Motherhood Monday, Amalia Sari; "Jangan Bangga Jadi Orangtua Gaptek"

Parenting & Kids

adiesty・16 Mar 2015

detail-thumb

Beberapa waktu lalu Mommies Daily sempat berpartisipasi mengisi acara Sosial Media Week dengan membuat talkshow parenting di Media Sosial. Sebelum acara dimulai saya ngobrol dengan nara sumbernya, Amalia Sari Utomo. Ibu dari Raia ini adalah seorang Creative Director Juara Agency. Jadi kalau ngomongin masalah digital parenting, pas banget deh!

lia

Jika banyak orangtua yang sering ketakutan kalau anaknya aktif di sosial media, perempuan yang lebih sering disapa Lia ini jutru melihat banyak keuntungan dari sosial media. Hal ini dikarenakan sosial media merupakan jendela pertama pergaulan, bahkan ke masa depan. "Jadi semestinya social media ini sih nggak ada minusnya," begitu katanya.

Selain ngebahas soal parenting dan media sosial, Lia juga banyak cerita bagaimana dirinya tertantang mengasuh anaknya yang sudah masuk ke dalam usia puber. Apalagi jika mengingat dirinya sebagai single parent. Penasaran nggak, sih, dengan cerita serunya? Berikut kutipan wawancara saya waktu itu..

Hallo Mbak Lia, lagi sibuk apa saja, nih sekarang?

Kegiatannya masih seperti biasa. Aku kan kerja di Juara Idea Agency, jadi sekarang sibuknya itu pitching dengan client baru, kerjain tugas lama, bantu anak-anak di kantor. Di rumah, sibuk dengan anak, sekarang ini  aku juga tiba-tiba disuruh jadi anggota KPOG gitu di sekolah anak aku.

Wah, masih sempat aktif di sekolah juga?

Ya disempat-sempatin, sih. Kalau ke sekolah kan biasanya kegiatan dilakukan pagi hari jam 7. Sementara kerja di agency biasanya datang siang, pulang malam. Jadi kalau ke sekolah lumayanlah bisa ngatur waktunya. Lagipula anak aku sepertinya senang banget kalau aku punya waktu buat datang ke sekolah, jadi ya sempat-sempatin aja.

Selain bikin anak senang, ada alasan lain nggak kenapa Mbak mau aktif di sekolah?

Alasan pertama memang karena anak, ya. Kalau kita aktif dan sering ke sekolah pasti anak-anak senang, alasan yang  lainnya, biar bagaimana pun orangtua dan pihak sekolah hubungannya harus erat. Kadang sekolah juga butuh masukan dari orangtua. Selama ini sekolah lebih fokus pada akademis anak-anak, sementara di dunia ini kan anak-anak nggak perlu nilai akademis saja yang bagus. Contohnya seperti ini, deh, sharing soal digital atau karir. Kita juga perlu tahu mereka mau jadi apa nantinya. Untuk kegiatan non akademis seperti ini sekolah memang perlu diingatkan. Kita sebagai orangtua juga perlu memberikan kritikan membangun sebagai masukan.

Mengingat anak Mbak Lia, Raia, sudah ABG, pasti sudah familiar dengan media sosial, dong ya. Awalnya, ada kesepakatan yang dibuat nggak antara Mbak dan Raia ketika mulai aktif di sosial media?

Kalau anak aku kebetulan akun sosial media yang resmi dibukakan hanya Instagram. Kenapa, karena menurut aku Instagram ini masih ada sisi kreativitasnya. Akun ini juga masih bisa di lock, jadi masih bisa terkontrol. Tapi, tanpa sadar biasanya anak-anak itu sudah masuk ke sosial media itu ketika mereka melihat video di You Tube. Dan selama ini banyak orangtua yang nggak sadar kalau You Tube itu merupakan social media, ada komentar, sharing, dan saling follow. Tapi selama ini banyak yang nggak ngeh. Tapi kalau social media yang benar-benar aku izinkan untuk dia buka adalah Instagram.

Selanjutnya, keuntungan anak memiliki akun  sosial media.

Untuk anak ABG sekarang ini sosial media apa, sih, yang sedang ngetrend?

