Everybody Needs Good Neighbours

Household

neena_aime・03 May 2012

detail-thumb

Sebagai orang di rantau yang jauh dari orangtua dan sanak saudara,  saya sadar bahwa tetangga adalah saudara terdekat yang suatu saat kita (mungkin) akan minta bantuan mereka. Suka atau tidak, itulah kenyataannya.

(gambar adalah hak cipta dari sini)

Satu setengah tahun kami tinggal bersama mertua di Bandung, lalu setengah tahun tinggal di rumah orangtua di Semarang karena suami pindah kerja. Hingga ketika orangtua saya memilih melewatkan hari tua pulang kampung ke Tasikmalaya, keluarga kecil saya menempati rumah tersebut sebelum mempunyai rumah sendiri. Dari saat itulah saya merasakan kehidupan 'bertetangga' yang sebenarnya.

Rumah orangtua berada di  kompleks sebuah instansi pemerintah dan adalah tempat tinggal saya sedari bayi, jadi saya sudah mengenal dengan baik para penghuni di sana yang sebagian besar sudah berstatus Eyang. Saya sudah dianggap anak sendiri oleh para Eyang ini, maklum, kan mereka melihat tumbuh kembang saya sampai dewasa dan juga karena saya jauh dari orang tua. Saya sering diberi nasihat, diberi berbagai tips memasak, merawat anak, dsb.

Di kompleks ini, para warga  mempunyai rutinitas pertemuan bulanan, seperti arisan, PKK, bersih-bersih lingkungan dan akan otomatis bergotong royong apabila ada keluarga yang 'punya gawe' atau tertimpa kesusahan. Bisa dikatakan hubungan antar warga sangat erat,  bahkan saking sudah dekatnya,bukan rahasia lagi apabila sesama penghuni sudah mengetahui 'isi dapur dan keadaan rumah tangga' keluarga lainnya. Untuk hal ini, saya selalu menjaga jarak aman untuk tidak terlalu banyak bercerita mengenai hal-hal pribadi rumah tangga. Sikap saya dan suami menjaga privacy ini kadang diartikan 'tertutup' dan 'tidak guyub'.  Mungkin inilah yang dinamakan generation gap bertetangga antara generasi dulu dan generasi kini.

Setelah akhirnya kami mempunyai rumah baru, babak baru bertetangga dimulai lagi. Tempat tinggal kami berada di sebuah perumahan baru yang sebagian besar penghuninya adalah keluarga muda. Orangtua saya sempat melempar komentar, "Kalau banyak keluarga mudanya, orangnya cuek-cuek sama tetangga." Benarkah?

Hari pertama tinggal, saya disapa dengan ramah oleh ibu tetangga sebelah rumah dan dilanjut dengan hari-hari berikutnya.  Minggu ketiga, saya sekeluarga diundang untuk buka puasa bersama warga satu blok sekalian menjadi ajang perkenalan dengan tetangga lainnya. Kebetulan memang kepindahan kami bertepatan dengan bulan Ramadan. Bulan berikutnya, kami menghadiri acara halal bihalal dengan seluruh warga, dan masih di bulan yang sama, saya dan suami sudah diminta ikut serta dalam acara arisan, PKK, gotong royong dan posyandu. Ternyata rutinitas pertemuan warga di pemukiman baru tidak jauh berbeda dengan kompleks para Eyang.

Sebagai pemukiman keluarga muda, banyak diantaranya yang masih mempunyai anak balita. Ayesha (4 tahun 2 bulan), anak saya,  cukup senang berada di rumah barunya karena dia sekarang mempunyai teman bermain sebaya lebih banyak. Saya yang masih berstatus warga baru belum terlalu mengenal baik para penghuni di lain blok walaupun sedikit demi sedikit sudah bisa menghapal wajahnya. Bila kebetulan bertemu, saya mencoba tersenyum, tetapi apabila tidak dibalas senyum? Eh, jadi pandangan mengenai cuek itu beneran ya? Ah, ya sudah lah, toh tidak semuanya seperti itu. Saya malah jadi ingat dengan theme song opera sabun Neighbours yang kondang di tahun 80-90 an :

Neighbours, everybody needs good neighbours , Just a friendly wave each morning, helps to make a better day

Neighbours, need to get to know each other, Nextdoor is only a footstep away

Neighbours, everybody needs good neighbours, With a little understanding, you can find the perfect blend

Neighbours, should be there for one another, That's when good neighbours become good friends

(source: wikipedia)