
Banyak orang tua tanpa sadar membawa luka masa kecil ke pola asuhnya. Yuk pahami pentingnya reparenting untuk memulihkan diri dan hadir lebih tenang untuk anak.
Sebagai orang tua, seringkali kita merasa sulit meregulasi emosi, mudah marah atau sulit menjalin koneksi yang sehat dengan anak. Apakah penyebabnya karena anak sulit diregulasi atau ternyata masalahnya ada di kita sebagai orang tua, yang punya luka batin dari masa kecil, hingga anak jadi pelampiasan kecewa kita?
Disinilah kebutuhan Reparenting atau mengasuh diri sendiri menjadi krusial. Sejalan dengan konsep Carl Jung (Psikiater asal Swiss) tentang inner child, yang merupakan kumpulan pengalaman masa kecil yang membentuk alam bawah sadar kita, dan proses Reparenting dapat menjadi cara untuk memulihkan luka batin akibat pola asuh masa kecil yang tidak aman, misalnya pengabaian atau kekerasan.
Psikolog Klinis, Adhityawarman Menaldi, M.Psi juga menekankan bahwa proses Reparenting tidak dimaksudkan untuk menghapus masa lalu, tetapi untuk menata ulang cara seseorang memahami kasih sayang, disiplin, dan kelekatan dalam relasi. Pengalaman masa kecil membawa pengaruh besar terhadap cara seseorang mengasuh anak, dan orang tua yang di masa kecilnya kurang menerima kehangatan, konsistensi, atau pengakuan emosi cenderung membawa pola itu ke masa dewasa hingga ke pengasuhan.
BACA JUGA: Anak Boleh Tahu Orang Tua Sedang Berkonflik, Ini Alasannya

Adhityawarman juga membagikan beberapa langkah Reparenting yang bisa membantu Mommies
Langkah awal Reparenting adalah menyadari bagaimana pengalaman masa kecil mempengaruhi cara kita bereaksi terhadap anak. Coba lakukan self reflection, dan perhatikan momen saat emosi muncul misalnya saat anak membantah. Berhenti sejenak dan tanya pada diri sendiri “apakah saya sedang menanggapi perilaku anak atau bereaksi terhadap luka batin saya sendiri?”
Latihan refleksi seperti ini membantu membangun kesadaran bahwa setiap emosi membawa pengalaman yang lebih dalam dan membantu orang tua dalam mengidentifikasi inner child wound yang dimiliki misalnya trauma pengabaian, serta dapat membantu dalam mengenali kebutuhan yang belum terpenuhi misalnya butuh validasi.
Menulis jurnal juga bisa jadi alternatif untuk memahami diri sendiri. Gunakan untuk mencatat perasaan di hari itu, atau hal yang triggering, yang bisa membantu memahami luka masa kecil orang tua.
Menerima masa lalu bukan berarti mengabaikan pengalaman masa kecil tapi merangkul semua rasa dan luka batin yang dapat membantu proses diri bertumbuh. Kita tidak bisa mengubah masa lalu dan orang lain, tetapi kita bisa mengupayakan pemulihan dan mengasuh diri dengan lebih baik, untuk mencegah anak jadi pelampiasan kecewa. Apapun yang terjadi di masa lalu, kita tetap layak dan berharga untuk dicintai, ya Mommies.
Praktikkan afirmasi positif, self-talk dengan penuh empati, hindari kritik berlebihan, peluk diri sendiri dengan penuh kasih sayang. Saat merasa sedih, takut, kecewa, atau cemas, terima dan akui semua perasaan tersebut, alih-alih denial atau ingin cepat move on tanpa memproses berbagai emosi yang dirasakan. Dengarkan diri dengan jujur dan penuhi kebutuhan misalnya ingin diapresiasi, ditenangkan, atau dilindungi, sebagai salah satu langkah memulihkan inner child wound orang tua.
Cara Reparenting yang juga penting, belajar untuk Say No atau menolak hal yang tidak selaras dengan diri. Bukan karena tidak peduli dengan orang lain, tetapi untuk menjaga keamanan dan kenyamanan serta kesehatan diri. Penting untuk orang tua punya batasan sehat, agar anak juga punya contoh baik dalam menghargai batasan diri dan orang lain.
Semua emosi itu valid dan merasa marah itu wajar, tetapi juga penting untuk berlatih cara meregulasi emosi agar dapat memberikan respon yang lebih seimbang dan empatik pada anak. Contohnya, dengan memberikan jeda agar kita bisa memberikan reaksi tepat disaat kemarahan memuncak, bisa melalui teknik bernafas atau grounding, alih-alih membentak atau memukul yang bisa menimbulkan luka batin untuk anak. Orang tua yang mampu meregulasi emosi, bisa lebih mudah membantu anak menenangkan dirinya.
Reparenting juga berarti menjaga keseimbangan. Orang tua yang kelelahan cenderung lebih mudah marah, sementara orang tua yang merasa cukup lebih bisa hadir secara utuh untuk anak. Jadwalkan waktu merawat diri, beristirahat jika perlu, jaga kesehatan fisik dan mental, agar pengasuhan tetap stabil dan penuh energi positif.

Jika saat masa kecil kita tumbuh dalam pola komunikasi yang keras atau kaku, ciptakanlah pola baru dalam keluarga. Mulai dari hal kecil, misalnya memberi pujian tanpa syarat, menegur dengan lembut, dan berani meminta maaf jika salah. Setiap tindakan kecil ini adalah latihan untuk membentuk “peta hubungan baru” yang lebih sehat dan aman, baik untuk orang tua maupun anak.
Ketika anak sedang marah atau kecewa, coba dengarkan dulu sebelum menasehati. Kalimat sederhana seperti, “Kamu kecewa, ya? Mama/Papa bisa paham itu,” memberi sinyal bahwa emosi anak diterima. Pendekatan ini dikenal sebagai emotion coaching (Gottman, Katz, & Hooven, 1996), dan terbukti membantu anak belajar mengenal dan meregulasi emosinya.
Konsultasikan dengan psikolog atau praktisi kesehatan mental lain jika perlu, untuk mendapatkan pendampingan dalam memproses emosi dan memandu langkah Reparenting yang Mommies jalani.
Jadi, apakah Mommies dan Daddies ingin melakukan Reparenting? Coba ikuti langkah di atas, ya!
BACA JUGA: Orang Tua Salah tapi Susah Minta Maaf? Ini Dampaknya pada Anak!
Cover: Freepik