Sebenarnya cukup banyak, ya. Kalau anak aku, sampai saat ini kebetulan hanya punya akun di AskFM. Waktu itu saya sempat tanya, kamu berani punya akun Ask FM, soalnya untuk akun media yang satu ini sebenarnya anak butuh kesiapan karena banyak anonim yang tanya. Bahkan anak aku sempat ditanya, kenapa Ibu dan Bapak kamu nggak tinggal bareng? Tapi syukurnya dia bisa menjawab secara diplomatis. Anak aku juga punya Snap Chat, dan Path. Nggak tahu kenapa, di luar itu seperti Facebook dan Twitter anak aku nggak tertarik.

Sebenarnya apa saja sih plus minus anak memiliki akun sosial media?

Kalau aku justru melihat banyak keuntungan dari social media ini karena social media merupakan jendela pertama pergaulan, bahkan ke masa depan. Semestinya social media ini sih nggak ada minusnya. Supaya nggak ada minusnya, kita sebagai orangtua memang harus tahu bagaimana pergaulan anak kita di social media. Orangtua sekarang ini kan banyak yang takut kalau anaknya sibuk bermain digital akan menjadi pasif, tapi justru dari sini mereka bisa menemukan teman-teman yang setipe, ‘seiklim’ dengan mereka. Sehingga tanpa sadar, anak-anak jadi bisa menemukan hobi dan komunitasnya di sana. Sementara kalau zaman kita kan kalau untuk les lebih banyak dipaksa, les piano, atau les ini dan itu. Sekarang anak-anak itu punya banyak pilihan, tinggal kita yang bisa mengarahkan dan anak-anak yang akan memberi sinyal mereka tertarik dengan apa.

lia1

Apa saja perlu diperhatikan?

Sebenarnya memang balik ke ke persoalan nggak semua orang senang main social media, khususnya untuk para orangtua. Cuma saya suka gatel dengan orangtua yang langung bilang, “Ah, gue itu gaptek”. Padahal segaptek-gapteknya kita, ya, tetap harus tahu. Masalahnya anak-anak kita masa depannya memang ke sana. Jadi pengennya, orangtua itu juga harus tahu perkembangannya paling tidak basic-nya saja. Paling tidak mengetahui fungsinya. Tapi memang ada kalanya kita harus ketat bahkan tahu password anak. Sebenarnya sama saja seperti parenting lainnya, semua harus  disesuaikan saja dengan umurnya. Kita juga juga harus rajin memantau dan ngecek. Kalau memang ada sesuatu yang tidak baik, kita bisa langsung menegurnya.

Saya sekarang  sebenarnya sudah nggak bisa masuk ke akun sosial media anak saya, karena saya harus memberikan respek. Sekarang saya memantaunya dari jauh. Ada lho hal-hal yang nggak bisa dceritakan anak, tapi kita ketahui lewat social media. Setelah itu, bisa kita pancing obrolan sehingga tahu maksud dari postingannya. Cuma anak-anak seusia Raia, 14 tahun itu kan mulai pacaran, jadi postingannya nggak jauh dari masalah ngomongin lawan jenis.

Tapi, bagaimana jika pertemanan di dunia online berlanjut secara offline? Bagaimana orangtua menyikapinya? Baca jawaban Mbak Lia di laman berikut, ya.

 

IMG-20150224-WA0003

Ketika anak-anak punya teman baru di media sosial dan ingin bertemu, bagaimana kita harus menyikapinya?

Nah, selama masih online dan nggak ada kopdar, kita masih bisa tenang. Sebenarnya sama saja dengan kita yang punya grup kecil di Whats App yang suka rumpi, mereka pun seperti itu. Tapi kita juga memang harus respect. Ketika anak kopdar, ya, memang harus ditanya pergi sama siapa, rencananya ngapain saja. Ketika mereka meet up ini lah yang perlu kita ketahui.

Berlaku sebagai temannya saja. Berteman juga teman-temannya. Buka obralan dengan teman-temannya. Kadang malah aku yang suka merasa risih, tapi kita ya harus cuek saja. Dicari-cari bahan obrolannya. Anak sekarang kan juga suka ‘pintar’, ya, bilangnya jalan ramai-ramai tapi saat di mall, pada misah. Kadang kita harus tarik ulur, bilang saja kalau nanti kita mau nyusul tapi jamnya belum ditentukan.  Jadi anak juga ada perasaan was-was.

Lebih tertantang punya anak kecil atau ABG, Mbak?

