Jadi, kemarin saat mengadakan acara MDLunch di QSmoke House, topik yang diangkat adalah mengajarkan anak untuk belajar kelola emosi. Di tengah-tengah obrolan, sampailah pada titik membahas masalah tantrum.
Waktu itu narasumber kami, Mbak Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan bahwa tantrum juga bisa dialami oleh orang dewasa. Contohnya, ya, seperti yang saya ungkapkan di atas. Di mana orang dewasa tidak mampu mengontrol emosinya dengan baik dan ketika dihadapkan dengan masalah, dia cenderung akan menghindar.
Nah, kebayang nggak, sih, kalau anak kita besarnya akan seperti itu? Jadi pribadi yang tidak memiliki kecerdasan emosi? Untuk itulah, Mbak Vera menyarankan agar kita sebagai orangtua terus belajar kelola emosi. Harapannya, tentu saja bisa menularkan pada anak-anak ataupun lingkungan terdekat.
Setiap orangtua pasti ada masanya nanti harus ‘berkenalan’ dengan sindrom anak yang tantrum. Biasanya si tantrum ini terjadi pada anak-anak usia 2 tahun ke atas. Saya sendiri pernah dibikin pusing masalah ini. Salah satu bentuk trantrum Bumi yang paling menyebalkan yang masih saya ingat adalah ketika Bumi uring-uringan minta dibelikan buku Thomas and Friends yang ada bonus mainannya. Berhubung buku tersebut bukan produk lokal, harganya pun terbilang mahal. Alhasil waktu itu keinganan Bumi tidak bisa saya penuhi. Sayangnya, meskipun sudah coba saya alihkan dengan buku yang lain, tetap saja anak lanang saya ini keukeuh minta dibelikan. Karena keinginannya tidak terpenuhi, Bumi pun uring-uringan.
Ada yang pernah mengalami hal serupa? Jika, ya, Mbak Vera menyarankan saat kita menghadapi anak tantrum di tempat umum, sebisa mungkin ajak anak ke lokasi yang lebih sepi, toilet, misalnya. “Kalau anak memang menangis, ya, biarkan dia menangis lebih dulu, tapi ajak ke tempat yang sepi seperti toilet. Sehingga tangisannya tidak akan mengganggu orang lain. Setelah anak tenang, baru ajak bicara. Tanya lebih dulu bagaimana perasaannya, kemudian baru jelaskan mengapa kita tidak bisa memenuhi keinginannya.”
Membiarkan di sini berarti membiarkan dia menangis, tapi tetap memastikan anak tidak akan menyakiti diri sendiri, menyakiti orang lain ataupun merusak barang.
Saya pernah melihat, seorang anak yang sedang tantrum kemudian memukul-mukul dirinya sendiri. Di lain kesempatan, ada juga anak yang tantrum dan memukul muka mamanya. Kalau terjadi seperti ini, maka segera peluk anak dengan pelukan yang cukup kencang untuk menahan dia menyakiti diri sendiri atau orang lain. Memang, reaksi pertama anak tantrum itu cenderung menakutkan, kalau kata mbak Vera. Makanya, dengan pelukan diharapkan secara perlahan anak menjadi lebih tenang. Jadi intinya adalah segera peluk anak ketika ia tantrum.
Sebenarnya kunci menghadapi anak tantrum adalah tetap tenang dan kenali apa yang menyebabkan anak tantrum. Yang pasti, ledakan emosi anak yang tidak terkendali seperti ini memang harus diselesaikan sejak dini sehingga tidak akan terbawa hingga dewasa. Bagaimana caranya? Baca ulasannya di laman selanjutnya, ya, Mommies.
Saya pernah membaca buku yang di tulis oleh Dr. Sharon Fried Buchalter, Dalam buku Children Are People Too. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa ada 2 jenis tantrum yang biasa dilakukan oleh si kecil. Bentuk tantrum ternyata ada dua jenis, yaitu tantrum aktif dan pasif. Kedua jenis tantrum ini ternyata memerlukan keahlian khusus untuk menghadapinya.
Untuk tantrum aktif, si anak biasanya akan melakukan aksi protes dan sosial. Ketika keinginan anak tidak terpenuhi, dia akan protes dengan cara menangis, menjerit atau bahkan menendang atau melempar barang-barang di sekitarnya. Jika memang hal ini terjadi, biarkan saja ia meluapkan emosinya. Namun, tentu saja harus tetap kita awasi, lho. Sementara untuk tantrum sosial adalah sebuah bentuk kekecewaan anak terhadap lingkungannya. Misalnya kesal dengan salah satu temannya.
Suatu ketika Bumi pernah curhat ke saya, ia mengatakan kalau tidak mau berteman lagi dengan salah satu teman di lingkungan rumah. Alasannya, temannya itu sering merebut mainan Bumi kalau sedang bersama-sama, sementara Bumi tidak pernah dibolehkan untuk meminjam mainannya. Hahaha.... masalah anak-anak banget, ya? Melihat aksi ngambeknya ini, saya pun hanya bisa mengajaknya ngobrol dari hati - ke hati. Untungnya, sih, tantrum sosial Bumi ini tidak sampai membuatnya melakukan aksi fisik sehingga membuatnya bertindak agresif.
Sementara untuk tantrum pasif, anak biasanya akan melakukan aksi merengek dan tidak kooperatif. Menurut saya, sih, aksi ini nggak terlalu mengkhawatirkan dan bikin kepala mau pecah, ya. Soalnya ketika anak merasa tidak puas atau tidak suka dengan sesuatu, wajar rasanya jika ia melakukan aksi protes. Biasanya, sih, selain memang merasa kurang nyaman, kondisi ini dipicu karena anak merasa capek dan lapar. Untuk itu, sebelum mengajak anak pergi ke tempat yang baru atau asing buatnya, nggak ada salahnya untuk memenuhi kebutuhannya lebih dulu. Kalau perlu, sebelum pergi kita membuat jadwal sesuai kesepakatan bersama.
Bentuk tantrum pasif ini juga ditunjukan dengan tindakan anak yang tidak kooperatif. Biasanya, sih, tantrum ini disebabkan karena si kecil tidak mau melakukan apa yang kita inginkan. Ah, jadi ingat saya pernah mengalami masa di mana Bumi malas sekali disuruh sikat gigi. Ada saja alasannya untuk tidak mau sikat gigi. Alasan yang paling sering karena ia ngantuk. Sebelum kepala pecah karena dibikin kesal, saya pun akhirnya mencoba membujuk dengan memberikannya kesempatan untuk dia leyeh-leyeh sebentar, dan tentunya menjelaskan konsekuensi jika dia tidak mau sikat gigi.
Wah, kalau ngomongin masalah anak tantrum, rasanya kita memang perlu banyak-banyak menghela nafas supaya lebih sabar. Nggak ada salahnya juga untuk menjauh sebentar, ketimbang kita meluapkan emosi dengan ngomel dan ‘main tangan’. Jika Mommies masih pusing menghadapi anak yang tantrum, kita share pengalaman dengan bergabung dan diskusi di forum kami, hyuk!