Sorry, we couldn't find any article matching ''
Berkomunikasi dengan Pasangan, Apa yang Perlu Diperhatikan?
Sudah menikah selama 6 tahun, ternyata belum ada apa-apanya, ya. Yang pasti, setelah resmi menyandang status istri sejak 8 Maret 2009, banyak hal yang bisa saya pelajari. Salah satu poin pentingnya adalah bagaimana saya dan suami dituntut untuk bisa melakukan komunikasi yang efektif. Saya sangat percaya kalau skill komunikasi wajib kita miliki kalau ingin membangun hubungan yang sehat dengan pasangan.
Rasanya saya sudah sering sekali mendengar atau membaca cerita soal cerita di balik perceraian yang disebabkan oleh lack lack of communication. Atas nama kesibukan masing-masing, kadang kita jadi sering lupa kalau komunikasi dengan pasangan sangat penting. Dengan menyepelekan peran komunikasi, tentu saja kita jadi nggak bisa mengetahui keinginan serta harapan satu sama lain.
Seorang teman ada yang akhirnya bercerai gara-gara masalah ini. Katanya, tanpa disadari visi dan misi kehidupan dirinya dengan sang suami masing-masing sudah beda arahnya. Padahal mereka sudah menikah lebih dari 10 tahun. Mendengar kabar tersebut, jelas saya ikut sedih.
Waktu itu, saya sempat membaca sebuah artikel yang mengulas penyebab perceraian. Dan ternyata, lebih dari 50% masalah dalam kehidupan pernikahan disebabkan karena komunikasi yang buruk. Kedengarannya memang sangat klise, ya. Tapi sayangnya, kenyataan yang terjadi memang seperti itu.
Kebayang nggak, sih, gimana rasanya kalau sedang merasa ‘mentok’ tapi nggak ada teman bicara? Atau, malah justru kita sudah kehilangan selera untuk ngobrol dan berkeluh kesah dengan pasangan? Sementara, bukankah sudah selayaknya pasangan suami istri itu bisa berbagi segala hal?
Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam hal berkomunikasi tentu saja supaya pasangan kita bisa paham apa yang kita maksudkan tanpa terjadi salah paham. Namun untuk mencapai itu tentunya nggak mudah. Paling tidak, sejauh ini 3 hal yang bisa saya pelajari bagaimana menciptakan komunikasi yang efektif dengan pasangan. Lengkapnya, baca di halaman selanjutnya, ya.
Salah satu hal yang paling penting menurut saya adalah jangan pernah menggunakan asumsi karena asumsi ini bisa menciptakan miss komunikasi. Parahnya lagi, konflik rumah tangga bisa terjadi gara-gara salah satu pihak atau bahkan kedua belah pihak punya asumsi sendiri-sendiri.
Saya sendiri pernah sudah pernah mengalaminya. Jadi ceritanya, beberapa waktu lalu saya sempat kesal gara-gara suami sama sekali nggak mau menyentuh makanan yang sudah saya buat. Padahal, bikinnya saja sudah pakai usaha. Mulai dari harus bangun lebih pagi karena harus jalan ke pasar kecil dekat rumah, kemudian baru masuk pada proses masak. Eh, begitu kelar masak, bukannya dimakan, dicolek aja nggak.
Awalnya saya pikir suami nggak suka dengan masakan yang sudah saya buat, tapi setelah saya tanya dugaan saya salah. Suami justru nggak tahu kalau saya sudah membuatkan makanan untuknya. Kebetulan waktu itu, suami memang sedang masuk shift malam. Ketika saya berangkat kerja, suami baru pulang ke rumah.
Pernah suatu waktu, suami juga bilang kalau dia akan pulang lebih larut karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Saya pikir, suami sudah makan di kantor. Eh, ketika sampai rumah, dia malah bertanya, “Ada makanan, nggak? Aku lapar, nih.”
Melihat suami pulang malam dengan kondisi letih dan lapar seperti itu kasihan banget, dong? Tapi apa daya, di rumah memang waktu itu nggak ada makanan sama sekali. Lagi-lagi, ternyata asumsi saya salah. Beruntung, suami saya bukan tipe yang rewel dan pilah pilih makanan. Jadi, untuk keadaan darurat seperti ini, nasi goreng langganan dekat rumah bisa jadi ‘dewa’ penolong.
Kesalahpahaman dengan suami memang bisa terjadi kapan pun dan dengan masalah yang sepele seperti ini, ya. Rasanya, ketika kita punya visi dan misi tapi tidak bisa dikomunikasikan, sama saja artinya dengan tidak memiliki visi sama sekali. Biar gimana, tujuan berkomunikasi itu 'kan sebenarnya untuk membuat orang lain sepaham dengan gagasan atau apa yang ada dalam benak kita. Kebayang, dong, kalau komunikasi dengan pasangan selalu didasari oleh asumsi?
Kenali Bahasa Tubuh
Selanjutnya adalah pentingnya membaca bahasa tubuh. Banyak ahli komunikasi yang bilang kalau apa yang disampaikan oleh bahasa nonverbal justru menempati porsi yang besar, bahkan lebih dari 70%. Dari sini sebenarnya bisa disimpulkan kalau sebenarnya yang paling penting bukan apa yang disampaikan, tetapi bagaimana bahasa tubuh itu berbicara. Baik dari tatapan mata, gerak tubuh, ekspresi, termasuk nada suara ketika kita sedang berbicara.
Karenanya, penting buat kita untuk bisa membaca bahasa tubuh dari pasangan. Dengan begitu, kita pun jadi tahu apakah dirinya tertarik atau malah bosan dengan apa yang kita bicarakan. Saat memulai pembicaraan, kita pun sebaiknya mampu menyelaraskan bahasa tubuh kita sendiri sehingga pasangan lebih paham dengan apa yang kita bicarakan.
Waktu yang Tepat
Mungkin dalam hal ini juga berkaitan dengan pentingnya kita unntuk memilih waktu. Ternyata, untuk ngobrol masalah yang lebih serius dengan pasangan memang dibutuhkan timing yang tepat. Dengan begitu, harapannya kita pun bisa mendapatkan respon yang baik. Jangan sampai niat kita untuk sharing malah menjadi beban atau justru menimbulkan konflik.
Fuiiih... ternyata masalah komunikasi dengan pasangan ini cukup rumit, ya. Bagaimana kiat Mommies yang lain untuk menjaga komunikasi dengan pasangan?
PAGES:
Share Article
COMMENTS