Umh, beda-beda ya. Kalau saat kecil, enaknya anak lebih gampang kita atur. Lebih mudah ketika anak masih bayi kerena masih satu arah. Tapi kalau lebih banyak tantangan, ya, tentu saat sekarang ketika kita punya anak puber. Setengah anak-anak, setengah dewasa. Dan itu ketika pergaulan online dibawa jadi offline, hahaha.

Oh, ya, ceritain dong Mbak, gimana cara Mbak mengenalkan pasangan baru ke anak?

Aduh... langsung bingung nih, jawabnya, hahahaa. Kebetulan, saya memang dikasih waktunya juga belum lama ini ketika anak saya sudah dewasa. Anak–anak seusia Raia, saat puber kan juga sudah mulai merasakan falling in love. Nah, kebetulan ketika ada orang baru dalam kehidupan kami, dia juga cukup tahu rasanya seperti apa. Jadi sebisa mungkin saya menempatkannya dengan santai saja.  Misalnya sambil bilang, “Memangnya yang punya pacar kamu saja, akhirnya mama juga dong” atau bilang saja, “Kamu saja sudah pacaran berulang kali, mama belum, nih”. Di buat fun saja, kita cerita saja seperti teman. Baru setelah itu pesan seriusnya baru disempilin, tapi memang dalam proses pengenalan anak juga harus selalu dilibatkan. Jangan sampai ketika sudah punya rencana besar, anak baru tahu.

Saat Mbak mengenalkan, apa sih reaksi pertama Raia?

Ah, dia sih ketawa-tawa saja. Waktu itu memang pertama kali saya kasih tau lewat foto. Kebetulan memang mau ketemu. Jadi waktu itu saya kasih fotonya sambil tanya, “Gimana oke nggak pilihan mama?”. Jadi kita  memang harus bisa nempatkannya lewat persepsi anak. Kalau anak umur ABG kan yang sering melihatnya, cowok itu ganteng apa nggak. Posisikan saja di level anak-anak lebih dulu. Baru setelah itu, baru kita cerita.

Pernah ada penolakan nggak dari Raia?

Alhamdulillah sih nggak. Sejauh ini belum. Kalau perubahan sih pasti nantinya akan ada, ya, awalnya biasa berdua lalu nanti akan ada orang lain yang masuk dalam kehidupan kami. Tapi karena sekarang anak aku sudah mulai punya kesibukannya, aku bisa ngomong, kamu kan juga sekarang kalau weekend sibuk dengan teman, mama juga boleh, dong. Tapi memang benar, lho, ketika anak sudah ABG, kita bisa ngerasa kehilangan. Ini gue sama siapa, ya? Jadi sebenarnya anak aku duluan yang ‘ninggalin’ aku, hahaha.

Ada pesan-pesan khusus nggak untuk sesama single mom?

Single mom itu sebenarnya butuh bantuan dari mana-mana. Jadi sebenarnya nggak perlu gengsi untuk meminta batuan dari orang lain. Dari keluarga dan teman-teman. Apalagi buat single mom yang anaknya lebih dari satu. Aku sendiri nggak bisa membayangkan bagaimana sulitnya. Memang kita perlu menyemangati diri kalau kita bisa menjalani semuanya. Tapi ada kalanya kita harus bisa lebih legowo kalau kita ini memang perlu bantuan dari orang lain. Buat anak juga akan baik. Terutama menjaga hubungan baik dengan keluarga ayahnya, ya. Anak akan merasa tetap jadi bagian dari keluarga besar. Mungkin memang nggak gampang buat kita, kalau ngikutin egoisme kita yang memang sulit. Tapi ternyata kita juga yang akan dimudahkan, kok.

Kalau kita terus mengikuti egosime, ya, akan lebih ribet lagi. Sebenarnya, ketika kita harus bekerja atau ada tugas ke luar kota, ya, tentu akan lebih baik kita mempercayakan pada keluarga. Kalau sekarang, saat Raia sudah besar, dia bisa memilih, mau di rumah atau pergi dengan ayah atau tidak. Nggak gampang, sih, tapi ini sangat menolong sekali. Pada akhirnya yang dilihat untuk kepentingan anak kok. Bukan untuk saya ataupun ayahnya.

-----

Setelah ngobrol dengan Mbak Lia, banyak sekali insight menarik yang bisa saya dapatkan. Saya sendiri yakin, Anda juga sependapat dengan saya, kan?