuan. Mendengarnya, saya pun tergelitik buat bertanya, "Serius gue keibuan? Apanya yang keibuan, sih?" Saya tambah kaget begitu mendengar jawabannya, "Ya, di mata gue, sih, gitu. Loe keibuan banget. Sabar banget kalau lagi sama Bumi." Wiiih.... terus terang saja, nih, sejujurnya saya agak ragu dengan komentar teman saya. Antara GR dapat pujian dan ragu kalau kalimat tersebut sebenarnya justru sindiran.
Bukan bermaksud punya pikiran buruk, lho, tapi sebagai ibu saya sangat sadar kalau urat sabar saya ini cukup pendek. Kalau Bumi sudah melakukan aksi ‘ajaibnya’ nggak jarang kepala saya bisa langsung mendidih. Untungnya kalau begini, ada suami yang sering membantu saya untuk menahan sabar. Iya, urusan sabar, pak suami memang jagonya!
Kodisi diperparah kalau saya sudah merasa capek. Rasanya sudah nggak punya energi buat menghadapi ulahnya Bumi. Tanpa disadari, kondisi lelah seperti ini ternyata bisa membuat suasana dan hubungan antara ibu dan anak jadi kurang kondusif. Bawaannya jadi ngomel melulu, mau melakukan apapun juga nggak bergairah.
Sebelum kondisi makin parah yang bikin Bumi bete berhadapan dengan ibunya, saya pun mencoba untuk mengenali beberapa tanda kalau saya memang sedang kelelahan. Dengan begitu, saya jadi punya sinyal dan tahu bagaimana harus bertindak.
Mudah pikun!
Dibandingkan para suami, para istri rata-rata punya daya ingat yang jauh lebih kuat. Makanya para ibu mampu multitasking, melakukan beberapa hal sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Makanya, kalau saya sudah mulai merasa pikun, tidak fokus untuk mengerjakan sesuatu, saya yakin sekali kalau saya ini sedang kelelahan.
Jadi kalem
Kalau suami saya sudah mulai bertanya, "Kamu kenapa? Kok, seharian nggak banyak ngoceh?" Nah, berarti saya memang sedang butuh makan enak untuk melepas lelah ataupun stres, hahaha. Memang, sih, kalau sudah merasa lelah, saya jadi lebih kalem. Nggak bergairah untuk bercerita ini itu apalagi cerewet mengomentari sesuatu.
Kehilangan nafsu makan
Buat orang-orang yang kenal baik dengan saya, pasti sudah paham kalau saya ini tipe perempuan yang doyan makan. Rasanya mulut nggak mau berhenti mengunyah, hahaha. Biasanya, sih, kalau emosi saya lagi naik turun nggak karuan, hobi yang ini pun akan menghilang dengan sendirinya.
Mengerjakan tugas sebagai rutinitas
Ketika energi lenyap, biasanya saya jadi nggak bergairah buat menemani Bumi bermain, nggak bergairah untuk mengajak Bumi ngobrol, bahkan kehilangan gairah untuk nonton film kartun kesukaannya. Kejam, ya? Iya, kalau sudah merasakan hal ini sudah pasti saya lagi merasa lelah dan butuh piknik, hahaha. Malakukan tugas ibu hanya sebatas rutinitas saja tanpa peduli apakah ada ikatan emosi yang bisa saya bangun.
Banyak mengeluh
Mengeluh akan suatu hal memang sangat wajar. Manusiawi banget, deh. Kalau menurut dr. Danardi Sosrosumihardjo, SpKj (K). Presiden ASEAN Federation for Psychiatry and Mental Health, mengeluh merupakan bagian dari coping mechanism, yaitu strategi atau upaya seseorang baik secara mental maupun perilaku untuk menguasai, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Tapi apa jadinya kalau hari-hari cuma diisi dengan mengeluh saja? Bahkan mengeluh hal yang kecil. Kalau sudah merasa mengalami perubahan emosi yang seperti ini, tandanya saya memang sedang lelah secara maskimal. Berpikir positif itu sangat penting.
Dari pada kondisi makin buruk, untuk memastikan saya bisa tetap waras menghadapi semuanya, saya akan memilih untuk melakukan me time. Bentuknya juga bisa bermacam macam, kalau memang sedang banyak waktu bisa melakukan body spa, kalau nggak dengan mandi lebih lama juga sudah cukup. Biar bagaimanapun, kecerdasan emosi menular ke anak. Nggak mau, dong, gara-gara merasa lelah kita berubah layaknya monster dan perilakunya ditiru oleh anak?