saya ikut perih. Ikut sedih dan sakit hati saat membaca berita tentang anak Ibu yang jadi korban kekerasan di sekolahnya. Anak yang dijaga sejak dalam kandungan, dilepas dengan berat hati saat mulai sekolah. Dipilihkan sekolah yang cukup mahal dengan harapan harga yang harus dibayarkan sebanding dengan kualitasnya. Biarlah kita kerja lebih keras, badan remuk asal anak dapat yang bagus. Tapi ternyata, justru di sekolah itu malapetaka terjadi.
uang bisa diganti, bisa dicari lagi. Tapi hati anak, psikis anak yang kadung terluka, berat menyembuhkannya. Jangankan dari kejahatan yang begitu keji, kita kelepasan memarahi keras-keras saja beberapa hari berikutnya anak masih manyunin kita kan, Bu? Kami semua yang mengikuti apa yang terjadi, ikut mendoakan, Bu. Semoga anak ibu lekas pulih, fisik dan psikis. Lekas ceria, dan senyumnya kembali. Sesungguhnya senyum anak mahal harganya, ya, Bu. Pulang kerja capek luar dalam, tapi lihat anak tertawa gelak menyambut kita rasanya capek langsung hilang.
kejadian itu menyentak kami. Terus terang setiap hari ada saja saya membaca kasus seperti ini. Saya akan prihatin, lalu lupa. Karena dalam benak saya akan terpikir, ah itu, kan, kejadiannya di kampung yang isinya orang-orang nggak jelas; ah itu, kan, di tempat yang kurang pengawasan; ah itu, kan, anak-anak yang suka main di jalan/sembarangan, anak saya di tempat yang aman. Tapi ternyata salah, ya, Bu. Harusnya kami tidak boleh selengah itu, ya? Penjahat bisa ada di mana saja, berbaju apa saja, dan menjadi siapa saja.
saya kagum pada Ibu. Saya sangat kagum. Ibu dengan berani berdiri dan berbicara di tengah ancaman pihak sekolah yang backing-nya pasti bukan main-main. Kementerian saja berani mereka lawan. Kalau saya mungkin akan kalah dengan ancaman sekolah, Bu. Belum lagi saya akan memilih diam ketimbang kehilangan muka di depan keluarga atau teman-teman kolega dan lingkungan pergaulan saya. Diam walau akan mengorbankan perasaan anak saya yang tidak terbela. Egois saya ini, ya, Bu. Nggak seperti Ibu yang dengan mengesampingkan itu semua, anak-anak lain bisa terselamatkan. Teman-teman anak Ibu sendiri, dan bahkan anak-anak di sekolah-sekolah lain.
Anak-anak yang ternyata juga telah menjadi korban, jadi berani ikut bicara. Yang tidak, jadi lebih waspada. Berkat keberanian Ibu dan anak Ibu, komisi sekolah-sekolah diserbu pertanyaan para orangtua yang ingin memastikan keamanan masing-masing sekolah. Ikut mengecek staf dan perusahaan outsource yang disewa sekolah, menanyakan pemasangan CCTV dan memastikan tidak rusak, memperketat sistem antar-jemput, sampai program sekolah tentang sex education dan bagaimana mengenali dan menghadapi orang jahat. Sebelumnya mungkin ho-oh saja dengan apa kata sekolah.
Dan yang terpenting, Bu, berkat Ibu, kami bicara lagi pada anak-anak. Kami bertanya tentang sekolah, teman-teman mereka, dan kegiatan mereka. Sesuatu yang tadinya jarang kami lakukan. Sekarang kami ingin anak-anak berani bicara pada kami, Bu. Seperti anak Ibu bicara pada Ibu. Ibu pasti dekat sekali dengan anak Ibu, ya? Jadi dia tidak takut bicara pada Ibu dan menguak semuanya. Anak-anak kami belum tentu seperti itu. Kami nggak mau anak takut dan enggan bicara pada kami sampai semua terlambat. Makin cepat ketahuan makin cepat tindakan bisa diambil, kan? Nggak terbayang kalau kasusnya seperti anak Ibu dan baru ketahuan berbulan-bulan kemudian. Ibu yang cepat ketahuan saja masih perlu beberapa minggu untuk bisa mengorek cerita lengkap dari anak, ya, Bu?
semoga anak dan keluarga Ibu bisa melewati cobaan ini. Semoga proses pemeriksaan lancar, dan semua pelaku mendapat hukuman setimpal. Sehingga orang-orang yang tadinya punya niat yang sama jahatnya, mengurungkan niatnya. Semoga sekolah yang bersangkutan juga dapat dikenai konsekuensi yang tepat. Karena dengan menutup begitu saja, bagaimana nasib murid-murid yang lain?